Hilangnya
fungsi hutan dan akses
masyarakat terhadap kawasan Hutan di akibatkan
oleh
banyaknya perizinan yang di berikan kepala daerah kepada pihak perusahaan, terlebih lagi banyaknya
perizinan keluar ketika menjelang atau sesudah penyelenggaran Pemilihan Kepala
Daerah. Hal
tersebut diungkapkan oleh Walhi
Sumsel bersama
Auriga Nusantara dalam Diskusi bersama media massa yang dilaksanakan
pada Jumat (29/8) di Kopitiam Senopati Jalan Thamrin Kambang Iwak Palembang.
“Dalam proses
Pemilihan Kepala Daerah, Sumber Daya Alam (SDA) sering menjadi alat transaksi Calon
kepala daerah kepada Pengusaha, untuk
jaminan pemberian modal
memenangkan Kandidat pada penyelenggaraan
Pilkada” Kata Hadi jatmiko Direktur Walhi Sumsel.
Berdasarkan
studi perizinan yang dilakukan oleh Walhi Sumsel bersama Auriga Nusantara ditemukan,
bahwa keluarnya izin terhadap perusahaan yang bergerak di sector ekploitasi
sumber daya alam Seperti Pertambangan dan Hutan tanaman Industri di Sumatera
selatan, rata rata dikeluarkan menjelang Pelaksanaan Pilkada Propinsi.
Misalnya pada izin Pengelolaan kawasan Hutan di
periode kepemimpinan Gubernur Syahrial Oesman, tahun 2003 – 2008. Terdapat 8 izin usaha Pemanfaatan
Hutan Kayu untuk Hutan tanamn Industri (IUPHHK-HTI) dengan
total luasan 877.330 hektar. Ini merupakan luasan terbesar
yang dikeluarkan pada satu periode kepemimpinan Gubernur dalam 25 tahun terakhir. Hal ini di karenakan pada periode kepemimpinan syahrial, belum ada
batasan luasan pemberian izin untuk HTI.
Selanjut pada periode 2008 – 2013 dibawah kepemimpinan Alex Nurdin sebagai
Gubernur, dimana luasan pemberian izin telah dibatasi. Jumlah izin yang dikeluarkan meningkat, yang sebelumnya hanya 8 izin, pada periode ini
ada 11 izin dengan luasan 326.084 Hektar.
“Periode Gubernur Alex Noerdin
luasan Hutan yang diberikan izin lebih kecil dari periode Gubernur sebelumnya
Syahrial oesman, namun merupakan pemberian izin terbanyak dalam 25 tahun
terakhir.” Kata Supintri Koordinator Auriga Nusantara untuk wilayah Sumbagsel.
Tidak menutup
kemungkinan jumlah perizinan HTI ini akan
bertambah pada
periode kedua kepemimpinan Alex Noerdin ( 2013-2018), mengingat rekam jejak
kepemimpinannya selama menjadi Bupati Musi Banyuasin, Alex Noerdin sangat berperan terhadap keluarnya izin-izin IUPHHK-HTI di Kabupaten tersebut.
“Dugaan kami izin izin HTI ini
akan kembali dikeluarkan, apalagi Sumsel saat ini sedang
membangun Pabrik Pulp dan Mills terbesar di Asia yang berkapasitas 2 Juta
ton/tahun di kabupaten Ogan Komering Ilir”. Kata Hadi Jatmiko
Selain dari sektor kehutanan, penguasaan dan
eksploitasi kawasan hutan juga dilakukan oleh
perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan dan tambang. Banyak
kawasan hutan yang di kuasai melalui mekanisme pinjam pakai, penurunan fungsi
atau pelepasan kawasan hutan.
Seperti pada kawasan
hutan produksi dapat di konversi (HPK) di Sumatera Selatan yang luasnya 431.445 hektar, namun
berdasarkan data Kementerian Kehutanan tahun 2013 kawasan hutan di Sumatera
Selatan yang telah dilepaskan menjadi
areal perkebunan mencapai 847.143
hektar.
“Hal ini Janggal walaupun
prosesnya legal adanya pelepasan kawasan hutan, namun kawasan hutan yang
dilepaskan untuk perkebunan melebihi dari wilayah yang diperuntukan untuk
perkebunan” Kata Supin menerangkan.
Kejanggalan lain terdapat disektor
pertambangan, dimana 801.160 hektar IUP yang dimiliki oleh 191 Perusahaan
diberikan diatas kawasan hutan, baik itu didalam hutan konservasi,hutan lindung maupun hutan produksi (Planologi kehutanan,
2014)
Berdasarkan studi yang dilakukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di
Provinsi Sumatera Selatan, hingga tahun 2014 terdapat 359 Izin Usaha
Pertambangan (IUP). Dari jumlah tersebut, terdapat 31 pelaku usaha yang tidak
memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Sedangkan data Direktorat Jenderal Pajak (April 2014)
meyebutkan, dari 241 wajib pajak , hanya 18 diantaranya yang melakukan
pelaporan penghitungan pajak (pelaporan SPT).
Sama halnya dengan
keluarnya perizinan di IUPHHK-HTI, di sector pertambangan izin izin tersebut
terbanyak keluar pada tahun 2009 – 2010 , dimana
masa tersebut menjadi tahun politik karena berbarengan dengan pelaksanaan
Pemilu dan Pilkada. tercatat total 290
IUP (81 % dari total IUP yang ada) dikeluarkan dalam 2 tahun tersebut. 140
IUP dikeluarkan pada tahun 2009 dan 150
IUP dikeluarkan pada tahun 2010. Hal ini menguatkan indikasi bahwa
izin-izin tersebut menjadi alat transaksi politik dalam pelaksanaan pemilu dan
pilkada.
Ada 2 Modus transaksi SDA sebagai Mesin uang untuk calon kepala daerah
ungkap Hadi Jatmiko di sela konferensi pers berlangsung.
Pertama pemberian izin menjelang pemilu atau pilkada, hal ini banyak
dilakukan oleh calon kepala daerah Incumbent karena calon memiliki kuasa untuk
mengeluarkan izin, sedangkan modus kedua adalah Pemberian izin setelah Pemilu
dan Pilkada, biasanya ini dilakukan oleh kepala daerah yang berasal bukan dari
Incumbent.
“Modus yang kedua ini biasanya sering disebut sebagai bentuk hadiah atau
tanda terima kasih dari Kepala daerah kepada pengusaha atas bantuan pinjaman
modal ketika masa kampanye Pilkada dan pemilu berlangsung” kata Hadi jatmiko
menambahkan
Untuk mencegah terjadinya transaksional tersebut maka diperlukan peran serta aktif masyarakat untuk mengawasi
setiap izin izin yang keluar di Sumsel saat ini, di sisi lain pemerintah
diharapkan lebih terbuka atas informasi di sector Sumber daya alam dan
perizinan yang di miliki. Salah satunya menjalankan mandate Undang Undang No 14
tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi publik.
Selain itu dalam dokumen keterangan pers dua lembaga ini juga
menyebutkan meminta pemerintah sumatera selatan untuk menghentikan obral izin
dan menjadikan Sumber daya alam sebagai alat transaksi politik kekuasaan di
sumatera selatan,serta segera mencabut izin izin perusahaan yang bermasalah.
“KPK dan Aparat penegak Hukum harus segera melakukan penegakan hukum
terhadap perusahaan Pelaku Kejahatan Hutan dan Lingkungan Hidup serta mengawasi
menyelidiki setiap pemberian izin di daerah” ungkap Direktur Walhi Sumsel Hadi
jatmiko.
Ketimpangan Penguasaan lahan
Sumatera selatan memiliki luas 8,702,741 Hektar dengan jumlah penduduk
mencapai 7,593,425 jiwa (BPS 2011) namun dalam penguasaan ruang dan lahan,
didominasi oleh Perusahaan di sector Tambang, Hutan Tanaman dan Perkebunan.
Luas pertambangan sumatera selatan adalah seluas 2,7 juta hektar yang
tersebar di sedikitnya 8 kabupaten yang ada di sumatera selatan dengan jumlah
izin terbanyak adalah di Kabupaten Musi Banyuasin, sedangkan untuk luas Hutan Tanaman
Industri seluas 1,375,312 hektar ditambah dengan HPH 56.000 Ha, Restorasi
Ekologi 52.170 Ha dan Jasa Lingkungan 22.280 Ha sehingga jumlah totalnya jika
di persentasekan adalah 65 persen dari luas Hutan Produksi sumatera selatan yang berada di 7 kabupaten. (Walhi
sumsel,2013)
Untuk luasan perkebunan kelapa sawit
mencapai 1 juta hektar yang menyebar rata di hampir setiap kabupaten di
sumater selatan.
Dari ketiga sektor tersebut maka luas lahan sumatera selatan yang
dikuasai beberapa perusahaan yang dimiliki beberapa gelintir orang tersebut
adalah 5.205.762 Hektar. Artinya luas lahan yang tersisa untuk sekitar 7 juta
jiwa masyarakat sumatera selatan adalah 3.496.979 Hektar yang didalamnya
termasuk kawasan hutan yang tidak di bebani izin yaitu Hutan konservasi, hutan
lindung dan Hutan Produksi.
Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan ini memicu terjadinya
konflik agrarian yang tidak berkesudahan, berdasarkan data Walhi Sumsel pada
tahun 2013 tercatat sekitar 35 Konflik agrarian antara masyarakat dengan
perkebunan, Tambang dan Kawasan Hutan. Serta setidaknya selama tahun 2012 -2013
ada 70 orang terdiri dari petani, aktifis dan masyarakat local di kriminalisasi
karena membela dan mempertahan lahan dan lingkungan hidupnya.
Seperti kasus kriminalisasi terhadap M.Nur Jakfar (73 th) beserta 5
orang masyarakat adat marga tungkal dan dawas lainnya, yang pada kamis (28/8)
kemarin mulai menjalankan persidangan pertamanya walaupun sidang yang dipimpin
oleh ketua majelis hakim yang juga merupakan Wakil ketua Pengadilan Albertina
HO,SH,MH. ditunda karena mendadak harus berangkat ke Banjarmasin karena urusan
Dinas.
Pada Dokumen tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke enam orang ini
dituduh melakukan perambahan di dalam kawasan SM Dangku dan melanggar UU No 18
/13 tentang Pencegahan dan pemberantasan perusakan kawasan Hutan (UP3H).
Tuduhan ini mendapat perlawanan dari Organisasi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) melalui ketua AMAN Sumsel Rustandi Ardiansyah karena menurutnya Kawasan yang diklaim oleh BKSDA sebagai
kawasan hutan Suaka Marga, adalah Lahan Milik Masyarakat Adat yang dirampas
secara paksa oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 1980-an.