Kamis, 30 Desember 2010

Bola Tetap Bola Bukan "Beringin" ataupun "Bintang"


Membaca surat yang ditujukan kepada Firman Utina (Kapt Timnas) dari Ito seorang sastrawan di sebuah situs berita inilah.com, membuat saya semakin semangat untuk terus berkata Sepak Bola bukan Politik, apalagi sebelumnya (28/12) sayapun telah melahap habis dua tulisan opini dari orang orang terkenal di indonesia salah satunya Effendi Ghazali seorang pakar Komunikasi, yang ada di halaman Kompas. Intinya mereka tetap satu pandangan bahwa Bola tetap Bola bukan “Beringin” dan “Bintang”.

Sebenarnya teriakan tentang “Sepak bola bukan ajang Politik” ini, telah lama saya suarakan kesemua orang, minimal teman teman satu profesi (kebetulan saat ini profesi saya adalah pengangguran), namun apa dikata semuanya selalu terlelap dan hilang ingatan ketika menyaksikan permainan para bintang bintang kesayangan mereka dilapangan, sehingga teriakan saya pun hilang dalam nyaring nya satu mantra ajaib penghilang semua kelelahan dan kekesalan “GOL.......................”.

Numpang Tenar dari Sepak Bola
Apa yang terjadi di Timnas saat ini sama halnya dengan apa yang dialami oleh klub sepakbola di propinsi Sumatera Selatan Sriwijaya Football Club(SFC) yang dijuluki laskar wong Kito. Klub ini harus menjadi bulan bulanan Politik Pencitraan oleh keluarga orang No 1 di propinsi ini (A. Noerdin). Saya masih ingat beberapa tahun lalu, saat klub ini memenangi dua kompetisi (Double winner) sekaligus yaitu Liga Super Indonesia dan copa Indonesia musim pertandingan 2007-2008 (Lihat;Indonesia.go.id) dan kebetulan momentnya bersamaan dengan panasnya iklim Politik di Sumatera Selatan (pemilihan kepala daerah), saat itu Dua Partai Besar bertarung yang di simbolkan dengan warna merah untuk Incumbent dan Kuning untuk penantang.

Atas diraihnya dua Gelar tersebut oleh Kepala daerah saat itu yang kebetulan juga sebagai Manajer klub ini (Syahrial Oesman), bermaksud mengadakan pesta perayaan kemenangan dengan mengelar Pawai keliling Kota membawa dua Piala tersebut, dan juga mengundang kepada seluruh masyarakat (fans Klub) untuk berfoto Gratis disamping Piala Piala tersebut. Namun apa dikata kritik dan hujatan melalui tulisan opini dan selebaran dari lawan politik Pilkada si manajer pun bermunculan, baik yang mengatakan bahwa kemenangan Laskar wong kito ini bukan campur tangan Manajer, tapi karena klub ini, klub yang telah mapan (take over dari Persibjatim) , dan juga kritik yang secara tidak sengaja satu pikiran dengan saya yaitu Sepak bola jangan dijadikan ajang politik Pencitraan yang bertujuan untuk meraup suara sebanyaknya dalam PILKADA saa itu.

Akhir 2008 nasib burukpun menimpa. Pasangan calon gubernur Incumbent harus rela kalah dari penantangnya (Alex Noerdin dan Eddy yusuf) dengan selisih perolehan suara sangatlah kecil sekitar 3 – 10 Persen. Seiring dengan kekalahan itu Laskar wong kito pun mulai mengalami kolaps keuangan. Guna menyelamatkannya, Gubernur Sumsel yang baru saja terpilihpun mencoba berbaik hati dengan membayar semua hutang klub ini (2 Milyar). Kompensasi dari suntikan dana ini, klub harus berpindah tangan ke keluarga Gubernur yang baru dan mengangkat Dodi Reza Alex Noerdin (anaknya) yang juga anggota DPR RI sebagai Presiden Klub.

Berubahnya managemen klub ternyata membuat nasib burukpun datang menyapa, keinginan untuk mempertahankan Gelar Double Winner ,harus hilang dimakan ganasnya lapangan hijau Klub lain. Laskar Wong kito pada musim kompetisi 2009-2010 hanya mampu menyabet satu gelar piala Liga Indonesia. Atas kemunduran Prestasi klub ini, seakan akan membuktikan bahwa kritik dan hujatan pedas yang dilayangkan oleh team kampanye “Kuning” saat PILKADA lalu kepada Syahrial Oesman sebelumnya tidaklah benar,dan hanya atas kepentingan politik semata.
Bagai “menjilat ludah sendiri” apa yang dilakukan Syahrial Oesman saat Laskar wong kito meraih Double Winner, itupun ditiru dan dilakukan oleh Rezim saat ini. Dengan modal juara liga indonesia Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam hal ini Gubernur, mengajak kerja sama manajemen Laskar Wong kito dan segenap pemain untuk mengelar pawai keliling kota guna mengarak trofi Piala Indonesia (kompas,03/08).

Tidak ada yang salah atas arak arakan yang dilakukan oleh Gubernur saat ini terhadap kemenangan yang diraih oleh SFC. Yang salah hanyalah, mengapa inipun dilakukan juga oleh Pak gubernur saat ini, padahal sebelumnya Beliau telah mengkritik dan menghujat habis habisan kegiatan yang sama dilakukan oleh Gubernur sebelumnya yang sebenarnya merupakan manager Team.

Numpang tenar dari 1 Milyar pohon
Cerita tentang bagaimana politik pencitraan (numpang tenar) yang dilakukan oleh Para Pejabat di Sumsel pada sepak bola yang saya tuliskan diatas, sangat sama dengan pencitraaan politik yang dilakukan oleh para pejabat tersebut dalam merespon program 1 Milyar pohon atau dikenal dengan OBIT (one Billion Indonesia Trees) yang di kumandangkan oleh Rezim SBY – Boediono jilid 2 melalui Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan baru baru ini.

Pemerintah Sumsel merupakan satu diantara pemerintah daerah lain, yang menyambut baik program Menanam Pohon ini. Tidak tanggung tanggung menurut Sutrisno Kepala
Bidang Rehabilitasi Hutan Dinas Kehutanan Sumsel, dari target 100 Juta pohon yang akan ditanam saat ini yang telah terealisasi oleh Pemerintah Sumsel adalah sekitar 98 juta Pohon. (sripoku.28/12).

Namun Apakah Program ini telah diikuti dengan perlindungan,pelestarian dan pemulihan terhadap kawasan hutan di Sumsel, yang selama ini telah rusak akibat Ilegal Logging dan alih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri dan Pertambangan? Selain itu apakah sudah dipastikan bahwa seluruh pohon yang ditanam itu dirawat (Hidup)?
Menanam 100 Juta pohon hanya alat pembenaran bahwa Pemberian izin terhadap Perusahaan-Perusahaan yang bergerak di Industri Rakus Lahan (Sawit, Tambang dan HTI) dan telah menghancurkan Jutaan Hektar kawasan hutan dan keanekaragaman hayatinya selama ini, telah tergantikan dengan tanaman pohonnya. yang sebenarnya tidak akan pernah dapat mengembalikan Rumah bagi para Harimau Sumatera,Gajah, Burung dan Tumbuhan tumbuhan langkah didalamnya.

Menurut Direktur Walhi Sumsel anwar sadat, dari 3,7 Juta Ha Hutan di Sumsel, saat ini yang tersisa tidak lebih dari 1 Juta Ha. ini diakibatkan oleh alih Fungsi atau pemberian Izin oleh pemerintah terhadap Perkebunan Sawit, HTI dan tambang yang sampai saat ini masih terus berjalan.(buanasumsel.com)

Program menanam hanya untuk pencitraan (tenar),lihat saja apa yang terjadi di GOR Palembang, dari sekitar 10 Pohon yang ditanam oleh para pemilik media Lokal maupun nasional, yang katanya mengantikan puluhan pohon yang ditebang akibat pembuatan Hotel dan Cafe dikawasan ini ,sekarang kondisinya telah hilang seiring dengan deru suara mesin mesin penghancur bangunan sejarah Pekan olahraga Mahasiswa pertama kalinya yang diadakan di Palembang.

Sepak bola dan Indonesia Hijau Cuma butuh Kemauan.
Sepak bola tidak butuh citra,sepak bola tidak butuh politik. sepak bola hanya butuh perhatian dan kemauan dari pemerintah dan pejabat akan pentingnya menjaga lapangan lapangan bola, yang dimiliki rakyat di desa dan perkotaan tidak digusur oleh rakusnya pembangunan pembangunan Mal, Hotel dan Perumahan Perumahan elit, yang semuanya telah menghancurkan harapan munculnya Firman utina kecil dan Ferry Rotinsulu kecil. Begitupun dengan Lingkungan Hidup dan keinginan terciptanya Indonesia Hijau, yang dibutuhkan untuk hal ini hanyalah kemauan. Kemauan penyelenggara Negara untuk memproteksi kawasan Kawasan Hutan dan Ruang Ruang Terbuka Hijau di Perkotaaan yang telah ada untuk tidak lagi dialih fungsikan guna kepentingan kepentingan Bisnis semata serta kemauan pemerintah untuk mengambil kembali semua kawasan kawasan hutan dan kawasan Hijau yang telah dialih fungsikan menjadi seperti Semula.


Batubara dan Gerbong Penarik Kematian.


“..... Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga, Kereta Tiba Pukul Berapa. Biasanya Kereta terlambat, Dua Jam itu Biasa”. Lirik Kereta tiba pukul berapa, by Iwan fals.

Lirik Iwan fals dalam lagu diatas sama hal nya dengan apa yang dialami penumpang kereta api di Sumatera Selatan tujuan Palembang – Lampung, Palembang – Lubuk Linggau.Menurut Yuniar Ibu satu anak yang ditemui oleh Penulis di stasiun Kertapati Palembang beberapa waktu yang lalu mengatakan, selain tidak adanya perubahan fasilitas kereta api yang seperti “Kandang Ayam” ini, keterlambatan kereta api yang mencapai 3 -5 Jam itu terlalu sering dialami penumpang, apalagi kalo naik kereta Ekonomi,kenyamanan dan keselamatan ± 600 penumpang diatasnya tidaklah menjadi perhatian. PT. Kereta Api Indonesia (KAI) lebih mendahulukan angkutan Batubara daripada Kereta Penumpang sehingga ketika melewati beberapa stasiun, kereta penumpang harus berhenti (15 – 60 menit) menunggu kereta “Babaranjang” (Batubara Rangkaian Panjang) lewat terlebih dahulu.

Cerita diatas merupakan salah satu kisah bagaimana Industri Ekstratif Batubara merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat, diabaikannya fasilitas umum yang seharusnya wajib didahulukan dan diberikan oleh penyelenggara Negara kepada seluruh rakyat Indonesia.

Hal lainnya bagaimana Batubara merusak sumber sumber kehidupan masyarakat di Sumatera Selatan, terjadi di Kecamatan Merapi Kabupaten Lahat, akibat dari aktifitas Eksploitasi Batubara yang dilakukan oleh PT.SMS, Sungai larangan Payo yang sehari harinya digunakan masyarakat untuk mandi dan mencuci, tercemar oleh limbah Batubara perusahaan dan menyebabkan warna air sungai menjadi kecoklatan dan keruh (Baca; Sripo 16/12). Begitupun yang terjadi di Kecamatan Merapi Barat kabupaten Lahat, ratusan warga ketakutan terserang penyakit akibat tercemarnya sungai Nipai oleh Limbah Pertambangan yang diduga dilakukan oleh PT. Andalas (Sripo,25/07).

Pepatah lama “Kecil Kecil Cabe Rawit” dapat mengambarkan bagaimana industri ekstratif Batubara ini bekerja, Produksi yang kecil ternyata tidaklah menjamin bahwa pertambangan Batubara tidaklah mempunyai dampak besar terhadap ekonomi, sosial, Budaya dan Lingkungan hidup. Berdasarkan Data BPS tahun 2009, Produksi batubara Sumatera Selatan hanya 12 juta Ton pertahun (6 Persen dari Produksi batubara Propinsi Kalimantan timur) yang berasal dari 10 Kuasa Pertambangan/KP (Dalam UU No 1 tahun 2009 tentang Minerba di sebut Izin Usaha Pertambangan/IUP), dari 270 KP yang ada di Sumatera selatan.

Respon Pemerintah terhadap Daya Rusak Batubara
Papan Reklame 5 M x 6 M bertuliskan “Gerbong Penarik Kemakmuran”, berwarna ungu dengan background bergambar Kereta api, hampir dapat kita temui di sudut kota Palembang. Iklan “Gerbong Kemakmuran” ini, dalam rangka mensosialisasikan rencana pemerintah Sumsel yang akan menambah (jalur lama tetap dipakai) tiga jalur baru kereta api khusus Pengangkutan Batubara, dimana sebelumnya hanya satu jalur tujuan Muara enim - Palembang – Tanjung karang yang digabungkan dengan rel transportasi umum(penumpang).

Rel kereta api yang akan dibangun oleh Pemprov Sumsel tersebut atas kerjasama dengan beberapa pihak seperti PT. BA dan PT. Adani Global India untuk pembagunan jalur Double Track sepanjang 270 Km, tujuan Tanjung enim - Tanjung Api Api (Okezone,25/8), PT.BA dan PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) untuk pembangunan jalur Tanjung Enim – Kertapati – Tarahan, dan Pembangunan rel Tanjung Enim – Srengsem Lampung yang bekerjasama dengan PT. Bukit Asam transpacipic Railway, PT. Transpacifik Railway Infrastruktut dan China Railway enginering Coorporation ( Lihat AR PT. BA 2009).

Program pembangunan rel ini merupakan respon Gubernur Sumatera Selatan H. Alex noerdin terhadap Industri Ekstartif Batubara, Kerusakan yang selama ini terjadi akibat Pertambangan Batubara, tidaklah menyurutkan langkah Gubernur untuk mengeruk habis isi Perut Bumi dan malah mendesak kepada seluruh Pemilik KP yang ada di Sumatera Selatan untuk dapat meningkatkan Produksi 40 Kali lipat, sehingga di tahun 2014 nanti saat semua Infrastruktur transportasi Seperti Rel khusus batubara selesai dibangun, Produksi Batubara Sumsel minimal mencapai 50 Juta Ton/tahun.
Belajar Daya Rusak batubara dari Kalimantan Timur
Sebelum kita terperosok jauh kedalam manisnya bahasa iklan Gerbong Kemakmuran ada baiknya kita melihat bagaimana daya rusak Industri Ekstratif batubara di Propinsi yang telah terlebih dahulu mengeruk habis Kekayaan perut Buminya (batubara).

Kalimantan timur merupakan salah satu Propinsi penghasil batubara terbesar di Indonesia, setiap tahun sebanyak 200 juta ton Bongkahan “Emas Hitam” ini, dipaksa untuk dimuntahkan kepermukaan Bumi oleh sekitar 1.212 kuasa pertambangan (KP),33 ijin PKP2B (Baca; Deadly Coal, Jatam.org) dan dijual ke Asia dan Eropa yang Rakus energi seperti Jepang, Cina, Belanda,Amerika, Italia dan lainnya.

“Jauh panggang dari api “ Seiring dengan dikeluarkannya Bongkahan Emas Hitam dari perut Bumi Kalimantan ternyata kesejahteraan yang diharapkan tidaklah terwujud, malah mengantarkan Rakyatnya ke jurang kemiskinan. Hasil survey SUSENAS 2007 terjadi peningkatan angka kemiskinan 25,7 persen, yang sebelumnya hanya berjumlah 299,1 Ribu Jiwa namun ditahun 2007 menjadi 324,8 Ribu Jiwa dari total 2.957.465 Jiwa penduduk, dan parahnya sebaran penduduk miskin tersebut terbanyak berada di tiga kota/kabupaten yang memiliki wilayah konsesi batubara terbanyak yaitu Kota Samarinda, Balikpapan dan kabupaten Kutai kertanegara.Hal ini dapat diartikan juga bahwa angka pengganguran yang dikandung dalam perut Propinsi ini, tak akan beda jauh dengan angka kemiskinan padahal jika kita menggunakan akal sehat dengan banyaknya Perusahaan dan Industri di sebuah wilayah, otomatis akan dapat menghisap angka pengganguran yang artinya meningkatnya taraf hidup rakyat.

Hal terparah lainnya adalah rusaknya lingkungan Hidup dikawasan kawasan yang merupakan Penopang hidup Rakyat, setidaknya sejak tahun 2000 ada sekitar 9.000 Hektar hutan di Propinsi ini hilang, digantikan oleh Lobang Lobang raksasa dari aktifitas penggalian Batubara, yang membuat masyarakat adat Dayak Basap di Kecamatan Bengalon, Sangatta harus rela kehilangan tempat mereka mencari makan yang sejatinya terbiasa memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil berburu dan berladang.

Selain dari kerugian yang di derita oleh masyarakat adat dayak tadi, hancurnya Hutan juga telah menyebabkan beberapa wilayah di kota samarinda (Ibukota Propinsi Kaltim)yang dihuni oleh Ribuan jiwa, dipaksa harus “menenggelamkan” sebagian tubuhnya di dalam air yang turun (hujan) hanya selama 2-3 jam.

Tidak hanya sebatas itu Daya Rusak Batubara pun juga telah menyapa serta meluluh lantakan lahan lahan Pertanian masyarakat contohnya Desa Makroman, Samarinda Ilir yang dahulu dikenal sebagai lumbung beras bagi Kota Samarinda,kini harus rela membuang jauh semua predikat tersebut, karena sejak perusahaan pertambangan mulai beroperasi di sekitar desa, Belasan hektar lahan pertanian penduduk mengalami kerusakan parah karena sumber air bagi sawah mereka tercemar oleh limbah pertambangan batubara, yang seenaknya dibuang ke sungai yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat setempat.

Hilangnya lahan (lumbung) pangan ini, memaksa pemerintah harus mendatangkan tambahan beras sebesar 20 ribu ton bagi 3,7 Jiwa penduduk nya dari luar Propinsi seperti sulawesi selatan dan jawa.ditambah dengan mendatangkan sedikitnya 490 ekor sapi dari Nusa Tengara barat dan Sulawesi selatan guna memenuhi kebutuhan proteinnya.
Saatnya bertindak, Batubara Pembunuh
”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs.Ar-rum 41)

Semua gambaran kerusakan dan di abaikannya keselamatan rakyat akibat Pengerukan “Emas Hitam” yang dilakukan pemerintah baik itu skala kecil dan besar ,sudah terpampang jelas di depan mata kita, sehingga jika Pemerintah Sumsel tetap bersih keras untuk melanjutkan program peningkatan produksi Batubaranya maka hal yang patutlah kita lakukan adalah melakukan pemeriksaan terhadap “Kartu Identitas Penduduk (KTP)” para penyelenggara negara di propinsi ini, apakah benar mereka Warga Negara Indonesia Sumsel?,dan jika benar, maka demi Pulihnya Lingkungan Hidup dan keselamatan rakyat Sumsel,segera hentikan ekploitasi Batubara karena Batubara pembunuh.


Jumat, 24 Desember 2010

Aktivis: ANTARA Harus Bersikap Pro-Lingkungan


Palembang (ANTARA News) – Kalangan aktivis lingkungan di Palembang, berharap Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA dapat bersikap prolingkungan, antara lain dengan tidak menjadikan sebagai corong kepentingan mendukung eksploitasi sumberdaya alam yang merusak kelestarian alam dan lingkungan hidup.Menurut Hadi Jatmiko, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, di Palembang, Selasa, LKBN ANTARA memasuki usia ke-73 pada 13 Desember ini merupakan umur kematangan dan dewasa, sehingga sudah harus berperan penting di tengah masyarakat.

ANTARA harus mengambil peran penting, antara lain ikut peduli pada upaya mengatasi kerusakan lingkungan hidup dengan dampak pemanasan global saat ini.

Seraya mengucapkan selamat ulang tahun untuk LKBN ANTARA yang ke-73 itu, Hadi sekaligus menyampaikan harapan agar ANTARA tetap menjadi portal pertama dan terdepan dalam memberikan informasi secara cepat dan akurat.

“ANTARA juga harus mampu berperan memperpendek jurang kesenjangan informasi dengan menjadi jembatan informasi dan komunikasi antara masyarakat dan para pemangku kepentingan,” kata dia lagi.

Dia juga berharap, di halaman portal onlinenya (antara.news.com) tersedia pula halaman khusus untuk Sumatera Selatan yang beritanya tetap mengedepankan independensi dan fakta-fakta lapangan atas berbagai kejadian di daerah ini.

Hal tersebut diperlukan, untuk menjadi penyeimbang pemberitaan media massa umumnya yang bisa terjebak pada komersialisasi informasi, katanya.

ANTARA juga diharapkan tidak menjadi media yang hanya sekadar corong dan perpanjangan tangan kebijakan pemerintah dan pengusaha Lokal maupun nasional, untuk mensukseskan program-program selama ini semakin memiskinkan rakyat dan merusak lingkungan hidup.

“Sebagai kantor berita milik negara, ANTARA harus berani berpihak pada kepentingan rakyat, agar dapat mendorong kemiskinan diatasi dan pengrusakan lingkungan segera dihentikan,” demikian Hadi Jatmiko.(*)



Sabtu, 27 November 2010

Puluhan Gajah Rusak Pondokan

Palembang, Kompas - Sebanyak 36 gajah sumatera yang habitat aslinya di Hutan Konservasi Tulung Selapan dan Kuala, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, merusak puluhan hektar kebun karet dan ketela pohon milik warga. Selain itu, gajah juga merusak tiga pondokan kayu milik buruh karet.

Menurut Muhammad Harun, Kepala Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Tulung Selapan, yang dikonfirmasi dari Palembang, Sumsel, Kamis (25/11), kawanan gajah liar tersebut pertama kali diketahui kehadirannya pada Senin lalu.

Dua hari pertama, lanjut Harun, gajah-gajah itu masih berada di perbatasan hutan tanaman industri dengan hutan karet rakyat di Desa Ulak Kedondong. Selang dua hari kemudian, gajah-gajah itu sudah memasuki lahan perkebunan dan bertahan di sana hingga kemarin.

Harun memperkirakan, lebih dari 5 hektar kebun karet dan ketela pohon warga rusak parah. Sebagian gajah diduga memakan daun dan batang ketela pohon serta daun tanaman karet muda, sedangkan sebagian lainnya menginjak-injak tanaman hingga mati.

”Dini hari tadi (kemarin), gajah sudah merusak tiga pondokan milik buruh karet. Karena itu, saya minta warga waspada dan berjaga-jaga. Jika sewaktu-waktu kawanan gajah masuk ke pusat permukiman, kentungan harus dibunyikan bertalu-talu,” kata Harun.

Koordinator Divisi Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, membenarkan kejadian itu. Kasus perusakan kebun dan permukiman warga, katanya, memang kerap terjadi di Ogan Komering Ilir, terutama di Kecamatan Pampangan, Tulung Selapan, dan Rambai.

”Namun ingat, jangan salahkan gajahnya. Satwa dilindungi itu terpaksa bermigrasi keluar dari habitat aslinya, menuju kawasan baru, untuk mencari sumber pangan dan air. Pemicunya, habitat asli mereka tak lagi bisa menyediakan sumber pangan karena dikonversi menjadi hutan tanaman industri, terutama perkebunan sawit,” kata Hadi menjelaskan.

Pemangsa warga

Dari Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, dilaporkan, seekor harimau yang diduga memangsa Martunis (25), warga Desa Panton Luas, Kecamatan Tapak Tuan, Aceh Selatan, dini hari kemarin masuk dalam perangkap kayu yang sengaja dibuat warga.

Fakhrurradhi, staf Yayasan Leuser Internasional, ketika dihubungi di Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan, mengatakan, warga meminta harimau tersebut direlokasi ke tempat lain karena trauma dengan kejadian beberapa waktu lalu itu.

Tanggal 12 Oktober lalu, Martunis ditemukan tewas mengenaskan. Diduga, korban diterkam dan diseret harimau ke suatu lokasi yang jaraknya cukup jauh.

Sehari sebelumnya, korban bersama saudara laki-lakinya, Hirlan Ahmadi, pergi ke kebun di sekitar perbukitan Serindit untuk mencari rotan. (ONI/MHD)

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/26/04255634/puluhan.gajah.rusak.pondokan

Minggu, 24 Oktober 2010

Soeharto, Aku dan Kalian (Bukan) Pahlawan


Ribut Ribut soal Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto pada moment puncak peringatan hari pahlawan yang jatuh pada 10 november nanti, sepertinya semakin ramai di perbincangkan kembali, setidaknya sejak meninggalnya Soeharto beberapa waktu yang lalu (1000 hari belakang) persoalan ini sempat hilang dari peredaran dan kini muncul lagi tanpa aku ketahui siapa yang memunculkannya kembali, Ada yang tahukah?

Sekilas mendengar Perbincangan dan membaca beberapa pendapat atau tulisan dari kelompok Pro dan kontra pemberian gelar tersebut, ada dua hal yang saya tangkap. Untuk kelompok Pro pemberian gelar pahlawan alas an mereka adalah karena pertimbangan Jasa Soeharto dalam mewujudkan pembangunan (membangun) Indonesia sehingga bisa seperti saat ini,dimana gedung gedung tinggi pencakar langit menghiasi Ibukota Jakarta dan kota kota lainnya di Indonesia.

Untuk kelompok yang kontra terhadap pemberian gelar, berpendapat bahwa, Soeharto adalah Penjahat kemanusian dan penjual Kekayaan,Harkat dan martabat bangsa dan Negara sehingga jika Soeharto diberi gelar pahlawan maka sama saja dengan melakukan pengkhianatan dan penghinaan bagi para Korban keganasan Orba (Penculikan, Pembunuhan, Perampasan, Pembungkaman) serta sederet Persoalan lainnya, yang menghantarkan Indonesia semakin terpuruk karena dijualnya seluruh SDA Indonesia ke Negara asing, serta beban tanggungan hutang hutang luar Negeri yang dibuatnya, yang semua hutang tersebut walaupun terus dibayar tidak akan pernah habis (lunas) sampai dengan Kiamat datang nanti (Jika kiamatnya 100 tahun lagi kalo lebih ya mungkin bias juga dilunasi..hehe).

Melihat dua hal tersebut maka jika alasan banyak orang yang setuju atas diberinya gelar pahlawan bagi Soeharto, hanya seperti yang ada diatas. maka ada baiknya aku memilih sikap untuk menolak Pemberian gelar kepada SOEHARTO , karena menurut ku, siapapun kita pasti akan bisa melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Soeharto (yang akan menjadi pahlawan) yaitu melakukan Pembangunan , selama uang dan kekuasaan kalian miliki dan kalian pegang secara “TOTAL”.

Pahlawan bukanlah seperti apa yang di Praktekan atau yang oleh Soeharto lakukan terhadap bangsa dan Negara ini karena PAHLAWAN adalah …???

Gubernur Sumsel tidak tanggapi Somasi WALHI


*Wujud Pemimpin arogan dan Anti kritik

Gubernur Sumsel H. Alex Noerdin ternyata sampai saat ini belum juga menanggapi Somasi yang di tujukan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) kepada dirinya,padahal batas waktu yang diberikan WALHI 3x 24 jam sejak somasi tersebut dilayangkan (19/10) telah habis. Hal ini sesuai dengan ungkapan Direktur WALHI Sumsel Anwar sadat, saat ditemui di kantornya kemarin.

“Sampai saat ini kita belum melihat ada itikad baik dari Gubernur untuk menjawab Somasi kita, padahal Jumat (22/10) adalah batas waktu terakhir yang kita berikan kepada Gubernur agar segera membuat Surat permintaan maaf kepada WALHI melalui media Cetak dan Elektronik di nasional maupun local” ,kata sadat.

Ditambahkan Sadat, atas belum ditanggapinya Somasi ini maka semakin memperlihatkan kepada kita dan masyarakat Sumsel, Wujud asli Gubernur Sumsel H. Alex Noerdin yang arogan,anti kritik dan semakin menguatkan kita bahwa, Gubernur benar melakukan Pelecehan dan penghinaan terhadap 26 Kantor perwakilan WALHI dan 480 Organisasi anggotanya yang tersebar di Indonesia.

“Untuk itu sesuai dengan materi somasi yang kita layangkan kemarin, Jika gubernur tidak segera menjawab somasi tersebut sesuai dengan waktu yang telah kita tentukan, maka WALHI bersama team Advokatnya segera menindak lanjutinya ke ranah Hukum dengan melaporkan perbuatan Gubernur tersebut ke MABES POLRI.” Ungkap Sadat yang merupakan alumni teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Palembang ini.

Sekedar menginggatkan kembali bahwa Somasi yang dilayangkan WALHI kepada Gubernur Sumsel ini, berangkat dari persoalan yang terjadi pada aksi Peringatan Hari Agraria Nasional (27/09) dimana saat Walhi Sumsel bersama 1.200 Orang petani sedang melakukan aksi, terjadi kericuhan akibat Provokasi yang diduga dilakukan Gubernur Sumsel kepada massa aksi yang menyebabkan Anwar sadat Direktur Walhi Sumsel, Dedek Chaniago dari SHI Sumsel dan Maisani petani dari Kali berau Kabupaten MUBA, mengalami Luka dan memar di sekujur tubuh karena dianiaya dan dipukul oleh orang yang diduga kuat Ajudan dan rombongan gubernur Sumsel. Ditengah kericuhan tersebut Gubernur Sumsel yang berada di tengah massa aksi dengan anada tendesius dan emosi melakukan penghinaan dan pelecehan kepada WALHI dengan mengatakan “Apa sekarang Tindakan WALHI yang membela rakyat”. (Mlx)

Kamis, 08 Juli 2010

GAJAH DI PELUPUK MATA PEWARTA SUMSEL HARUS (TIDAK) DILIHAT


Pagi ini sama seperti pagi kemarin di salah satu sudut Ruangan Rumah Publik ini dengan di temanin secangkir Kopi dan sebatang rokok, saya mulai menjelajahi dunia kembali,dengan menggunakan Komputer usang saya, yang telah saya hubungkan dengan layanan Internet maka sayapun mulai mencari dan membaca seputar peristiwa atau Informasi yang terjadi di sumatera selatan kemaren 6/07 sampai dengan hari ini.

Klik sana klik sini, buka sana buka sini dan Loading….., mata sayapun tertuju pada satu berita di halaman kompas.com, dengan judul ”Wartawan Palembang menolak Intimidasi”. Berita ini mengulas tentang Aksi yang dilakukan oleh puluhan Jurnalis beberapa surat Kabar di Sumsel yang tergabung dalam Forum Pewarta Sumsel, dalam menyikapi aksi teror pelemparan BOM molotov oleh orang yang tidak dikenal ke halaman kantor Redaksi Surat Kabar dan majalah Tempo di Jakarta Pada selasa,04/07 dini hari Pukul 02.00 Wib.

Banyak pendapat yang muncul terkait dengan Aksi Teror tersebut, yang jika saya simpulkan, terlepas dari siapa pelakunya. merupakan bentuk pembungkaman atau Intimidasi terhadap Media Massa oleh mereka yang dirugikan dalam pemberitaan Majalah Tempo edisi 27 – 4 Juli 2010 tentang Rekening Gendut Para Jenderal POLRI.

Respon dengan melakukan Aksi yang dilakukan oleh Para Pewarta Sumsel ini, bisa saya bilang Loadingnya sangatlah cepat, karena memang hal ini sangatlah bersentuhan langsung dengan aktifitas atau pekerjaan mereka sehari hari dalam hal mencari dan menulis Berita.Sehingga dapatlah kita bayangkan jika hal seperti ini di biarkan dan tidak disikapi oleh mereka maka kedepan para Pewarta dan para pemilik media di seluruh Nusantara akan berpikir ulang untuk mempublikasikan Informasi dan Fakta atas keborokan suatu Institusi yang ada Indonesia.

Akan tetapi apa yang dilakukan oleh pewarta di Sumsel ini, telah memunculkan Pertanyaan di diri saya dan mungkin kawan kawan lain nya, yang dalam beberapa bulan ini sedang melakukan perjuangan advokasi menolak alih fungsi kawasan Hijau publik GOR Palembang oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan untuk dijadikan Kawasan Bisnis atau Private dengan di bangunnya Hotel dan Café didalam kawasan tersebut. Karena Setidaknya sejak kami memulai kampanye penolakan kebijakan pemerintah atas hal ini, kami yang tergabung dalam Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) tidak mendapatkan satu space Beritapun ”di beberapa” media cetak dan elektronik baik itu media Lokal maupun Nasional, dan jikapun berita itu ada atau dipublikasikan di media tersebut isinya tidaklah Proporsional (seimbang) atau hanya sebagai pelengkap dari pernyataan pemerintah dalam hal ini Gubernur Sumatera Selatan. Dan yang lebih parah lagi terkadang tidak sesuai dengan Fakta dan tuntutan yang sebenarnya kami perjuangkan (Dimanipulasi/diplentir). Disisi lain ternyata masih ada juga media massa tersebut yang tetap berani dan Objektif dalam memberitakan Persoalan dan tuntutan kami atau sesuai dengan fakta. (Salut untuk para awak atau redaksi dan media massa yang telah teruji dan berani tersebut)

Di selah adanya tidak keseimbangan berita dan tidak di Publikasikan kegiatan atau tuntutan tuntutan yang kami lakukan tersebut. Terdengar kabar dari beberapa Pewarta di Sumsel bahwa, ternyata hampir seluruh Redaksi media Cetak dan elektronik Lokal maupun Nasional telah di Intimidasi agar tidak menaikan atau memberitakan segala kegiatan tentang penolakan terhadap Alih fungsi Kawasan Hijau Publik GOR Palembang menjadi Hotel dan Café , adapun bentuk intimidasi tersebut yaitu para Pejabat teras di Sumatera Selatan yang terganggu dengan penolakan alih fungsi tersebut menghubungi Para redaksi media Massa tersebut via telpon .dan hasil dari telepon komuniskasi ini telah saya terangkan diatas.

Dengan kondisi yang terjadi di media yang ada di Sumatera Selatan ini, mungkin akan lebih baik lagi apabila Para Pewarta yang tergabung dalam Forum Pewarta Sumsel kembali melakukan kegiatan serupa namun dengan isu dan tuntutan lebih Spesifik (lokal) yaitu ”Hentikan segala Intimidasi yang dilakukan oleh Penguasa Sumsel terhadap media massa yang ada di Sumsel karena hal itu mengancam kebebasan Pers, serta Menyerukan kepada para awak Redaksi media untuk segera menghentikan segala PRAKTEK PELACURAN terhadap Media Massa”. Jika ini dilakukan maka setidaknya para Pewarta ini telah merubah kalimat pepatah lama yang berbunyi ”GAJAH di Pelupuk Mata Tidak Terlihat, Semut di seberang Lautan Terlihat” . menjadi ”Semut Di Seberang Lautan Pun Dapat Kami Lihat Apalagi Gajah Yang Ada Di Pelupuk Mata Kami Sendiri”.

Di tulis saat aku merasakan keresahan yang dirasakan oleh kawan kawan ku Pewarta yang merupakan Pejuang DEMOKRASI.


Selasa, 06 Juli 2010

Serba Pindang Ikan dari Palembang

Oleh oleh nemenin mbak isti dari tempo Institute ang mas bondan dari sawit Watch.. jadi berita kuliner


Menu khusus ikan belida diburu oleh kalangan berduit.

Makanan khas Palembang dan kota-kota sekitarnya bukan hanya pempek. Ragam masakan bercita rasa khas Melayu--campuran asam, manis, pedas--mudah ditemui di kota yang dilintasi Sungai Musi itu. Kebanyakan masakan berbahan dasar ikan patin dan seluang. Dua ikan itu mudah ditemui di tepian sungai dan gampang dibudidayakan.

Rumah makan Sri Melayu menjadi salah satu rujukan bagi pemburu sajian kuliner khas Melayu di Palembang. Restoran seluas sekitar 5.000 meter persegi ini berada di samping Istana Gubernur Sumatera Selatan, di Jalan Demang Lebar Daun, Palembang. “Kami menawarkan masakan Melayu siap saji,” kata Ahmad Sodri, salah satu karyawan di resto itu. Keunggulan inilah yang dijual rumah makan yang berdiri sejak 6 Agustus 2001 itu.

Menunya antara lain pindang ikan patin, pindang ikan salai, pindang ikan baung, brengkes tempoyak patin, dan ikan seluang goreng. Semuanya disajikan dalam keadaan hangat dan panas. Perpaduan asam, manis, dan pedasnya mantap. “Buah nanas untuk mendapatkan rasa asamnya,” ujar Ismail Umar, pemilik restoran.

Ismail menjelaskan, pengunjung biasanya memburu menu pindang ikan patin. Kebanyakan ingin merasakan kecocokan rasa dari semua masakan yang disajikan. “Seratus persen menggunakan bumbu tradisional, biar terasa masakan rumahan,” katanya.

Bagian ikan patin yang menjadi menu favorit adalah kepala. “Lemak di kepala ikan ini enak sekali,” ujar Bondan Andriyanu, 28 tahun, pengunjung asal Kota Depok, yang baru kali itu berkunjung. Jenis masakan pindang lainnya adalah ikan salai (ikan asap).

“Semua ikan sungai bisa dijadikan salai dengan diasapin dulu,” kata Ahmad. Ikan salai yang dihidangkan saat itu adalah ikan baung. Butuh perjuangan besar untuk menyantapnya jika tak ingin menelan “ranjau” alias duri yang cukup banyak di daging ikan itu. Rasanya segar dengan bumbu pindang, seperti kunyit, serai, jahe, serta nanas, yang ditambahi daun bawang agar rasanya lebih mantap.

Menurut Ismail, ada menu lain yang tak boleh dilewatkan di restonya, yakni brengkes tempoyak patin. Potongan daging ikan patin mentah dibungkus bersama tempoyak durian (daging buah durian yang difermentasi), potongan cabai, dan sambal kunyit, kemudian dikukus. Rasanya tak akan terlupakan bagi orang yang pertama menyantapnya. “Lembut dan rasa duriannya tajam,” kata Bondan.

Ada lagi menu khusus yang diburu terutama oleh kalangan berduit, yakni ikan belida goreng. Sepotong sirip ikan belida, yang dihargai Rp 50 ribu, bisa menuntaskan kerinduan orang akan rasa ikan yang sekarang susah ditemui itu. “Budidayanya susah. Jadi, ya ,wajar kalau harganya mahal,” ujar Hadi Jatmiko, pengunjung lainnya. Menurut orang asli Lubuklinggau, Sumatera Selatan, ini, daging ikan ini pula yang dulu kerap menjadi bahan dasar pempek.

Ismail mengatakan, ia menjual suasana dalam resto yang juga dimanfaatkannya sebagai tempat tinggal itu. Ada 10 saung dan 20 meja di luar saung yang berukiran khas Palembang. “Kalau ukiran Palembang itu, catnya didominasi warna manggis dan emas,” katanya. Berbeda dengan ukiran Jepara, yang dominan warna cokelat tua.

Sejak dibuka, kata Ismail, restorannya tak pernah sepi. Dalam sehari, para penikmat masakan di rumah makan itu sekitar seratus orang. “Pembelinya beragam, bukan hanya yang bekerja di kantor gubernur,” katanya. “Harga di sini enggak terlalu mahal dan enggak terlalu murah,” kata Hadi. ISTIQOMATUL HAYATI

Minggu, 02 Mei 2010

Alih Fungsi (Menjual) Kawasan GOR, Menghilangkan Ruang Hidup Rakyat

Isu pemanasan Global dengan segala Sebab dan akibat nya, saat ini telah berhasil menjadi persoalan yang mengancam seluruh hidup rakyat/ negara di Dunia, dan termasuk Indonesia. Guna mengatasi akan ancaman ini Indonesia telah menerbitkan berbagai macam aturan perundang undangan salah satu nya UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Di dalam undang undang ini pemerintah meletakan persoalan Lingkungan hidup menjadi salah satu hal yang harus menjadi Prioritas dalam melakukan perencanaan Tata Ruang. Contohnya aturan tentang Ruang Terbuka Hijau atau RTH yang harus dimiliki minimal 30 persen dari luas Kota.

RTH merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi). RTH diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yang Pertama adalah RTH publik artinya RTH yang berlokasi di lahan-lahan publik atau pemerintah (pusat, daerah) dan ke Dua adalah RTH privat, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat atau pribadi.

Dua klasifikasi tersebut mempunyai Fungsi dan Manfaat yang sama yaitu Fungsi Lingkungan yang artinya RTH mampu memberikan rasa nyaman bagi masyarakat dalam hal meningkatkan kapasitas dan daya dukung wilayah dari pencemaran, menurunnya ketersediaan air tanah, meningkatnya suhu kota, serta Menurunya tingkat kesejahteraan/ Kesehatan masyarakat secara fisik dan psikis. Selain dari fungsi lingkungan RTH juga mempunyai Fungsi Sosial dan Ekonomi seperti tempat Rekreasi, hiburan, berkumpul, Wisata, dan Perdagangan bagi masyarakat kelas menegah Kebawah. Dan terakhir berfungsi sebagai zona Evakuasi disaat terjadi bencana.

RTH di Kota Palembang
Tepat Enam tahun yang lalu, Palembang menjadi tuan Rumah dari Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional atau PON. Kegiatan ini menjadi sebuah awal terjadinya pembangunan yang begitu pesat di kota ini seperti Mall, Hotel, Restoran, Cafe, Perumahan dan lain nya.
Akan tetapi dampak lain dari pesatnya pembangunan ini telah menghilangkan Ruang Hidup bagi masyarakat dengan dilakukan nya Pengusuran dan pengalih fungsian Ruang Terbuka Hijau. Tunjuk saja kegiatan pengalih fungsian Taman Budaya menjadi Komplek Hotel serta Mall Palembang Square, dan Pengalih Fungsian RTH di kawasan Jalan Rajawali menjadi tempat Parkir/pajangan kendaraan rental milik salah satu Showroom terkemuka di palembang
.
Data Tim Konsultan Tata Ruang Kota Palembang dari PT Lapi Ganeshatama menyebutkan dari sekitar 400 kilometer persegi luas Kota Palembang, hanya sekitar 0,28 kilometer persegi atau 0,07 persen yang merupakan area ruang terbuka hijau (RTH). Sementara data lain nya dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan menunjukkan, RTH Kota Palembang mencapai 12 kilometer persegi atau sekitar tiga persen dari total luas kota.(Kompas,01/02)

Alih Fungsi GOR
Dari Dua data yang dipaparkan di atas walau terdapat perbedaan dalam jumlah angka yang besar, namun dapat kita tarik benang merah bahwa luas RTH di Palembang sampai saat ini belumlah mencapai 30 persen. Akan tetapi dengan kondisi minimnya RTH, tidaklah mengerakan Pemerintah Kota palembang untuk melakukan perluasan tetapi yang dilakukan malah ”Jauh panggang dari pada Api” dengan merencanakan Pengalih fungsian (menjual) RTH yang telah ada.

Contoh yang dapat diambil adalah rencana pemerintah membangun Hotel, Restoran dan Town Square, pada salah satu kawasan Ruang Terbuka Hijau atau biasa dikenal masyarakat dengan sebutan GOR,yang lokasi nya tepat berada di Tengah Kota Palembang.

GOR di kenal masyarakat sebagai kawasan Hijau yang Rimbun dengan luas mencapai 5 hektar, di dalam nya terdapat Kolam Retensi atau Kolam Penampungan Air, dan berbagai macam Pepohonan yang jumlahnya mencapai 414 batang.

Kawasan GOR mampu memberikan kesejukan dan kenyaman bagi masyarakat yang sebanding dengan suasana sebuah ruangan ber-AC dengan kekuatan 2,5 PK, dan juga mampu memasok kebutuhan Oksigen sebesar 0.5 – 0.6 Ton/hari atau setara dengan kebutuhan oksigen 1.500 Orang/hari, dan di sisi lain nya kawasan ini juga mampu menyerap Zat Karbon (CO2) yang merupakan Zat hasil dari Gas buang kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan Pemanasan Global sebesar 3 – 5,4 ton/tahun

Dengan kemampuan lingkungan seperti ini wajar jika sejak pagi sampai malam hari kawasan publik ini tidak pernah sepi dari aktifitas masyarakat dalam hal seperti belajar mengemudi Kendaraan bermotor, memancing Ikan, olahraga Basket, Jogging, diskusi dan selain itu saat hari menjelang malam tempat ini ramai di kunjungi masyarakat baik dari dalam kota maupun dari luar kota Palembang, guna menikmati makanan yang disuguhkan oleh Para pedagang Nasi goreng yang berjumlah sebanyak ± 40 Pedagang. Dengan ramainya pengunjung maka penghasilan perhari pedagang yang ada dikawasan ini setelah dipotong honor 5 orang pekerja masing masing Rp 40.000 adalah Rp 400.000.

Urungkan Niat mengalih Fungsi GOR
Atas kondisi dan kemampuan kawasan ini dalam memberikan manfaat bagi masyarakat baik dari sisi Lingkungan,Sosial,budaya dan ekonomi. Maka wajar jika Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan sebagai sebuah Organisasi Lingkungan Hidup yang mempunyai visi mewujudkan Keadilan Lingkungan. Meminta Pemerintah Sumsel dan Kota palembang selaku pemilik Aset (Penitipan) Publik dan selaku pengelolah, untuk segera mengurungkan Niatnya dan berpikir ulang atas rencana Privatisasi kawasan RTH/ Publik ini menjadi Hotel, Restoran dan Town Square , karena jika hal ini tetap dilakukan sesuai dengan apa yang telah di tuliskan diatas maka akan berefek kepada 1.500 Orang akibat kekurangan oksigen, Timbulnya penyakit/ gangguan kesehatan masyarakat seperti Autis pada anak anak, asma,jantung,Stres dan Paru paru akibat Polusi Udara/karbon karena hilangnya kawasan Hijau, 1.000 orang yang terdiri dari 250 KK akan kehilangan lapangan pekerjaan dan terakhir adalah Hilangnya manfaat Ruang Publik karena telah di Privatisasi. Untuk itu mari Pulihkan Palembang dengan menciptakan dan menjaga Ruang Terbuka Hijau atau RTH.

Oleh : Hadi Jatmiko,ST
Kadiv Pengembangan dan Pengorganisasian Rakyat (POPER)

Tulisan ini telah dimuat di Media Cetak Sriwijaya Post pada kolom Opini dan Kompas Pada Klasika Palembang Reportase

Sabtu, 24 April 2010

Rawa Hilang, Banjir pun Datang

Oleh : Hadi Jatmiko, ST
Pengiat Lingkungan di Sumsel

Liukan aliran Sungai Musi dengan panjang mencapai 750 Km yang merupakan salah satu Sungai terpanjang di Indonesia, telah membelah kota Palembang menjadi 2 bagian seberang ulu dan Seberang Ilir. 2 bagian kota ini dihubungkan oleh satu buah jembatan Tua yang dibangun oleh Soekarno di saat Republik ini baru berusia sekitar 15 tahun.

Luas dari 2 bagian kota ini adalah 40.061 Ha. Dan Lebih dari setengahnya sekitar 22.000 Ha, adalah kawasan Rawa yang tersebar di seluruh pelosok kota dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang jaraknya hanya sekitar 107 Km sebelah utara.

Rawa artinya lahan genangan air secara alamiah yang terjadi secara terus menerus dan musiman, akibat drainase alamiah yang terhambat dan mempunyai ciri khusus secara fisik, kimia dan biologis. Di Tahun 2008, guna mengatur bentuk dan system Pengelolaan potensi Rawa, Pemerintah Kota palembang mengeluarkan sebuah Peraturan Daerah Nomor 5 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa. Atas di keluarkan nya PERDA ini banyak kalangan akademisi, Praktisi hukum dan Pemerhati Lingkungan berpendapat bahwa Perda ini, tidaklah menyentuh substansi dari persoalan rawa yang terjadi tetapi merupakan perpanjangan tangan dari pemilik modal untuk mengalih fungsikan rawa menjadi kawasan bisnis.

Pendapat tersebut sangat beralasan,jika kita melihat di salah satu bunyi pasalnya yang menyebutkan bahwa setiap Orang atau pengembang yang ingin memanfaatkan Rawa, cukup dengan membayar uang retribusi yang telah ditentukan. Dimana, untuk Luas rawa di bawah 1 ha biaya Retribusinya yang harus dibayar hanya sekitar 5 sampai 10 juta. Sedangkan untuk lahan rawa yang luasnya diatas 1 Ha, pengembang di wajibkan membayar retribusi 10 sampai 50 juta. Pasal ini sesungguhnya hanya membuka peluang sebesar besarnya bagi Pemodal besar, untuk mengalih fungsikan lahan rawa seluas luasnya sesuai dengan batas kemampuan keuangan yang dimiliki nya, tanpa melihat daya dukung Lingkungan yang ada disekitar nya.

Pesatnya Pertumbuhan Penduduk yang saat ini telah mencapai 1,4 Juta jiwa, telah berdampak dengan bertambahnya kebutuhan lahan di palembang sehingga menyebabkan kawasan rawa pun tidak dapat dialih fungsikan. Berdasarkan ketentuan nya kawasan Rawa dibagi menjadi 3 bagian, Pertama adalah Rawa konservasi, merupakan lahan genangan air alamiah yang mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, biologis dan dataran yang tidak dapat di Alih fungsikan. Kedua adalah rawa Budidaya, rawa yang dapat dimanfaatkan seperti pertanian, pemukiman, dan perkebunan namun dilarang merubah bentuk fisiknya. Dan terakhir adalah rawa Reklamasi merupakan rawa yang dapat dimanfaatkan dengan cara mengeringkan,menimbun dan mengalih fungsikan peruntukan dengan tetap memperhatikan fungsi rawa sebagai daerah tampungan air dan sistem pengendalian banjir.

Data Walhi Sumsel menyebutkan akibat dari pembangunan, setidaknya telah menghilangkan 14.700 Ha kawasan rawa, dan hanya menyisakan sekitar 7.300 atau 30 % dari Luas sebelumnya. Akibatnya 70 persen kawasan Rawa yang selama ini berfungsi sebagai penampung air hujan dan air pasang surut Sungai Musi tersebut tidak dapat di fungsikan lagi. Dampaknya 70 persen air yang tidak tertampung itupun meluap menuju daerah yang lebih rendah sehingga terjadilah banjir.

Berita di Media cetak dan elektronik beberapa waktu yang lalu menyebutkan, bahwa sejak terompet tahun baru 2010 di bunyikan, Sedikitnya telah terjadi 10 kali bencana banjir melanda Palembang dan memakan korban jiwa sebanyak 2 orang yaitu satu orang balita meninggal karena tenggelam dan satu orang lagi meninggal dunia akibat tersengat arus listrik yang terhubung dengan air yang mengenangi rumahnya.

Masih terekam di kepala kita tentang Kondisi kawasan komplek Palembang Trade Centre (PTC) yang dulunya disebut dengan PATAL, kawasan yang luasnya 21 Ha ini dulunya adalah Kawasan Rawa yang bagi masyarakat sekitar berfungsi sebagai kawasan penampung air sehingga walaupun Hujan turun dengan Deras nya, masyarakat tidak pernah cemas datangnya Banjir , akan tetapi sejak tahun 2004 ketika kawasan ini dibangun menjadi pusat perbelanjaan PTC dan Hotel Novotel, Banjir pun menjadi tamu yang selalu mendatangi Masyarakat ketika turun. hujan. Fakta ini setidaknya dapat dijadikan contoh nyata yang membuktikan Bahwa Aktifitas penghilangan rawa telah mendatangkan Bencana Banjir.

Sebenarnya sebuah Hal yang mudah dilakukan agar Fungsi Rawa tetap bisa di pertahankan walau telah dialih fungsikan yaitu, selain dari dijalankan nya secara optimal aturan yang telah ada di dalam PERDA rawa oleh pengembang dan pemerintah daerah. tetapi juga kedepan yang harus dilakukan oleh Pengembang,masyarakat dan pemerintah yang ingin membangun diatas lahan rawa, harus mendirikan bangunan dengan tipe Rumah panggung, karena dengan bangunan bertipe inilah Kawasan rawa dapat di pertahankan Bentuk dan fungsi nya sehingga ancaman datangnya banjir bagi masyarakat Kota Palembang akibat dari rusaknya Rawa tidak terjadi lagi di kemudian hari. dan selain itu jika pun banjir tetap datang maka masyarakat ,pengembang dan pemerintah dapat terhindar dari rendaman air.

Kini Palembang mulai beranjak meninggalkan musim Hujan dan beralih ke Musim Kemarau. Adalah saat yang tepat bagi Pemerintah untuk melakukan pemeriksaan dan meninjau ulang izin-izin bangunan yang dikeluarkan nya dan berada diatas kawasan rawa,apakah telah sesuai dengan aturan atau kondisi lingkungan yang ada disekitar kawasan tersebut. ataukah belum. dan Selain itu saat ini juga merupakan waktu yang tepat untuk pemerintah melakukan revisi bahkan mungkin mencabut PERDA NO 5 Tahun 2008 yang menurut banyak kalangan, dalam Pasal pasalnya hanya mempunyai semangat ekonomis bukan semangat untuk melestraikan Lingkungan dan keselamatan Rakyat.

Tulisan ini telah di muat di Koran Sriwijaya Post dan koran Kompas pada kolom Klasik Palembang

Kamis, 18 Maret 2010

Kembalikan Tanah Kami

SEKAYU - Ratusan petani mengatasnamakan Serikat Petani Desa Sinar Harapan (SPSH) Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Muba, Rabu (17/3) menggelar aksi demo di depan Pemkab

Muba menutut penyelesaian sengketa tanah mereka. Selain itu warga juga menuntut Pemkab dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera memberikan dokumen surat keputusan penempatan warga dan pembentukan Desa Sinar Harapan serta HGU perusahaan PT BSS.

Setiba di depan Pemkab Muba, warga menggelar orasi dipimpin koordinator aksi Hadi Jatmiko yang berhadapan dengan pagar betis aparat Dalmas Polres Muba dan Sat Pol PP. Dalam uraiannya

terungkap, 73 hektare lahan akan terus diperjuangkan untuk diinclave dan dikembalikan kepada masyarakat.

Menurut warga, 73 Ha lahan ini telah bersertifikat resmi dan sebagian memiliki bukti keterangan usaha yang berada di wilayah Desa Sinar Harapan yang telah disyahkan oleh Direktorat AgrariaSumsel Tahun 1983.

Atas tuntutan warga ini telah dilakukan berulangkali pengukuran lahan oleh tim Pemkab melalui BPN Muba dan Pemprov Sumsel serta pihak perusahaan, namun belum ada penyelesaian.

Kedatangan warga ini diterima oleh Kabag Tata Pemerintahan Pemkab Muba, Drs Amsin untuk musyawarah. Pertemuan juga menghadirkan Kepala BPN Muba, Sri Hadi Marwoto yang menjelaskan

kalau masalah ini juga sedang diselesaikan Pemprov Sumsel dan sudah memasuki persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Warga diminta menyerahkan bukti sebelum dilakukan kesimpulan di PTUN,” kata Sri.

Sriwijaya Post - Rabu, 17 Maret 2010 19:41 WIB



Selasa, 02 Maret 2010

Walhi Sumsel Ancam Gugat Pemprov Terkait Banjir

Selasa, 2 Maret 2010 04:57 WIB | Warta Bumi | Masalah Lingkungan |

Palembang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Sumatra Selatan (Sumsel) mengancam akan mengajukan gugatan "legal
standing" kepada pemerintah provinsi setempat dalam bulan ini karena
menilai tidak mampu menyikapi dan menanggulangi bencana alam yang
melanda warga daerah ini.

Kepala Divisi Pengembangan Sumberdaya Organisasi WALHI Sumsel, Hadi
Jatmiko, mendampingi Direktur Eksekutifnya, Anwar Sadat, di Palembang,
Senin malam, mengatakan, akibat dari bencana alam banjir yang melanda
warga Sumsel pada sedikitnya delapan kabupaten/ kota di daerah itu cukup
memprihatinkan.

Ia menyebutkan, kerugian yang dialami oleh warga sangat besar, antara
lain sebanyak 11.600 hektare (ha) lahan pertanian warga terendam banjir
dan 4.000 ha dipastikan mengalami gagal panen (puso).

Kerugian belum termasuk rumah warga yang terendam banjir, dengan
klasifikasi kurang lebih 2.000 rumah yang terendam total berlokasi di
Kabupaten Musi Rawas (Mura), Musi Banyuasin (Muba), Ogan Ilir (OI), dan
Ogan Komering Ilir (OKI), serta berkisar 10 ribu rumah warga terendam
dari 30 centimeter (cm) hingga satu meter lebih di sejumlah wilayah
mengalami banjir itu.

Menurut dia, pemerintah di daerah itu tidak mampu menyikapi persoalan
yang dihadapi oleh warga akibat genangan banjir tersebut.

Dia menilai, pemda setempat tidak bisa berbuat apa-apa atas bencana alam
yang terjadi di daerah itu, antara lain akibat perilaku buruk terhadap
lingkungan hidup, seperti penebangan liar, alihfungsi lahan, serta
perubahan fungsi rawa yang berfungsi sebagai kawasan penyerapan untuk
permukiman, perkantoran dan kepentingan bisnis.

Hadi menambahkan, banjir yang melanda di sejumlah daerah itu juga telah
mengakibatkan enam orang meninggal dunia, dan warga korban banjir
umumnya mulai diserang penyakit diare, gatal-gatal dan juga infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA).

Karena alasan itulah, WALHI Sumsel menyiapkan butir-butir penting yang
mereka cantumkan dalam pengajuan gugatan "legal standing" tersebut,
yaitu berkaitan dengan lingkungan hidup, hak asasi manusia (HAM), dan
tanggap bencana.

WALHI Sumsel menilai, pemerintah telah lalai dan harus bertanggung jawab
atas bencana banjir yang melanda warganya itu.

Secara terpisah Nachung, Sekjen Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sumsel,
menentang sikap Gubernur Sumsel, H Alex Noerdin, dengan menganggap
banjir yang melanda di Kabupaten Mura merupakan tanggung jawab Pemprov
Bengkulu.

"Seharusnya Pemprov Sumsel dan Gubernur berpikir bila persoalan banjir
diakibatkan marak penggundulan hutan di daerah itu, belum lagi
pengalihfungsian lahan gambut menjadi lahan perkebunan dan sistem
penataan kota yang tidak beraturan," kata dia lagi.

Menurut dia, tidak tepat menyalahkan pihak lain sebagai penyebab
kebanjiran yang menenggelamkan puluhan ribu lahan dan rumah warga tersebut.

Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah sikap dan tindakan
mengantisipasi terjadi banjir.

"Kalaupun tidak dapat dihindari, semestinya diambil langkah bagaimana
mengambil tindakan cepat untuk pengevakuasian korban banjir, bukan malah
mencari siapa yang bertanggung jawab. Ini menunjukkan buruknya sistem
pemerintah kita," kata dia lagi. (B014/K004)




Senin, 01 Maret 2010

Kondisi Daratan Kota Palembang Parah

Sriwijaya Post - Selasa, 2 Maret 2010 09:42 WIB

*PALEMBANG* - Siklus lima tahunan tidak serta-merta menjadi faktor utama banjir di Palembang. Siklus lima tahunan itu diperparah oleh kondisi daratan di Kota Palembang. Banyak rawa di kota yang awalnya menjadi tempat resapan air sudah hilang sehingga menyebabkan air menyebar ke berbagai wilayah daratan.

"Kota Palembang sebetulnya sebuah kota diatas rawa-rawa yang dipengaruhi pasang surut. Ketika rawa masih ada, air permukaan akan mengalir masuk ke rawa-rawa yang letaknya memang rendah," ujar Manajer PSDO Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, Senin (1/3).

Luas rawa di Kota Palembang sendiri menurut catatan Walhi Sumsel mencapai 70 persen dari luas wilayah kota. Ketika air yang jatuh diatas 70 persen wilayah rawa tidak ada tempat penampungan, maka air akan lari dan mengalir ketempat lain.

Hadi mengakui rawa di Kota Palembang sudah mengalami degradasi. Antara tahun 1999-2004 telah terjadi alih fungsi rawa secara besar-besaran di Palembang, yakni pembangunan berbagai sarana Pekan Olahraga Nasional (PON) yang dipusatkan di Jakabaring yang awalnya adalah kawasan rawa. Selanjutnya antara tahun 2004-2008 tercacat terjadi pembangunan besar-besaran dikawasan tersebut terkait dengan rencana pembangunan Palembang sebagai Kota Internasional.

"Kita sepakat dengan pembangunan, tetapi bagaimana mensinergikan berbagai pembangunan dengan lingkungan," tegas Hadi.

Sementara Perda Kota Palembang No 5 Tahun 2008 yang mengatur mengenai rawa, dinilai Walhi Sumsel tidak berfungsi. Tidak ada pengawasan terhadap pelaksanaan konversi rawa di Kota Palembang. Padahal dalam perda dibuat aturan-aturan pelaksanaan konversi.

Ada kesan luasan rawa yang menjadi lampiran perda tersebut, sengaja ditutup-tutupi. "Walhi Sumsel yang yang mencoba meminta lampiran peta rawa dari perda tersebut ke pihak Pemkot Palembang, tidak mendapatkannya dengan alasan peta sudah hilang," katanya.

Dalam perda tersebut, meski isinya tidak menggembirakan dibandingkan perda sebelumnya, diatur pasal-pasal kewajiban pengembang yang membangun diatas rawa. Kalau dulu hanya 1.000 meter persegi yang bisa dikonversi, kini berubah menjadi 20 ribu meter persegi yang bisa dikelola pihak lain.

Celakanya dalam proses konversi pun tidak ada pengawasan. Padahal pengembang yang melakukan pembangunan dengan luas sampai 10 ribu meter persegi wajib untuk membangunan drainase yang baik. Sedangkan yang membangun diatas 10 ribu meter persegi wajib untuk membuat retensi.






Sabtu, 13 Februari 2010

Walhi Sumsel Sinyalir Ilegal Logging di Lalan

Sriwijaya Post - Jumat, 12 Februari 2010 21:11 WIB

PALEMBANG - Walhi Sumsel mensinyalir terjadi praktik ilegal logging dikawasan Hutan Produksi Sungai Lalan Kabupaten Muba yang luasnya 230.000 hektare. Praktik itu diduga merugikan negara triliunan rupiah mengingat sudah berlangsung sejak 1980-an hingga 2001 lalu diteruskan hingga sekarang dengan pelaku atau perusahaan yang berbeda.

Menurut Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat di Kantor Walhi Sumsel, modusnya perusahaan tersebut melakukan pembalakan dan mendrop kayu-kayu tersebut kesejumlah sawmill disepanjang Sungai Merang dan Kepayang. Jumlah sawmill yang diperkirakan jumlahnya banyak.

"Data yang dihimpun Walhi Sumsel, untuk satu hari volume kayu yang keluar mencapai 300 hingga 2.000 meter kubik. Kalau satu minggu mencapai 2.100-14 ribu meter kubik. Kalau sebulan atau setahun, bisa diperkirakan besarnya," ujar Sadat.

Kayu yang dihasilkan sawmill tersebut menurutnya dibawa ke Palembang dan beberapa daerah di Provinsi Sumsel. Bahkan ada yang dibawa ke Jakarta.

Dijelaskan oleh Sadat, hutan produksi Lalan dinilai sebagai hutan yang masiht tersisa di Provinsi Sumsel. Menurutnya di hutan tersebut masih ada tegakan kayu-kayu yang besar, lebih besar dari pelukan tangan orang dewasa.

Oleh karena itu Walhi Sumsel meminta agar dilakukan operasi secara serius untuk memberantas pembalakan liar. Selain itu juga melakukan penyelidikan terhadap oknum pelaku dan juga yang menjadi backing. Walhi Sumsel juga menuntut agar seluruh sawmill disepanjang Sungai Merang dan Kepayang.
Soegeng Haryadi





Rabu, 10 Februari 2010

Rencana Operasi TransMusi harus di Tunda

Seiring dengan semakin pesat nya pembangunan yang ada di Kota Palembang, telah menyebabkan banyak juga bermunculan persoalan persoalan, baik itu Persoalan lingkungan maupun persoalan Transportasi. Adapun untuk persoalan Lingkungan yaitu tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sampai saat ini belum memenuhi Quota luas 30% seperti yang telah dimandatkan UU 26/2007 tentang tata ruang, selain itu terdapat persoalan alih fungsi RTH dan Rawa menjadi Kawasan Bisnis, Perkantoran, Mall Industri dan perumahan. Sedangkan Persoalan di sector Transportasi adalah kemacetan yang semakin hari semakin memprihatinkan, berdampak terhadap peningkatan Suhu Udara yang ada dikota Palembang , akibat dari banyaknya emisi carbon dihasilkan secara sia sia dari Bahan bakar kendaraan.

Beberapa kajian dari para akademisi, Aktifis Lingkungan dan pemerhati Transportasi telah menyebutkan beberapa faktor penyebab terjadinya kemacetan di kota palembang, yaitu disebabkan oleh banyaknya Kendaraan bermotor yang ada, Tidak dipatuhinya Peraturan (rambu-rambu) lalu lintas yang ada dijalanan oleh para pengemudi kendaraan Bermotor, tidak di tegakanya hukum lalu lintas oleh Aparat penegak hukum, dan penumpukan jumlah kendaraan umum pada rute rute yang ada di kota palembang.

Menjawab persoalan diatas, saat ini Pemerintah kota Palembang telah melakukan pengembangan program transportasi massal, yang nyaman, aman, tepat waktu dan ramah lingkungan dengan out put yang diharapkan dari Program ini dapat mengalihkan/mengurangi pengguna kendaraan bermotor Pribadi, menjadi pengguna transpotasi Massal, sehingga mengurangi kepadatan Kendaraan di jalan jalan yang berarti mengurangi Carbon yang di Konsumsi oleh Atmosfer bumi. Rencana pengembangan system Transportasi Massal ileh PEMKOT ini sebenarnya Patutlah kita berikan apresiasi. namun yang harus menjadi catatan bagi Pemerintah kota dalam melakukan pengembangan program ini tidaklah cukup dengan sekedar seremonial tetapi harus ada upaya yang sistematis, melingkupi hal-hal teknis operasi sampai dengan Infrastruktur penunjang lain nya, semua hal ini harus terintegrasi dalam sebuah panduan pengoperasian atau disebut Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)

AMDAL berdasarkan Undang Undang dan peraturan yang ada dalam hal ini, UU no 32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup, PERMEN LH No 11/ 2006 tentang Kegaiatn Wajib Amdal, dan PP no 27 / 1999 tentang AMDAL,adalah sebuah Dokumen yang wajib dimiliki oleh setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan Hidup, sedangkan untuk Fungsi AMDAL itu sendiri merupakan sebuah Dokumen yang digunakan sebagai panduan/alat control dari setiap kegiatan yang akan dilakukan,baik itu saat Pra Kegiatan, Kegiatan dan Pasca kegaiatn sehingga dengan adanya Dokumen ini kegiatan yang dilakukan akan mampu mencapai tujuan senbagaimana yang diinginkan.

Transportasi massal yang diberi nama Bus Rapid Trans(BRT) Transmusi oleh PEMKOT palembang adalah salah satu kegiatan atau usaha yang mempunyai dampak terhadap Lingkungan hidup seperti Polusi udara, Kebisingan, dan lain nya sehingga wajib jika rencana kegiatan ini harus dilengkapi dengan AMDAL,.Namun menjadi persoalan ternyata sampai dengan akan di operasikan sebanyak 25 bus pada tanggal 10 februari 2010 besok, pada Koridor AAL – Ampera, dan koridor Terminal Sako – Palembang Indah Mall (PIM), tidaklah memiliki sedikitpun Kajian Lingkungan Hidup dan/atau AMDAL. atas temuan ini pantas bila kita berpandangan pesimis terhadap pencapaian tujuan program ini dan malah berpikir Trans Musi hanya akan menjadi persoalan baru terhadap Transportasi dan Lingkungan Hidup di kota Palembang, yang mempunyai Visi Misi mewujudkan kota Green, Blue dan Clean.




POLDA Sumsel Menolak Laporan,Warga Sido Mulyo Kecewa

Palembang (WALHI sumsel) .4 Orang Warga Sido Mulyo Banyuasin di dampingi oleh 2 Orang perwakilan dari Walhi Sumsel, Hari ini Selasa 09/02 tepat Pukul 10.30 Wib, mendatangi Markas POLDA Sumsel yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Palembang, adapun maksud dan tujuan warga mendatangi Polda Sumsel, untuk melaporkan PT.PN VII atas Aksi Penghadangan yang dilakukan oleh Perusahaan, terhadap Aksi Ruwatan Kampung yang dilakukan Warga sido mulyo pada hari Rabu 03/02 dilahan Milik mereka seluas 387 Ha yang selama ini di Klaim oleh Pihak PT.PN VII.

Sempat terjadi keteganggan antara Warga dengan Pihak POLDA sumsel dalam hal ini bagian Reskrim karena laporan warga tidak diterima (Ditolak.red) oleh Pihak POLDA Sumsel, dengan alasan laporan ini bukan wewenang POLDA untuk menerima nya, apalagi segala barang bukti dan TKP berada di wilayah Polres Banyuasin dan sudah sepantasnya warga melapor ke Polres. Ungkap Pihak Polisi yang di tirukan oleh M.Fadli perwakilan dari Walhi Sumsel.

Namun pernyataan itu dibantah oleh Warga dan Walhi sumsel, warga menilai pihak Polda harusnya menerima laporan mereka sebab kabupaten Banyuasin itu juga wilayah hukumnya Polda Sumsel, apalagi saat melapor warga membawa bukti-bukti saat penghadangan yang dilakukan oleh Preman suruhan PT.PN VII dan kami pun pernah dikecewakan oleh Pihak POLRES Banyuasin, pada tahun 2007 kami pernah melaporkan hal serupa tapi oleh Pihak POlres tidak di tindak lanjuti, jadi dengan kami melapor ke sini, Hal tersebut tidak terulang lagi. Ungkap M.Fadli Deputy Walhi, saat berada di Kantor WALHI Sumsel.

“Harusnya pihak POLDA tidak boleh menolak laporan Warga karena Banyuasin wilayah Sumatera selatan,yang berarti wilayah hukum Polda Sumsel, apalagi tahun 2007 kemaren warga pernahdikecewakan oleh POLRES dengan tidak ditindak lanjuti nya laporan kami” kata Fadli.

Seperti yang kami beritakan Sebelumnya, Pada Tanggal 3 Februari 2010 yang lalu,sebanyak 200 orang warga sido Mulyo Banyuasin melakukan Aksi Ruwatan Kampung di Lahan 387 Ha milik warga yang selama ini di Klaim oleh PT.PN VII, Namun Aksi Ruwatan Kampung tersebut gagal karena warga dihadang oleh 1.500 Orang bayaran Perusahaan PT.PN VII, yang setiap orang bayaran tersebut dibekali Senjata Tajam,Senjata Api dan Kayu.

Atas Penolakan laporan tadi oleh POLDA sumsel, Saat ini dengan maksud yang sama dan juga meminta perlindungan Hukum dari Pihak kepolisian, Perwakilan Warga sidomulyo tersebut, telah berangkat menuju Kantor POLRES Banyuasin (Mlx)




Selasa, 02 Februari 2010

1.500 Orang bersenjata tajam menghadang warga sidomulyo

Walhi 03/02 Sido mulyo Banyuasin. Hal ini diungkapkan oleh Mahmud Kades Sidomulyo Kabupaten Banyuasin , saat di hubungi melalui ponsel nya pukul 10.30 Wib tadi, dalam komunikasi tersebut Mahmud menjelaskan bahwa sebanyak 1500 orang yang dibekali dengan senjata tajam Lengkap itu ,menghadang warga saat warga akan memulai kegiatan Sedekah Bumi pada pukul 10.00 pagi tadi, dan sekarang 1500 Orang tadi, telah membangun Posko Posko penjagaan di Lahan Kelapa Sawit Milik Warga yang selama ini di klaim oleh PT. PN VII.

Saat ditanya apakah dia tahu siapa orang orang itu dan asalnya dari daerah mana. Mahmud mengatakan Orang orang tersebut adalah orang bayaran PT. PN VII yang selama ini sering melakukan intimidasi terhadap warga yang menolak lahan nya di rampas oleh Perusahaan, sedangkan untuk asal daerah, mereka berasal dari Betung, dan Desa lain yang mendukung usaha PT. PN VII. ( karyawan: red)

“ Kami dihadang 1500 Orang bersenjata lengkap yang berasal dari Betung dan desa lain yang ada PT. PN nya agar kegiatan yang telah kami rencanakan kemaren batal” kata mahmud.

Berdasarkan Informasi yang kami dapat dari warga Sidomulyo siang kemarin (02/02) via SMS, Hari ini Warga berencana mengadakan kegiatan Sedekah Bumi yang diteruskan dengan pembuatan batas lahan warga dari tanggal 3 – 10 Februari 2010, yang selama ini, lahan seluas lebih dari 387 Ha dirampas oleh PT. PN VII digunakan untuk usaha Perkebunan Kelapa Sawit.

Atas penghadangan yang dilakukan oleh orang bayaran perusahaan tersebut terhadap rencana kegiatan mereka, warga menunda kegiatan Sedekah Bumi nya untuk sementara waktu, namun mereka tetap berkumpul menjadi satu di posko yang telah di siapkan sebelum, sambil menunggu pihak kepolisian membubarkan orang orang bayaran tersebut.(mlx)






Setop Alih Fungsi Rawa di Palembang

PALEMBANG--MI: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan (Sumsel) mendesak pemda dan para pihak di daerah itu untuk menghentikan segala bentuk alih fungsi, termasuk penimbunan rawa di Kota Palembang menjadi kantor pemerintah maupun kepentingan bisnis swasta.

Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, mendampingi Direktur Eksekutif, Anwar Sadat, di Palembang, Selasa (2/2), menegaskan desakan setop alih fungsi rawa itu, guna mencegah bencana dan memaksimalkan resapan air untuk menghindari banjir.

Hadi menyebutkan, sebagian dari luas Kota Palembang 40.000 ha adalah rawa yang berdasarkan Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1991 didefinisikan bahwa rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat, serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis.

"Atas dasar inilah maka wajib bagi pemerintah untuk menjaga dan melindungi ekosistem rawa itu," kata Hadi pula.

Namun kenyataan yang terjadi saat ini, lahan rawa yang tadinya mempunyai luas 22.000 ha, kini hanya tersisa sekitar 30 persen dari luas tersebut (7.300 ha ). Penyusutan lahan rawa itu, akibat alih fungsi rawa yang dijadikan perumahan, perkantoran dan pergudangan oleh pihak swasta maupun pemda itu sendiri.

Dia mencontohkan, konversi rawa oleh PT Orchid Residence Indonesia seluas 8 ha untuk pembangunan apartemen, pembangunan Komplek Perumahan Citra Grand City oleh Ciputra Grup dengan luas lahan rawa mencapai 60 ha, pembangunan kantor Bank Sumsel di Jakabaring seluas 3 ha, pembangunan gedung DPRD Kota Palembang 5 ha, dan pembangunan fasilitas lainnya.

Parahnya, menurut Hadi, konversi rawa tersebut dilegalkan oleh Pemerintah Kota Palembang melalui Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Pengendalian dan Retribusi Lahan Rawa, dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa untuk pengalihfungsian lahan rawa di Kota Palembang, pengembang cukup dengan membayar retribusi sesuai yang telah ditetapkan.

Atas bertambah luas lahan rawa yang dikonversikan itu (tersisa 7.300 ha), membuat Kota Palembang terus mengalami bencana banjir, baik banjir yang diakibatkan oleh hujan maupun karena pasang surut air Sungai Musi. Tetapi dengan rentannya bencana banjir tersebut, tidaklah menjadikan Pemkot Palembang dan Pemprov Sumsel untuk menghentikan semua kebijakan yang telah mengizinkan alih fungsi rawa di kota Ini, kata Hadi pula.

Dia menyebutkan keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang yang masih memberikan Izin terhadap rencana pembangunan gedung perkantoran untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel seluas 80 ha di lahan rawa Jakabaring, serta pemberian izin terhadap pembangunan gedung Carrefour seluas 5 ha di Jakabaring dalam waktu dekat ini yang juga mengalihkan fungsi lahan rawa.

Padahal dengan kebijakan itu, lanjut Hadi, dapat dipastikan bahwa ke depan akan semakin meluas dan merata bencana banjir di seluruh pelosok kota itu. Karena itu, Walhi Sumsel menolak rencana pembangunan kompleks perkantoran Pemprov Sumsel, gedung Carrefour, dan lainnya yang akan mengalih fungsikan (penimbunan) lahan rawa di Jakabaring karena akan berdampak timbul bencana banjir. (Ant/OL-03)



Hitler Protes keras atas Keluarnya album lagu aku pasti kesana milik nya SBY.



Sabtu, 30 Januari 2010

Adipura Bakal Terganjal Drainase

Sunday, 31 January 2010
PALEMBANG (SI) – Proses penilaian Adipura tahap pertama oleh pemerintah pusat hampir memasuki tahap akhir.Sejumlah titik penilaian masuk dalam kategori aman,kecuali drainase dan saluran air yang tak maksimal.

Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Palembang Kms Abubakar mengemukakan, dari 160 titik pantau penilaian Adipura tahun 2009–2010,Palembang saat ini masih berada di posisi aman untuk kategori kota metropolitan.Namun, untuk titik penilaian drainase dan saluran air lain, masih perlu peningkatan.

”Kita yakin masuk lima besar karena sejumlah titik pantau, seperti pasar, terminal, rumah sakit, penilaiannya mungkin masih bagus. Meskipun kita belum tahu berapa nilainya,saya optimistis masih bagus. Nah, kalau drainase, kemungkinan masih belum optimal karena banyak drainase yang perlu peningkatan kebersihannya,”ujarnya di Palembang kemarin. Selain drainase, lanjut Abu, penghijauan kota juga kemungkinan masih belum maksimal.

“Tetapi sekarang kita sudah upayakan untuk menggalakkan penghijauan, khususnya di pemukiman di kelurahan dan kecamatan. Karena itu, kita harapkan agar ini terus ditingkatkan, sehingga penghijauan di Palembang bisa makin optimal,” bebernya. Sedangkan untuk yang paling baik, tambah Abu, kemungkinan penilaian di bidang pengomposan dan 3R (reuse, recycle, dan reduce).

“Upaya kita untuk menerapkan 3R ini, sudah maksimal. Itu terlihat dari tempat sampah di berbagai dinas, instansi, sekolah, atau pusat perbelanjaan yang sudah dipisah antara sampah organik dan nonorganik.Inilah yang harus ditingkatkan lagi,”paparnya. Sementara untuk penilaian tahap kedua, diperkirakan baru akan dilakukan pada awal Maret mendatang.

“Memasuki tahap kedua ini, kita minta peran serta masyarakat untuk lebih aktif dalam menjaga kebersihan lingkungannya.Termasuk, dengan membersihkan drainase yang ada di tempat tinggalnya,” tegasnya. Mengenairendahnya nilaisistem drainase dan saluran air sendiri,Kepala Dinas PU-BM Palembang Kira Tarigan menjelaskan,untuk pembenahan drainase dan kolam retensi di Palembang,pihaknya mengajak seluruh camat dan lurah untuk bekerja sama.

“Kita minta seluruh camat dan lurah untuk membantu mengawasi drainase dan saluran air yang ada di kawasannya. Sebab, mereka yang mengawasi terdekat dengan lingkungan nya,” sebutnya. Kira menambahkan, sejauh ini Palembang memang masih membutuhkan penambahan kolam retensi.

Untuk kota dengan luas 102,47 km2, setidaknya Palembang membutuhkan sampai 50 kolam retensi. “Sekarang ini, baru ada 20 kolam.Untuk itu, tahun depan kita akan upayakan penambahan kolam retensiyangbarulagi.Inijugauntuk menunjang 19 sistem drainase yang ada di Palembang,”tegasnya. Dia mengatakan,dari 20 kolam retensi yang ada juga telah mengalami pendangkalan.

“Idealnya kolam retensi itu memiliki kedalaman sampai 5 meter. Sekarang karena sudahtertutupLumpurdansampah, kedalaman tinggal 2,5 meter saja.Ini sangat memengaruhi daya tampung dari kolam retensi,”kata dia. Selainsampahdanlumpur,lanjut Kira,limbah cucian mobil juga membuat sedimentasi di kolam retensi makin parah. “Sedimentasi makin parah karena limbah cucian mobil membentuk endapan.

Kita sudah peringatkan sejumlah cucian mobil untuktidakmembuanglimbahnya di kolam retensi.Tapi,masih ada juga yang melanggar,”ungkapnya. Untuk menanggulangi hal ini, tambah Kira,tahun ini Dinas PU-BM fokus melakukan pengerukan kolam retensi. Sebanyak 13 kolam retensi akan dikeruk mulai pertengahan tahun ini.

“Tahun lalu kita sudah keruk lima kolam retensi,yakni kolam di samping RS Siti Khodijah,Talang Aman,Perumnas,depan Yayasan IBA, dan Kambang Iwak Kecik (samping Masjid Taqwa),”urainya. Mengenai dananya, imbuh dia, termasuk dalam dana pemeliharaan rutin di Dinas PU-BM, yakni Rp250 juta.

“Dananya masuk dana rutin.Yang jelas, tahun ini kita fokus juga melanjutkan pengerukan di kolam retensi. Bahkan pada tahun ini,kita akan mendapatkan kucuran dana dari Jepang sebesar Rp40 miliar. Rencananya dana ini untuk normalisasi Sungai Bendung, Sungai Aur,Sekanak,dan Sungai Buah. Ini juga ada bantuan dari Balai Sungai Wilayah Sumatera VIII,”jelas dia.

Menurut Manajer Pengembangan Sumber Daya dan Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (walhi) Sumsel, Hadi Djatmiko mengungkapkan, pihaknya akan melakukan pengawalan ketat terhadap rencana tata ruang wilayah yang akan digagas Pemkot Palembang. “Tujuannya agar kolam retensi dan drainase yang ada saat ini tidak akan terulang lagi pada masa mendatang. Ini merupakan pekerjaan yang harus segera diselesaikan Pemkot Palembang,” ujarnya tadi malam.

Hadi mengatakan, kondisi kolam retensi dan drainase di Kota Palembang memang cukup memprihatinkan. ”Seharusnya pemkot tidak hanya berupaya meningkatkan jumlah kolam retensi tersebut, tetapi juga harus mencarikan solusi. Bahkan, upaya pengerukan yang dilakukan Pemkot Palembang jangan hanya formalitas, harus terus rutin dilakukan, ”tegasnya. Dia menambahkan,Pemkot Palembang seharusnya dapat lebih memperketat pemberian izin untuk memperluas galian tersebut.

”Jangan sampai proyek tersebut sampai ke tangan yang kurang berkompeten, sehingga terkesan hanya menghambur-hamburkan uang APBD. Bahkan, daripada melakukan pembangunan kolam retensi yang baru, ada baiknya lebih perhatian untuk memperluas ruang terbuka hijau dan mempertahankan rawa-rawa sebagai daerah serapan air yang ada, itu lebih dari cukup untuk meminimalisasi timbulnya banjir di kota Palembang ini.Tanpa upaya itu semua, drainase dan banjir tetap menjadi masalah,”katanya. (andhiko tungga alam)