Selasa, 03 Juni 2008

Apa yang Terjadi pada Polisi dan Kita?


Rabu, 4 Juni 2008 00:33 WIB
Oleh Satjipto Rahardjo

Membicarakan polisi Indonesia tidak bisa dilakukan tanpa membicarakan diri kita sendiri juga, pemerintahnya, masyarakatnya, keadaan sosialnya, dan seterusnya. Tulisan ini bertolak dari posisi pemikiran seperti itu.

Polisi itu tidak ada di sana, berseberangan dengan kita, tetapi di sini, bersama kita dan menjadi sebagian dari kita. Maka, pada waktu menyaksikan dan merenungkan tayangan mengenai bentrokan polisi dengan para mahasiswa Universitas Nasional, 25 Mei dini hari, pandangan tentang polisi seperti itulah yang ada dalam kepala saya.

Polisi dan masyarakat yang ada secara bersama-sama adalah gagasan yang mendasari pencitraan ”polisi sipil” selama ini. Pada waktu masih aktif mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), saya mencoba melihat polisi ideal sebagai polisi yang protagonis, bukan antagonis. Zaman polisi antagonis sudah lewat bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan atau orde yang demokratis membutuhkan polisi-polisi yang protagonis, yang menempatkan telinganya di jantung rakyat, bukan penguasa. Namun, ini sungguh suatu perubahan yang sangat, sangat, dan sangat sulit serta berat untuk diwujudkan.

Polisi miskin

Polisi itu tidak di sana, tetapi di sini. Begitu juga buat polisi, rakyat itu tidak ada di seberang, tetapi bersama dan di tengah polisi. Dengan demikian, polisi merasakan susahnya kehidupan rakyat kecil dengan naiknya harga BBM. Sementara itu, masyarakat juga paham tentang bagaimana miskinnya polisi Indonesia itu. Miskin dalam arti semuanya. Saya sering mengatakan bahwa polisi Indonesia adalah polisi dengan sindrom kemiskinan. Polisi yang bekerja dalam sebuah negara miskin dengan sekalian akibatnya.

Rasio polisi dan penduduk yang ideal adalah 1 : 400. Mampukah negara Indonesia mencapai rasio ideal itu? Saya kira masih jauh karena tidak lain disebabkan negeri ini miskin. Ini berakibat besar oleh karena rasio tersebut dipatok dengan berbagai pertimbangan. Misalnya, rasio yang ideal menyebabkan polisi punya waktu istirahat yang cukup. Setiap sekian jam polisi bisa istirahat dan ini sangat penting karena pekerjaan polisi membutuhkan cadangan kesabaran yang besar.

Polisi yang baru bertugas 15 menit itu masih bisa tersenyum lebar, masih mempunyai cadangan energi besar daripada yang sudah bekerja 10 jam. Menghadapi demonstrasi yang keras dan pada saat yang tidak lazim, seperti peristiwa Unas, sungguh membutuhkan energi kesabaran atau self-control yang kuat.

Polisi telah memasang harga tinggi bagi pekerjaannya, yaitu ”melindungi dan melayani”, seperti umumnya polisi di dunia. Bahkan, polisi Belanda berkata lebih puitis, ”Kita bekerja supaya orang lain bisa tidur nyenyak.” Jadi, pada hemat saya, standar perekrutan polisi itu harus sangat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada anggota DPR, hakim, dan lain-lain, karena meliputi kecerdasan, kesabaran, ketabahan, dan kepedulian (compassion) (O2H : otot, otak, hati nurani). Polisi adalah ”malaikat penjaga manusia”. Maka, di Jepang, gaji yang diterima oleh polisi yang baru masuk (rookies) tidak boleh lebih rendah daripada pegawai bank yang juga baru masuk. Namun, lagi-lagi kita tahu bahwa polisi Indonesia adalah polisi sebuah negara miskin.

Polisi itu manusia, bukan robot. Kalau secara terus-menerus rakyat berempati terhadap mereka, saya yakin bahwa hatinya yang keras akan luluh juga. Konon di Hongkong, polisi yang berhasil membongkar kejahatan akan dielu-elukan oleh rakyat. Rakyat bisa bersemangat mengumpulkan uang untuk diberikan kepada polisi. Akan tetapi, kalau polisi terus-menerus disumpahi sebagai ”babi” (pig) seperti di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, akan menimbulkan semacam trauma juga di kalangan mereka.

Kekuatan dengan empati

Polisi yang protagonis itu ikut berada di pihak rakyat, dalam arti merasakan harapan-harapan dan penderitaan mereka. Mereka memang satu-satunya penegak hukum yang boleh menggunakan kekuatan fisik. Namun, menggunakan kekuatan dengan empati dan compassion berbeda dengan menggunakan kekuatan telanjang (brute force) begitu saja.

Polisi-polisi dengan kapasitas intelektual tinggi juga memiliki daya serap yang lebih tinggi terhadap gagasan-gagasan yang mulia. Maka, semakin tinggi persyaratan menjadi polisi akan meningkatkan kualitas mereka. Penelitian di Amerika Serikat sudah membuktikan hal tersebut.

Apa yang sudah terjadi, terjadilah. Pada waktu mendatang, penting bagi polisi untuk tidak melihat rakyat sebagai ada di sana dan bagi rakyat untuk menerima polisi sebagai bagian dirinya. Sayang kolom ini tidak menyediakan ruang lebih banyak untuk membicarakan masalah kepolisian dan perpolisian yang sungguh kompleks itu.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Tidak ada komentar: