Senin, 16 Juni 2008

Kontrak Sosial di tengah Pemilukada

Oleh : Hadi jatmiko
Aktifis Sarekat Hijau Indonesia ( SHI ) DPW Sumsel dan mahasiswa FT UMP

Bulan oktober 2008, kita dihadapkan pada Pesta rakyat sumsel yaitu berupa pemilihan Orang Nomor 1 di sumsel. Ada beberapa bakal calon yang saat ini telah muncul dipermukaan atau yang telah mendeklarasikan diri sebagai calon yaitu Ir syahrial Oesman ( Incumbent ) yang berpasangan dengan seorang Manajer handal acara infotaiment di televisi swasta nasional yaitu Helmy yahya Calon Berikutnya adalah Ir Alex Noerdin yang menjabat sebagai Bupati Musi banyuasin berpasangan dengan H. Eddy Yusuf SH.MM yang juga menjabat sebagai orang Nomor 1 ( Bupati ) di Kabupaten OKU Induk. Dari semua calon ini masing – masing memiliki kelebihan dalam memanajemen pemerintah daerah yang di pimpinnya hal ini dapat kita lihat,baca dan dengar di media cetak dan elektronik baik lokal maupun Nasional.

Berangkat dari keinginan semua bakal calon untuk menjadi kompetitor dalam kompetisi yang dinamakan Pemilukada maka persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh para bakal calon adalah dukungan oleh partai yang mempunyai kursi di parlemen minimal sebanyak 15 %, hal ini Sesungguhnya di karenakan Penempatan posisi parpol dalam konteks pilkada merupakan akibat dari simplifikasi terhadap realitas perpolitikan di daerah baik kota, kabupaten maupun provinsi.Simplifikasi ini mendorong lahirnya pemikiran bahwa konstelasi politik di daerah harus mengacu kepada konstelasi politik di tingkat nasional, dimana partai-partai politiklah yang berhak mengajukan pasangan pemimpin.Padahal teorinya pusat dan daerah mempunyai fungsi dan peran yang berbeda dalam pembangunan nasional Selain itu, hampir semua parpol di daerah tidak memiliki mekanisme perekrutan yang transparan dengan indikator yang dapat diertanggung jawabkan kepada publik/konstituen dalam menjaring kandidat yang akan dijagokan dalam pilkada. Bahkan permainan politik uangpun kental mewarnai dari proses ini.hal Inilah salah satu sebab mengapa banyak pihak khawatir terhadap kualitas produk pilkada.Kita bisa gambarkan ketika parpol lebih menginginkan figure yang memiliki ”gizi” yang banyak, sehungga tokoh independen yang sesungguhnya layak untuk menjadi calon pemimpin tidak akan kuat menanggung biaya politik yang wajib diberikan sebagai kompensasi atas dukungan politik yang diberikan parpol atau gabungan parpol. Dengan itu, yang akan maju sebagai calon kepala daerah adalah pihak-pihak yang dapat dengan mudah memperkaya parpol dengan gizi tinggi ( Mesin ATM ).Berangkat dari kejadian seperti inilah seorang pemikir prancis yang bernama Jean-Jacques Rousseau menggeluarkan sebuah ide cemerlang atau solusi bagi masyarakat agar tidak terjebak dengan politikus-politikus busuk dalam pemilihan pemimpin yaitu sebuah kontrak sosial.

Kontrak Negara terhadap Rakyat
Negara menurut Rousseau ( Filsuf prancis ) adalah persekutuan yang bersifat pasif, sedangkan dalam kondisi aktifnya disebut pemerintahan. Dalam perbandingannya dengan kekuatan lain disebut kekuasaan. Sedangkan, mereka yang tergabung dalam kesatuan bernama negara itu disebut penduduk dan ketika penduduk dihubungkan dengan pemerintahan disebut warga negara sedangkan dihubungkan dengan hukum negara disebut masyarakat.Pemerintahan didirikan atas keseluruhan individu yang membentuknya, tidak bisa memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan mereka yang membentuknya (rakyat). Pemerintahan dan negara adalah buah dari terciptanya kekompakan sosial, di mana setiap individu pembentuknya merasa memiliki kepentingan untuk menyatukan diri dalam pemenuhan kebutuhannya. Namun seiring waktu, tentu kepentingan atau disebut juga kehendak umum akan beragam bersamaan dengan semakin kompleksnya masyarakat, dan di sinilah kemudian fungsi pemerintah berperan yakni untuk memprioritaskan kehendak umum yang didahulukan pemenuhannya.

Pada hakikatnya, kontrak sosial sudah tercipta sejak awal sebelum negara atau pemerintahan berdiri dan dijalankan. Jika merujuk pada pemahaman ini, dalam kaitannya dengan Indonesia, kita bisa melihat sisi historis dari landasan dan latar belakang berdirinya negara ini, yang senyatanya bisa kita lihat pada pembukaan UUD ’45 alinea IV di mana diterangkan tujuan berdirinya NKRI. Di antaranya, (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Merujuk pada kontrak sosial (perjanjian sosial) di atas adalah menjadi kewajiban pemerintah yang menjalankan negara untuk mengantarkan bangsa Indonesia mencapai keempat tujuan tersebut. Adapun jika senyatanya tujuan tersebut diabaikan atau bahkan dikhianati, pemerintah telah melanggar kontrak sosial dengan rakyat yang dipimpinnya

Pemilukada transisi sosial
Sesungguhnya Kotrak sosial adalah sebuah cara bagaimanan menempatkan posisi antara rakyat atau pemilih dengan Calon kepala daerah yang terpilih nanti menjadi seimbang sehingga apa yang menjadi kebutuhan utama rakyat atas kesejahteraan hidup akan tercapai. Dalam kontrak sosial mekanisme yang di pakai adalah Calon diberi kekuasaan, rakyat mendapatkan tugas penilaian (pengontrolan). Kontrol oleh rakyat berarti, hak pengawasan dan penilaian jalannya pilkada tidak oleh parpol atau penguasa tetapi oleh gerakan massif partisipasi rakyat secara langsung. Dan hal Ini merupakan implikasi penempatan rakyat sebagai subjek pemilu.

Posisi politik seperti ini tidak sekedar memberikan suara, tetapi juga akses dan kontrol yang antara lain berlangsung dalam arena kontrak sosial seperti yang disebutkan. Partisipasi politik rakyat seperti ini diharapkan dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam menuntaskan transisi politik kearah konsolidasi demokrasi. Sehingga moment pilkada akan selalu dikilas balik sebagai moment bermakna bagi perbaikan nasib bukan sebagai objek yang selalu menjadi korban. Dengan demikian, pilkada akan mengembalikan hak-hak politik rakyat untuk menentukan kepala daerah sendiri. Peristiwa politik Pemilukada ini sebenarnya dapat sekaligus menegaskan bahwa masyarakat menjadi arah penentu yang dapat memberikan hukuman politik kepada sang calon di daerah dan akan menjadi subyek politik yang sangat menentukan kemajuan atau kemunduran daerahnya. Dalam konteks itu, penguatan kontrol oleh rakyat akan menjadi sebuah hal yang sangat vital untuk meminta tanggungjawab calon dalam bentuk apapun usai pemilu atas apa yang menjadi programnya dan janjinya. Artinya, jikalau calon tidak menjalankan amanat sesuai kontrak sosial saat pemilu, maka rakyat berhak pula melakukan tuntutan hukum. Ini merupakan langkah strategis agar manipulasi dapat dicegah. Sehingga pengertiannya, pilkada tidak berhenti hanya sebatas pada praktik pemberian suara rakyat kepada calon, tetapi implementasi program dan agenda politik sebagaimana tertera dalam panduan berupa kontrak sosial. Ini dapat Kita pastikan, disanalah jaminan nyata aktualisasi kedaulatan rakyat terhadap proses politik. Sehingga pilkada bukan hanya sekadar ajang pesta demokrasi di tingkat lokal, atau momen untuk sirkulasi kepemimpinan lokal, tetapi juga sarana mewujudkan demokrasi dan perwujudan kedaulatan rakyat. Pertanyaannya Beranikah Calon peserta Pemilukada di Sumsel Melakukan Ini?






Tidak ada komentar: