Sabtu, 24 April 2010

Rawa Hilang, Banjir pun Datang

Oleh : Hadi Jatmiko, ST
Pengiat Lingkungan di Sumsel

Liukan aliran Sungai Musi dengan panjang mencapai 750 Km yang merupakan salah satu Sungai terpanjang di Indonesia, telah membelah kota Palembang menjadi 2 bagian seberang ulu dan Seberang Ilir. 2 bagian kota ini dihubungkan oleh satu buah jembatan Tua yang dibangun oleh Soekarno di saat Republik ini baru berusia sekitar 15 tahun.

Luas dari 2 bagian kota ini adalah 40.061 Ha. Dan Lebih dari setengahnya sekitar 22.000 Ha, adalah kawasan Rawa yang tersebar di seluruh pelosok kota dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang jaraknya hanya sekitar 107 Km sebelah utara.

Rawa artinya lahan genangan air secara alamiah yang terjadi secara terus menerus dan musiman, akibat drainase alamiah yang terhambat dan mempunyai ciri khusus secara fisik, kimia dan biologis. Di Tahun 2008, guna mengatur bentuk dan system Pengelolaan potensi Rawa, Pemerintah Kota palembang mengeluarkan sebuah Peraturan Daerah Nomor 5 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa. Atas di keluarkan nya PERDA ini banyak kalangan akademisi, Praktisi hukum dan Pemerhati Lingkungan berpendapat bahwa Perda ini, tidaklah menyentuh substansi dari persoalan rawa yang terjadi tetapi merupakan perpanjangan tangan dari pemilik modal untuk mengalih fungsikan rawa menjadi kawasan bisnis.

Pendapat tersebut sangat beralasan,jika kita melihat di salah satu bunyi pasalnya yang menyebutkan bahwa setiap Orang atau pengembang yang ingin memanfaatkan Rawa, cukup dengan membayar uang retribusi yang telah ditentukan. Dimana, untuk Luas rawa di bawah 1 ha biaya Retribusinya yang harus dibayar hanya sekitar 5 sampai 10 juta. Sedangkan untuk lahan rawa yang luasnya diatas 1 Ha, pengembang di wajibkan membayar retribusi 10 sampai 50 juta. Pasal ini sesungguhnya hanya membuka peluang sebesar besarnya bagi Pemodal besar, untuk mengalih fungsikan lahan rawa seluas luasnya sesuai dengan batas kemampuan keuangan yang dimiliki nya, tanpa melihat daya dukung Lingkungan yang ada disekitar nya.

Pesatnya Pertumbuhan Penduduk yang saat ini telah mencapai 1,4 Juta jiwa, telah berdampak dengan bertambahnya kebutuhan lahan di palembang sehingga menyebabkan kawasan rawa pun tidak dapat dialih fungsikan. Berdasarkan ketentuan nya kawasan Rawa dibagi menjadi 3 bagian, Pertama adalah Rawa konservasi, merupakan lahan genangan air alamiah yang mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, biologis dan dataran yang tidak dapat di Alih fungsikan. Kedua adalah rawa Budidaya, rawa yang dapat dimanfaatkan seperti pertanian, pemukiman, dan perkebunan namun dilarang merubah bentuk fisiknya. Dan terakhir adalah rawa Reklamasi merupakan rawa yang dapat dimanfaatkan dengan cara mengeringkan,menimbun dan mengalih fungsikan peruntukan dengan tetap memperhatikan fungsi rawa sebagai daerah tampungan air dan sistem pengendalian banjir.

Data Walhi Sumsel menyebutkan akibat dari pembangunan, setidaknya telah menghilangkan 14.700 Ha kawasan rawa, dan hanya menyisakan sekitar 7.300 atau 30 % dari Luas sebelumnya. Akibatnya 70 persen kawasan Rawa yang selama ini berfungsi sebagai penampung air hujan dan air pasang surut Sungai Musi tersebut tidak dapat di fungsikan lagi. Dampaknya 70 persen air yang tidak tertampung itupun meluap menuju daerah yang lebih rendah sehingga terjadilah banjir.

Berita di Media cetak dan elektronik beberapa waktu yang lalu menyebutkan, bahwa sejak terompet tahun baru 2010 di bunyikan, Sedikitnya telah terjadi 10 kali bencana banjir melanda Palembang dan memakan korban jiwa sebanyak 2 orang yaitu satu orang balita meninggal karena tenggelam dan satu orang lagi meninggal dunia akibat tersengat arus listrik yang terhubung dengan air yang mengenangi rumahnya.

Masih terekam di kepala kita tentang Kondisi kawasan komplek Palembang Trade Centre (PTC) yang dulunya disebut dengan PATAL, kawasan yang luasnya 21 Ha ini dulunya adalah Kawasan Rawa yang bagi masyarakat sekitar berfungsi sebagai kawasan penampung air sehingga walaupun Hujan turun dengan Deras nya, masyarakat tidak pernah cemas datangnya Banjir , akan tetapi sejak tahun 2004 ketika kawasan ini dibangun menjadi pusat perbelanjaan PTC dan Hotel Novotel, Banjir pun menjadi tamu yang selalu mendatangi Masyarakat ketika turun. hujan. Fakta ini setidaknya dapat dijadikan contoh nyata yang membuktikan Bahwa Aktifitas penghilangan rawa telah mendatangkan Bencana Banjir.

Sebenarnya sebuah Hal yang mudah dilakukan agar Fungsi Rawa tetap bisa di pertahankan walau telah dialih fungsikan yaitu, selain dari dijalankan nya secara optimal aturan yang telah ada di dalam PERDA rawa oleh pengembang dan pemerintah daerah. tetapi juga kedepan yang harus dilakukan oleh Pengembang,masyarakat dan pemerintah yang ingin membangun diatas lahan rawa, harus mendirikan bangunan dengan tipe Rumah panggung, karena dengan bangunan bertipe inilah Kawasan rawa dapat di pertahankan Bentuk dan fungsi nya sehingga ancaman datangnya banjir bagi masyarakat Kota Palembang akibat dari rusaknya Rawa tidak terjadi lagi di kemudian hari. dan selain itu jika pun banjir tetap datang maka masyarakat ,pengembang dan pemerintah dapat terhindar dari rendaman air.

Kini Palembang mulai beranjak meninggalkan musim Hujan dan beralih ke Musim Kemarau. Adalah saat yang tepat bagi Pemerintah untuk melakukan pemeriksaan dan meninjau ulang izin-izin bangunan yang dikeluarkan nya dan berada diatas kawasan rawa,apakah telah sesuai dengan aturan atau kondisi lingkungan yang ada disekitar kawasan tersebut. ataukah belum. dan Selain itu saat ini juga merupakan waktu yang tepat untuk pemerintah melakukan revisi bahkan mungkin mencabut PERDA NO 5 Tahun 2008 yang menurut banyak kalangan, dalam Pasal pasalnya hanya mempunyai semangat ekonomis bukan semangat untuk melestraikan Lingkungan dan keselamatan Rakyat.

Tulisan ini telah di muat di Koran Sriwijaya Post dan koran Kompas pada kolom Klasik Palembang