Jumat, 05 September 2014

Perusahaan Pembakar lahan di sumsel harus segera di Pidanakan.


Tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada tahun tahun sebelumnya, Bencana kabut asap akibat dari kebakaran Hutan dan lahan kembali terjadi di Propinsi Sumatera selatan.
Berdasarkan laporan data satelit Terra dan Aqua akibat dari kemarau yang terjadi selama bulan 1 – 31 Agustus 2014, telah menyebabkan terjadi titik api (Hot spot) yang menyebar di berbagai Kabupaten di Sumatera selatan seperti  Musi Banyuasin, Musi rawas, OKI, Ogan Ilir, Lahat dan Muara enim.
Adapun jumlah titik api di sumatera selatan yang tersebar di beberapa kabupaten tersebut sebanyak 253 titik api.
Namun dari sebaran titik api yang ditemukan oleh  satelit Terra dan aqua yang diterima oleh Walhi sumsel, berdasarkan analisis peta yang kami lakukan, titik api tersebut di dominasi berada di dalam izin konsesi perusahaan baik itu Perkebunan maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).yang terdiri dari 69 Titik api berada di Perkebunan Sawit, sedangkan untuk titik api yang berada di dalam Hutan Tanaman Industri sebanyak 73 Titik api
Selanjutnya dari 253 Titik api tersebut ketika di overlay diatas peta lahan gambut di sumatera selatan, terdapat 42 titik api. Lahan gambut tersebut berada didalam konsesi perkebunan dan Hutan Tnaman Industri yang luas dari kedua izin tersebut saat ini telah menguasai sekitar 2,3 Juta Hektar
Atas temuan ini, kami menyayangkan pernyataan Kepala UPTD Kebakaran Hutan dan Lahan beberapa hari lalu di media massa, yang mengatakan bahwa Titik api yang bermunculan di sumatera selatan selama bulan agustus ini, tidak berada dilahan Gambut.
Persoalan Titik api yang menyebabkan Kabut asap di sumatera selatan ini terlihat dibiarkan oleh Pemerintah Propinsi sumatera selatan, dan diduga hal ini menjadi proyek tahunan oleh beberapa Instansi terkait, untuk mengambil keuntungan dari besaran biaya (APBD dan APBN) yang dikeluarkan setiap tahun. misalnya berdasarkan Pernyataan Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) pada bulan Juni 2014 lalu bahwa, BNPB menyiapkan dana sedikit 355 Milyar untuk melakukan pemadaman api di sumatera. Hal ini belum lagi ditambah dana bantuan dari beberapa Perusahaan Perkebunan dan HTI untuk memadamkan api.
Pemadaman api memang harus dilakukan oleh pemerintah agar tidak menjadi bencana yang lebih besar lagi, namun dengan kejadian yang berulang setiap tahunan (bencana musiman) maka upaya teknis penangulangan, tidaklah menyelesaikan persoalan karena akar dari persoalan kebakaran Hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap dan berdampak terhadap Polusi udara adalah akibat Buruknya Tata Kelolah Hutan dan lahan yang ada di Sumatera selatan serta minimnya upaya penegakan hukum terhadap Perusahaan perusahaan baik Perkebunan maupun HTI yang didalamnya konsesi/izinya terdapat titik api, padahal secara aturan atas kejahatan Lingkungan Hidup yang perusahaan lakukan telah diatur dalam Perundang-undangan dan peraturan pemerintah.
Seperti Undang – undang No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan, diatur tentang larangan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Pasal 48
(1)     Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan  hidup sebagaimana dimaksud dalma Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 49
(1)    Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Selanjutanya dalam undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa :

Pasal 116

(1)    Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan  usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a.      badan usaha; dan/atau
b.      orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)   Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Pelanggaran Pidana dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan :

Pasal 50

(3). Setiap orang dilarang:
d. membakar hutan;

Selanjutnya pasal 79 ayat (3) mengatur tentang tindak pidana kehutanan :

(3)    Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Mengenai pertanggung jawaban tindak pidana kebakaran maka kita merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001 tentang  Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, dalam pasal 13 dan pasal 15;

Pasal 13 :

Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya

Pasal 15 :

Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data
penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.

Dengan banyaknya aturan tersebut maka tidak ada alasan bagi Aparat Hukum dan pemerintah daerah untuk membiarkan pelanggaran yang dilakukan perusahaan yang berakibat fatal terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.
Selain dari hal tersebut, upaya pembiaran yang dilakukan oleh Pemerintah daerah sumatera selatan. ini memperkuat dugaan kami selama ini bahwa Kerjasama BP – REDD dan Pemprov sumsel yang beberapa waktu lalu ditanda tangani bersama tentang program Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (REDD+) di Provinsi Sumatera Selatan. Hanyalah perjanjian diatas kertas tanpa ada upaya mewujudkannya.