Kamis, 30 Desember 2010

Bola Tetap Bola Bukan "Beringin" ataupun "Bintang"


Membaca surat yang ditujukan kepada Firman Utina (Kapt Timnas) dari Ito seorang sastrawan di sebuah situs berita inilah.com, membuat saya semakin semangat untuk terus berkata Sepak Bola bukan Politik, apalagi sebelumnya (28/12) sayapun telah melahap habis dua tulisan opini dari orang orang terkenal di indonesia salah satunya Effendi Ghazali seorang pakar Komunikasi, yang ada di halaman Kompas. Intinya mereka tetap satu pandangan bahwa Bola tetap Bola bukan “Beringin” dan “Bintang”.

Sebenarnya teriakan tentang “Sepak bola bukan ajang Politik” ini, telah lama saya suarakan kesemua orang, minimal teman teman satu profesi (kebetulan saat ini profesi saya adalah pengangguran), namun apa dikata semuanya selalu terlelap dan hilang ingatan ketika menyaksikan permainan para bintang bintang kesayangan mereka dilapangan, sehingga teriakan saya pun hilang dalam nyaring nya satu mantra ajaib penghilang semua kelelahan dan kekesalan “GOL.......................”.

Numpang Tenar dari Sepak Bola
Apa yang terjadi di Timnas saat ini sama halnya dengan apa yang dialami oleh klub sepakbola di propinsi Sumatera Selatan Sriwijaya Football Club(SFC) yang dijuluki laskar wong Kito. Klub ini harus menjadi bulan bulanan Politik Pencitraan oleh keluarga orang No 1 di propinsi ini (A. Noerdin). Saya masih ingat beberapa tahun lalu, saat klub ini memenangi dua kompetisi (Double winner) sekaligus yaitu Liga Super Indonesia dan copa Indonesia musim pertandingan 2007-2008 (Lihat;Indonesia.go.id) dan kebetulan momentnya bersamaan dengan panasnya iklim Politik di Sumatera Selatan (pemilihan kepala daerah), saat itu Dua Partai Besar bertarung yang di simbolkan dengan warna merah untuk Incumbent dan Kuning untuk penantang.

Atas diraihnya dua Gelar tersebut oleh Kepala daerah saat itu yang kebetulan juga sebagai Manajer klub ini (Syahrial Oesman), bermaksud mengadakan pesta perayaan kemenangan dengan mengelar Pawai keliling Kota membawa dua Piala tersebut, dan juga mengundang kepada seluruh masyarakat (fans Klub) untuk berfoto Gratis disamping Piala Piala tersebut. Namun apa dikata kritik dan hujatan melalui tulisan opini dan selebaran dari lawan politik Pilkada si manajer pun bermunculan, baik yang mengatakan bahwa kemenangan Laskar wong kito ini bukan campur tangan Manajer, tapi karena klub ini, klub yang telah mapan (take over dari Persibjatim) , dan juga kritik yang secara tidak sengaja satu pikiran dengan saya yaitu Sepak bola jangan dijadikan ajang politik Pencitraan yang bertujuan untuk meraup suara sebanyaknya dalam PILKADA saa itu.

Akhir 2008 nasib burukpun menimpa. Pasangan calon gubernur Incumbent harus rela kalah dari penantangnya (Alex Noerdin dan Eddy yusuf) dengan selisih perolehan suara sangatlah kecil sekitar 3 – 10 Persen. Seiring dengan kekalahan itu Laskar wong kito pun mulai mengalami kolaps keuangan. Guna menyelamatkannya, Gubernur Sumsel yang baru saja terpilihpun mencoba berbaik hati dengan membayar semua hutang klub ini (2 Milyar). Kompensasi dari suntikan dana ini, klub harus berpindah tangan ke keluarga Gubernur yang baru dan mengangkat Dodi Reza Alex Noerdin (anaknya) yang juga anggota DPR RI sebagai Presiden Klub.

Berubahnya managemen klub ternyata membuat nasib burukpun datang menyapa, keinginan untuk mempertahankan Gelar Double Winner ,harus hilang dimakan ganasnya lapangan hijau Klub lain. Laskar Wong kito pada musim kompetisi 2009-2010 hanya mampu menyabet satu gelar piala Liga Indonesia. Atas kemunduran Prestasi klub ini, seakan akan membuktikan bahwa kritik dan hujatan pedas yang dilayangkan oleh team kampanye “Kuning” saat PILKADA lalu kepada Syahrial Oesman sebelumnya tidaklah benar,dan hanya atas kepentingan politik semata.
Bagai “menjilat ludah sendiri” apa yang dilakukan Syahrial Oesman saat Laskar wong kito meraih Double Winner, itupun ditiru dan dilakukan oleh Rezim saat ini. Dengan modal juara liga indonesia Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam hal ini Gubernur, mengajak kerja sama manajemen Laskar Wong kito dan segenap pemain untuk mengelar pawai keliling kota guna mengarak trofi Piala Indonesia (kompas,03/08).

Tidak ada yang salah atas arak arakan yang dilakukan oleh Gubernur saat ini terhadap kemenangan yang diraih oleh SFC. Yang salah hanyalah, mengapa inipun dilakukan juga oleh Pak gubernur saat ini, padahal sebelumnya Beliau telah mengkritik dan menghujat habis habisan kegiatan yang sama dilakukan oleh Gubernur sebelumnya yang sebenarnya merupakan manager Team.

Numpang tenar dari 1 Milyar pohon
Cerita tentang bagaimana politik pencitraan (numpang tenar) yang dilakukan oleh Para Pejabat di Sumsel pada sepak bola yang saya tuliskan diatas, sangat sama dengan pencitraaan politik yang dilakukan oleh para pejabat tersebut dalam merespon program 1 Milyar pohon atau dikenal dengan OBIT (one Billion Indonesia Trees) yang di kumandangkan oleh Rezim SBY – Boediono jilid 2 melalui Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan baru baru ini.

Pemerintah Sumsel merupakan satu diantara pemerintah daerah lain, yang menyambut baik program Menanam Pohon ini. Tidak tanggung tanggung menurut Sutrisno Kepala
Bidang Rehabilitasi Hutan Dinas Kehutanan Sumsel, dari target 100 Juta pohon yang akan ditanam saat ini yang telah terealisasi oleh Pemerintah Sumsel adalah sekitar 98 juta Pohon. (sripoku.28/12).

Namun Apakah Program ini telah diikuti dengan perlindungan,pelestarian dan pemulihan terhadap kawasan hutan di Sumsel, yang selama ini telah rusak akibat Ilegal Logging dan alih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri dan Pertambangan? Selain itu apakah sudah dipastikan bahwa seluruh pohon yang ditanam itu dirawat (Hidup)?
Menanam 100 Juta pohon hanya alat pembenaran bahwa Pemberian izin terhadap Perusahaan-Perusahaan yang bergerak di Industri Rakus Lahan (Sawit, Tambang dan HTI) dan telah menghancurkan Jutaan Hektar kawasan hutan dan keanekaragaman hayatinya selama ini, telah tergantikan dengan tanaman pohonnya. yang sebenarnya tidak akan pernah dapat mengembalikan Rumah bagi para Harimau Sumatera,Gajah, Burung dan Tumbuhan tumbuhan langkah didalamnya.

Menurut Direktur Walhi Sumsel anwar sadat, dari 3,7 Juta Ha Hutan di Sumsel, saat ini yang tersisa tidak lebih dari 1 Juta Ha. ini diakibatkan oleh alih Fungsi atau pemberian Izin oleh pemerintah terhadap Perkebunan Sawit, HTI dan tambang yang sampai saat ini masih terus berjalan.(buanasumsel.com)

Program menanam hanya untuk pencitraan (tenar),lihat saja apa yang terjadi di GOR Palembang, dari sekitar 10 Pohon yang ditanam oleh para pemilik media Lokal maupun nasional, yang katanya mengantikan puluhan pohon yang ditebang akibat pembuatan Hotel dan Cafe dikawasan ini ,sekarang kondisinya telah hilang seiring dengan deru suara mesin mesin penghancur bangunan sejarah Pekan olahraga Mahasiswa pertama kalinya yang diadakan di Palembang.

Sepak bola dan Indonesia Hijau Cuma butuh Kemauan.
Sepak bola tidak butuh citra,sepak bola tidak butuh politik. sepak bola hanya butuh perhatian dan kemauan dari pemerintah dan pejabat akan pentingnya menjaga lapangan lapangan bola, yang dimiliki rakyat di desa dan perkotaan tidak digusur oleh rakusnya pembangunan pembangunan Mal, Hotel dan Perumahan Perumahan elit, yang semuanya telah menghancurkan harapan munculnya Firman utina kecil dan Ferry Rotinsulu kecil. Begitupun dengan Lingkungan Hidup dan keinginan terciptanya Indonesia Hijau, yang dibutuhkan untuk hal ini hanyalah kemauan. Kemauan penyelenggara Negara untuk memproteksi kawasan Kawasan Hutan dan Ruang Ruang Terbuka Hijau di Perkotaaan yang telah ada untuk tidak lagi dialih fungsikan guna kepentingan kepentingan Bisnis semata serta kemauan pemerintah untuk mengambil kembali semua kawasan kawasan hutan dan kawasan Hijau yang telah dialih fungsikan menjadi seperti Semula.


Batubara dan Gerbong Penarik Kematian.


“..... Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga, Kereta Tiba Pukul Berapa. Biasanya Kereta terlambat, Dua Jam itu Biasa”. Lirik Kereta tiba pukul berapa, by Iwan fals.

Lirik Iwan fals dalam lagu diatas sama hal nya dengan apa yang dialami penumpang kereta api di Sumatera Selatan tujuan Palembang – Lampung, Palembang – Lubuk Linggau.Menurut Yuniar Ibu satu anak yang ditemui oleh Penulis di stasiun Kertapati Palembang beberapa waktu yang lalu mengatakan, selain tidak adanya perubahan fasilitas kereta api yang seperti “Kandang Ayam” ini, keterlambatan kereta api yang mencapai 3 -5 Jam itu terlalu sering dialami penumpang, apalagi kalo naik kereta Ekonomi,kenyamanan dan keselamatan ± 600 penumpang diatasnya tidaklah menjadi perhatian. PT. Kereta Api Indonesia (KAI) lebih mendahulukan angkutan Batubara daripada Kereta Penumpang sehingga ketika melewati beberapa stasiun, kereta penumpang harus berhenti (15 – 60 menit) menunggu kereta “Babaranjang” (Batubara Rangkaian Panjang) lewat terlebih dahulu.

Cerita diatas merupakan salah satu kisah bagaimana Industri Ekstratif Batubara merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat, diabaikannya fasilitas umum yang seharusnya wajib didahulukan dan diberikan oleh penyelenggara Negara kepada seluruh rakyat Indonesia.

Hal lainnya bagaimana Batubara merusak sumber sumber kehidupan masyarakat di Sumatera Selatan, terjadi di Kecamatan Merapi Kabupaten Lahat, akibat dari aktifitas Eksploitasi Batubara yang dilakukan oleh PT.SMS, Sungai larangan Payo yang sehari harinya digunakan masyarakat untuk mandi dan mencuci, tercemar oleh limbah Batubara perusahaan dan menyebabkan warna air sungai menjadi kecoklatan dan keruh (Baca; Sripo 16/12). Begitupun yang terjadi di Kecamatan Merapi Barat kabupaten Lahat, ratusan warga ketakutan terserang penyakit akibat tercemarnya sungai Nipai oleh Limbah Pertambangan yang diduga dilakukan oleh PT. Andalas (Sripo,25/07).

Pepatah lama “Kecil Kecil Cabe Rawit” dapat mengambarkan bagaimana industri ekstratif Batubara ini bekerja, Produksi yang kecil ternyata tidaklah menjamin bahwa pertambangan Batubara tidaklah mempunyai dampak besar terhadap ekonomi, sosial, Budaya dan Lingkungan hidup. Berdasarkan Data BPS tahun 2009, Produksi batubara Sumatera Selatan hanya 12 juta Ton pertahun (6 Persen dari Produksi batubara Propinsi Kalimantan timur) yang berasal dari 10 Kuasa Pertambangan/KP (Dalam UU No 1 tahun 2009 tentang Minerba di sebut Izin Usaha Pertambangan/IUP), dari 270 KP yang ada di Sumatera selatan.

Respon Pemerintah terhadap Daya Rusak Batubara
Papan Reklame 5 M x 6 M bertuliskan “Gerbong Penarik Kemakmuran”, berwarna ungu dengan background bergambar Kereta api, hampir dapat kita temui di sudut kota Palembang. Iklan “Gerbong Kemakmuran” ini, dalam rangka mensosialisasikan rencana pemerintah Sumsel yang akan menambah (jalur lama tetap dipakai) tiga jalur baru kereta api khusus Pengangkutan Batubara, dimana sebelumnya hanya satu jalur tujuan Muara enim - Palembang – Tanjung karang yang digabungkan dengan rel transportasi umum(penumpang).

Rel kereta api yang akan dibangun oleh Pemprov Sumsel tersebut atas kerjasama dengan beberapa pihak seperti PT. BA dan PT. Adani Global India untuk pembagunan jalur Double Track sepanjang 270 Km, tujuan Tanjung enim - Tanjung Api Api (Okezone,25/8), PT.BA dan PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) untuk pembangunan jalur Tanjung Enim – Kertapati – Tarahan, dan Pembangunan rel Tanjung Enim – Srengsem Lampung yang bekerjasama dengan PT. Bukit Asam transpacipic Railway, PT. Transpacifik Railway Infrastruktut dan China Railway enginering Coorporation ( Lihat AR PT. BA 2009).

Program pembangunan rel ini merupakan respon Gubernur Sumatera Selatan H. Alex noerdin terhadap Industri Ekstartif Batubara, Kerusakan yang selama ini terjadi akibat Pertambangan Batubara, tidaklah menyurutkan langkah Gubernur untuk mengeruk habis isi Perut Bumi dan malah mendesak kepada seluruh Pemilik KP yang ada di Sumatera Selatan untuk dapat meningkatkan Produksi 40 Kali lipat, sehingga di tahun 2014 nanti saat semua Infrastruktur transportasi Seperti Rel khusus batubara selesai dibangun, Produksi Batubara Sumsel minimal mencapai 50 Juta Ton/tahun.
Belajar Daya Rusak batubara dari Kalimantan Timur
Sebelum kita terperosok jauh kedalam manisnya bahasa iklan Gerbong Kemakmuran ada baiknya kita melihat bagaimana daya rusak Industri Ekstratif batubara di Propinsi yang telah terlebih dahulu mengeruk habis Kekayaan perut Buminya (batubara).

Kalimantan timur merupakan salah satu Propinsi penghasil batubara terbesar di Indonesia, setiap tahun sebanyak 200 juta ton Bongkahan “Emas Hitam” ini, dipaksa untuk dimuntahkan kepermukaan Bumi oleh sekitar 1.212 kuasa pertambangan (KP),33 ijin PKP2B (Baca; Deadly Coal, Jatam.org) dan dijual ke Asia dan Eropa yang Rakus energi seperti Jepang, Cina, Belanda,Amerika, Italia dan lainnya.

“Jauh panggang dari api “ Seiring dengan dikeluarkannya Bongkahan Emas Hitam dari perut Bumi Kalimantan ternyata kesejahteraan yang diharapkan tidaklah terwujud, malah mengantarkan Rakyatnya ke jurang kemiskinan. Hasil survey SUSENAS 2007 terjadi peningkatan angka kemiskinan 25,7 persen, yang sebelumnya hanya berjumlah 299,1 Ribu Jiwa namun ditahun 2007 menjadi 324,8 Ribu Jiwa dari total 2.957.465 Jiwa penduduk, dan parahnya sebaran penduduk miskin tersebut terbanyak berada di tiga kota/kabupaten yang memiliki wilayah konsesi batubara terbanyak yaitu Kota Samarinda, Balikpapan dan kabupaten Kutai kertanegara.Hal ini dapat diartikan juga bahwa angka pengganguran yang dikandung dalam perut Propinsi ini, tak akan beda jauh dengan angka kemiskinan padahal jika kita menggunakan akal sehat dengan banyaknya Perusahaan dan Industri di sebuah wilayah, otomatis akan dapat menghisap angka pengganguran yang artinya meningkatnya taraf hidup rakyat.

Hal terparah lainnya adalah rusaknya lingkungan Hidup dikawasan kawasan yang merupakan Penopang hidup Rakyat, setidaknya sejak tahun 2000 ada sekitar 9.000 Hektar hutan di Propinsi ini hilang, digantikan oleh Lobang Lobang raksasa dari aktifitas penggalian Batubara, yang membuat masyarakat adat Dayak Basap di Kecamatan Bengalon, Sangatta harus rela kehilangan tempat mereka mencari makan yang sejatinya terbiasa memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil berburu dan berladang.

Selain dari kerugian yang di derita oleh masyarakat adat dayak tadi, hancurnya Hutan juga telah menyebabkan beberapa wilayah di kota samarinda (Ibukota Propinsi Kaltim)yang dihuni oleh Ribuan jiwa, dipaksa harus “menenggelamkan” sebagian tubuhnya di dalam air yang turun (hujan) hanya selama 2-3 jam.

Tidak hanya sebatas itu Daya Rusak Batubara pun juga telah menyapa serta meluluh lantakan lahan lahan Pertanian masyarakat contohnya Desa Makroman, Samarinda Ilir yang dahulu dikenal sebagai lumbung beras bagi Kota Samarinda,kini harus rela membuang jauh semua predikat tersebut, karena sejak perusahaan pertambangan mulai beroperasi di sekitar desa, Belasan hektar lahan pertanian penduduk mengalami kerusakan parah karena sumber air bagi sawah mereka tercemar oleh limbah pertambangan batubara, yang seenaknya dibuang ke sungai yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat setempat.

Hilangnya lahan (lumbung) pangan ini, memaksa pemerintah harus mendatangkan tambahan beras sebesar 20 ribu ton bagi 3,7 Jiwa penduduk nya dari luar Propinsi seperti sulawesi selatan dan jawa.ditambah dengan mendatangkan sedikitnya 490 ekor sapi dari Nusa Tengara barat dan Sulawesi selatan guna memenuhi kebutuhan proteinnya.
Saatnya bertindak, Batubara Pembunuh
”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs.Ar-rum 41)

Semua gambaran kerusakan dan di abaikannya keselamatan rakyat akibat Pengerukan “Emas Hitam” yang dilakukan pemerintah baik itu skala kecil dan besar ,sudah terpampang jelas di depan mata kita, sehingga jika Pemerintah Sumsel tetap bersih keras untuk melanjutkan program peningkatan produksi Batubaranya maka hal yang patutlah kita lakukan adalah melakukan pemeriksaan terhadap “Kartu Identitas Penduduk (KTP)” para penyelenggara negara di propinsi ini, apakah benar mereka Warga Negara Indonesia Sumsel?,dan jika benar, maka demi Pulihnya Lingkungan Hidup dan keselamatan rakyat Sumsel,segera hentikan ekploitasi Batubara karena Batubara pembunuh.


Jumat, 24 Desember 2010

Aktivis: ANTARA Harus Bersikap Pro-Lingkungan


Palembang (ANTARA News) – Kalangan aktivis lingkungan di Palembang, berharap Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA dapat bersikap prolingkungan, antara lain dengan tidak menjadikan sebagai corong kepentingan mendukung eksploitasi sumberdaya alam yang merusak kelestarian alam dan lingkungan hidup.Menurut Hadi Jatmiko, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, di Palembang, Selasa, LKBN ANTARA memasuki usia ke-73 pada 13 Desember ini merupakan umur kematangan dan dewasa, sehingga sudah harus berperan penting di tengah masyarakat.

ANTARA harus mengambil peran penting, antara lain ikut peduli pada upaya mengatasi kerusakan lingkungan hidup dengan dampak pemanasan global saat ini.

Seraya mengucapkan selamat ulang tahun untuk LKBN ANTARA yang ke-73 itu, Hadi sekaligus menyampaikan harapan agar ANTARA tetap menjadi portal pertama dan terdepan dalam memberikan informasi secara cepat dan akurat.

“ANTARA juga harus mampu berperan memperpendek jurang kesenjangan informasi dengan menjadi jembatan informasi dan komunikasi antara masyarakat dan para pemangku kepentingan,” kata dia lagi.

Dia juga berharap, di halaman portal onlinenya (antara.news.com) tersedia pula halaman khusus untuk Sumatera Selatan yang beritanya tetap mengedepankan independensi dan fakta-fakta lapangan atas berbagai kejadian di daerah ini.

Hal tersebut diperlukan, untuk menjadi penyeimbang pemberitaan media massa umumnya yang bisa terjebak pada komersialisasi informasi, katanya.

ANTARA juga diharapkan tidak menjadi media yang hanya sekadar corong dan perpanjangan tangan kebijakan pemerintah dan pengusaha Lokal maupun nasional, untuk mensukseskan program-program selama ini semakin memiskinkan rakyat dan merusak lingkungan hidup.

“Sebagai kantor berita milik negara, ANTARA harus berani berpihak pada kepentingan rakyat, agar dapat mendorong kemiskinan diatasi dan pengrusakan lingkungan segera dihentikan,” demikian Hadi Jatmiko.(*)