Senin, 28 Juli 2008

Sst! Pemerintah Sedang Godok Aturan Baru Soal Berdemonstrasi!


(berpolitik.com): Wahai para demonstran, ada berita buruk buat Anda. Dalam beberapa bulan ke depan, jika rencana pemerintah mulus, aksi unjuk rasa bakal lebih sulit untuk dilakukan. Apa pasal?

Sumber berpolitik menyebutkan, saat ini Kepolisian atas perintah Presiden SBY, dikabarkan tengah menggodok tentang aturan berdemonstrasi. Soalnya, aturan saat ini sudah dianggap tak memadai.

Yang terpokok, dalam aturan baru nanti, para pengunjuk rasa tidak lagi cukup sekadar memberitahu kepada aparat kepolisian tentang rencana unjuk rasa. Untuk menggelar demonstrasi, mereka harus mendapat ijin tertulis. Kalau ijin tak keluar, tentu saja aksi tak bisa dilakukan. Jadi, sangat mungkin kalaupun bisa digelar, sudah "basi".

Dan, tentu saja, untuk mendapat ijin itu soalnya tak gampang. Nantinya, untuk mendapat ijin, pelaku unjuk rasa harus mengisi formulir yang meminta informasi banyak hal, yang rasanya bisa langsung membuat kepala Anda "cenut-cenut".

Harus Membeberkan Pelaku dan Penyandang Dana
Bayangkan, dalam formulir yang Anda harus isi, berbagai hal yang terkait pelaksanaan unjuk rasa harus Anda laporkan. Itu menyangkut soal struktur organisasi pengunjuk rasa: siapa yang jadi Komandan lapanganya, siapa yang jadi juru runding, siapa yang bertugas melakukan pengamanan, siapa yang bertindak sebagai "tim advance", siapa yang menyusun materi tuntutan, siapa yang memainkan peran sebagai dinamisator lapagan, dan seterusnya.

Dan, tak hanya itu. Anda juga harus melaporkan dimana saja dan kapan saja rapat-rapat persiapan unjuk rasa tersebut dilakukan. Tentunya, Anda harus pula melampirkan nama-nama yang ikut dalam rapat-rapat tersebut. Bahkan, direncanakan juga meliputi tapi terbatas menyangkut nomor telpon genggam, asal organisasi dan juga foto copy KTP yang bersangkutan.

Dan, akhirnya, Anda harus melaporkan berapa dana yang disiapkan untuk menyelenggarakan unjuk rasa. Yang terpenting: siapa saja yang menyediakan dana untuk menggelar aksi tersebut!

Belum Aksi, Sudah Jadi Tersangka
Dengan sederet "kelengkapan administrasi" seperti itu, para pelaku unjuk rasa bisa langsung ciut nyalinya. Bagaimana tidak. Sederet informasi yang harus diisi itu bakal menjadi bahan untuk menjerat mereka.

Sedikit kekeliruan saja memberikan informasi, bisa dipastikan Anda bakal dijerat dalam pasal penipuan dan sejenisnya. Jadi, sebelum unjuk rasa pun, Anda sudah sangat mungkin masuk bui.

Bagaimana polisi bisa tahu Anda memberikan informasi yang bohong? Ada banyak cara. Kalau untuk kelas mahasiswa dan pemuda, polisi sudah punya banyak agen ganda yang disusupkan dalam rapat-rapat perencanaan. Jadi, dengan mudah terdeteksi jika ada laporan yang dibuat Asbun (asal bunyi) ataupun Aspal (asli tapi palsu). Cara lain, tentus saja meliputi kerja teknis seperti menyadap telepon dan SMS dan menelusuri rekening bank Anda. Dan, masih banyak lagi.

Dan, ini termasuk dalam urusan dana. Polisi bisa membuat kalkulasi berapa anggaran dana yang semestinya disediakan. Kalau kemudian gelegar aksi Anda diperkirakan jauh melebihi dana yang dilaporkan, Anda bisa segera masuk bui karena membuat laporan palsu. Salah satu titik krusialnya menyangkut anggaran pengerahan massa.

Polisi pasti berpatokan pada angka dasar yang suka disebut oleh 'massa bayaran'. Nah, kalau peserta aksi itu membludak, namun anggaran yang dilaporkan dianggap terlalu rendah, bisa dipastikan Anda bakal langsung diuber-uber. Polisi pasti tak mau tahu kalau peserta aksi Anda bukan orang bayaran.

Yang lebih gawat, selalu ada kemungkinan Aksi anda disusupi massa limpahan yang tak ketahuan asal-usulnya. Mereka tak membuat rusuh, tetapi kehadiran mereka sudah cukup membuat laporan Anda terlihat palsu!


Mencegah Penggerusan Citra
Mudah untuk diduga, mengapa aturan ini hendak dilansir. Secara formal, pemerintah pasti bakal memakai pendekatan prosedural. Kurang lebih argumentasinya akan berpokok pada pernyataan, "demonstrasi tidak dilarang, tapi harus tertib, tidak menganggu dan harus bertanggung jawab".

Secara informal, sejumlah kalangan meyakini, pemerintah SBY gerah terhadap aksi-aksi unjuk rasa. Soalnya, aksi-aksi itu dianggap sebagai upaya kampanye negatif terhadap SBY dan kinerja pemerintah secara keseluruhan.

Harus diakui, memang ada sebagian unjuk rasa yang sangat mungkin menjadi kendaraan untuk menggerus citra SBY. Persoalannya, hanya gara-gara unjuk rasa yang demikian itu, banyak aksi unjuk rasa lainnya yang bakal terkena imbasnya.

Tentangan dari publik bakal banyak. Tapi, yang mendukung juga tak kurang-kurang. Yang mendukung ini terutama sekali adalah anasir-anasir dalam tubuh pemerintah dan korporasi yang terus terlilit sejumlah masalah.

Kalangan DPR juga dipastikan akan senang dan membiarkan aturan ini dibungkus dalam Peraturan Pemerintah atau yang lebih rendah. Ini menghindarkan mereka terkena imbas negatif sekaligus menjadi penikmat manfaat dari regulasi baru ini.

Nah, terpulang kepada Anda, wahai para pentolan unjuk rasa, untuk menimbang-nimbang resikonya. Ngomong-ngomong, siapa ya yang kasih ide ke SBY?

Minggu, 27 Juli 2008

Urgensi Pembentukan Desa Siaga

Masalah kesehatan merupakan persoalan yang hingga saat ini terus menjadi perhatian banyak fihak. Hal itu dapat dimaklumi, karena sektor kesehatan merupakan salah satu kebutuhan vital bagi masyarakat. Tersedianya kesehatan yang memadai, tentunya diharapkan akan mampu memujudkan kehidupan masyarakat Indonesia pada keadaan yang lebih baik.

Secara nasional, pemerintah telah mencanangkan visi Indonesia sehat 2010. Implementasi terhadap program ini, pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah mendorong pembangunan desa siaga di seluruh Indonesia, yang diharapkan pada akhir tahun 2008 telah dapat terealisir. Departemen Kesehatan menggambarkan bahwa desa siaga merupakan program yang dimaksudkan untuk menyiapkan kemampuan masyarakat pedesaan, dalam memahami berbagai resiko dan bahaya yang dapat ditimbulkan akibat gangguan kesehatan, seperti bencana dan penyakit. Hal itu pada tahap selanjutnya diharapkan akan dapat menciptakan dan meningkatkan kesehatan lingkungan bagi masyarakat di pedesaan.

Gagasan maju itu tentunya memerlukan upaya keras dan keseriusan dari pemerintah. Karena hal itu setidaknya akan dipengaruhi oleh tiga hal utama, diantaranya; (1)Pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang masih sangat terbatas terhadap isu dan permasalah kesehatan; (2)Pembiayaan dan minimnya sumber daya teknis kesehatan; dan (3)Singkronisasi dengan pemerintahan di daerah.

Dalam konteks Sumatera Selatan, gaung desa siaga belumlah begitu deras terpublikasi. Dengan wilayah desa yang mencapai 2538 desa (data base BPS Sumsel;2006), belum diketahui secara jelas berapa wilayah desa yang telah dibentuk menjadi desa siaga. Sementara semua fihak mengharapkan bahwa implementasi terhadap gerakan pembangunan desa siaga dapat segera teralisir. Meski capaian target waktu yang dimaksud, pada pelaksanaannya haruslah benar-benar efektif dan tidak hanya sekedar sebagai penjalanan program semata.

Persoalan kesehatan, penyakit, dan bencana lingkungan di Sumatera Selatan, merupakan potret yang cukup kerap mewarnai pemberitaan media massa. Kasus seperti busung lapar, gizi buruk, TBC, diare, DBD, penularan penyakit HIV, keracunan, dan pencemaran, adalah beberapa persoalan warga Sumsel, yang tentunya harus segera diatasi oleh pemerintah, baik penanganan, penanggulangan, maupun pencegahannya.

Pemerintah baik di Propinsi, Kabupaten, dan Kota, telah menjadikan persoalan kesehatan sebagai salah satu program prioritas utama. Berbagai upaya telah dilakukan, meski hasilnya belumlah begitu signifikan dirasakan oleh masyarakat, khususnya mereka yang berada di daerah pelosok pedesaan.

Dalam konteks itulah, optimalisasi pembangunan masyarakat yang sehat, melalui gerakan desa siaga diharapkan akan menjadi salah satu jalan teratasinya berbagai persoalan kesehatan di masyarakat. Urgensi gerakan ini adalah sebuah upaya kolektif (pemerintah bersama masyarakat), untuk menciptakan masyarakat yang sadar dan tanggap akan berbagai resiko bencana kesehatan dan lingkungan sekitar.




Rabu, 16 Juli 2008

Dikotomi Sunni-Syi'ah Tidak Relevan Lagi

Oleh : jalaludin Rachmat


TANYA: Ada yang bilang bahwa Syi'ah di Indonesia itu sebenarnya bukan mazhab baru, tetapi sudah lama. Hanya saja mungkin ia tidak tersebar luas sebagaimana mazhab Sunni. Bagaimana Kang Jalal melihat perkembangan Syi'ah di negeri ini?

JAWAB: Ada beberapa teori tentang kedatangan Syi'ah di Indonesia. Teori pertama merujuk pada masa penyebaran Islam di Indonesia. Jadi, menurut teori ini, dahulu orang-orang Syi'ah yang dikejar-kejar oleh penguasa Abbasiyah lari dari Timur Tengah sebelah utara, yang sekarang mungkin daerah Irak, ke sebelah selatan --dibawah pimpinan seorang yang bernama Ahmad Muhajir-- sampai ke Yaman. Mereka menghentikan pelarian di puncak-puncak bukit yang terjal. Kisah ini dimuat dalam beberapa kitab Syi'ah. Alkisah, pemimpinnya, Ahmad Muhajir, waktu itu mematahkan pedangnya dan kemudian mengatakan, "Wahai saat ini kita ganti perjuangan kita dengan pena É"

Kemudian mereka semua secara lahir menganut mazhab Syafi'i. Mereka bertaqiyyah sebagai pengikut mazhab Syafi'i di daerah Yaman, Hadramaut. Sehingga di dalam kamus Munjid edisi lama, pada kata 'Hadramaut' ditulis: sukkanuha syi'iyyuna syafi'iyyuna; penduduknya orang-orang Syi'i yang bermazhab Syafi'i. Saya kira Munjid itu merekam mereka. Dari Hadramaut inilah menyebar para penyebar Islam yang pertama, khususnya kaum 'Alawiy, orang-orang keturunan Sayyid, atau yang mengklaim sebagai keturunan Sayyid. Mereka datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam. Tetapi ketika mereka datang ke Indonesia, di luar, mereka Syafi'i, di dalam, mereka Syi'i.

Belakangan ada bukti-bukti lain yang memperkuat teori ini. Misalnya, pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa NU secara kultural adalah Syi'ah. Hal itu karena tradisi Syafi'i di Indonesia --berbeda dengan tradisi Syafi'i di negeri-negeri lain-- sangat kental diwarnai tradisi-tradisi Syi'ah. Ada beberapa shalawat khas Syi'ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi'ah. Tradisi itu lahir di sini dalam bentuk mazhab Syafi'i. Jadi di luarnya Syafi'i di dalamnya Syi'i.

Masih ada juga bukti-bukti ritus khas Syi'ah --bukan khas Syafi'i-- yang populer di Indonesia. Salah satunya ialah tahlilan hari ke satu atau keempatpuluh (setelah kematian seseorang) dan juga haul. Itu tradisi Syi'ah yang tidak dikenal pada mazhab Syafi'i di Mesir. Lalu, di kalangan NU setiap malam Jum'at sering dibacakan shalawat diba'. Pada shalawat itu disebutkan seluruh Imam Syi'ah yang dua belas. Dan itu mereka lakukan setiap malam Jum'at, seperti pembaruan bai'at, kepatuhan pada dua belas Imam.

Untuk memperkuat itu, ada juga kebiasaan orang-orang Indonesia yang menganut mazhab Syafi'i untuk menghormati --kadang-kadang secara berlebihan-- keturunan Nabi yang mereka artikan sebagai Ahlul Bait. Saya sebut secara berlebihan karena menurut orang-orang Syi'ah, Ahlul Bait itu hanya terbatas kepada dua belas Imam yang ma'shum. Jadi, tidak semua keturunan Nabi adalah termasuk Ahlul Bait. Mereka juga percaya bahwa semua Ahlul Bait itu pasti masuk surga, dan mereka tak berdosa. Kepercayaan itu merata, khususnya pada kalangan Muslim yang awam.

Kemudian di Surabaya ada seorang peneliti (kalau tidak salah namanya Agus Sunyoto) dari sebuah lembaga penyiaran Islam (nama lembaganya saya lupa; dipimpin oleh Dr. Saleh Jufri), yang pernah melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur. Ia menemukan bahwa kuburan-kuburan itu adalah kuburan-kuburan orang Syi'ah. Ia punya dugaan keras bahwa Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia itu Islam Syi'ah. Kemudian, Ali Hsymi juga pernah menulis buku tentang Syi'ah di Indonesia dan ia punya teori bahwa Isalm yang pertama datang ke Indonesia ini adalah Islam Syi'ah. Menurut Agus Sunyoto, sebagian besar dari wali yang sembilan itu adalah Syi'ah, kecuali satu (kalau tidak salah Sunan Kalijaga atau entah siapa, saya tidak ingat betul; itulah yang suni). Itu dari segi bukti-bukti sejarah.

Teori kedua, Islam yang datang ke Indonesia itu Islam Sunni. Tetapi kemudian Syi'ah masuk terutama melalui aliran-aliran tarekat. Soalnya, dalam tarekat, Syi'ah dan Sunni bertemu sudah sejak lama. Ambillah contoh tarekat Qadriyyah-Naqsabandiyyah. Silsilahnya bersambung kepada imam-imam Syi'ah. Sisilahnya begini: dari Allah, Malaikat Jibril, Rasulullah, Ali, Husain, Ali bin Husain, terus kepada Imam Syi'ah sampai Imam Ali Ridha. Dari situ barulah keluar kepada silsilah yang lain. Tetapi tujuh atau delapan yang awal itu adalah para imam Syi'ah.

Tampaknya, menurut teori kedua ini, Islam yang datang ke Indonesia ialah Islam Sunni. Tetapi, karena Islam yang pertama datang itu Islam yang bersifat mistikal, maka pengaruh-pengaruh Syi'ah masuk lewat Islam yang mistikal itu. Ritus-ritus yang disebutkan tadi tidak menunjukkan bahwa Syi'ahlah yang pertama datang ke Indonesia. Itu hanya sekedar menunjukkan adanya pengaruh Syi'ah yang masuk ke dalam pemikiran Ahlussunnah lewat Syafi'i. Ada juga yang punya teori Islam itu dulu pernah disebarkan ke Indonesia lewat orang-orang Persia. Ada yang menyebutkan mereka juga pernah tinggal di Gujarat, di India Barat yang kebanyakan adalah Syi'ah.

Teori ketiga, Syi'ah itu baru datang setelah peristiwa Revolusi Islam Iran (RII), dimulai antara lain dengan tulisan-tulisan Ali Syariati dan disusul dengan tulisan-tulisan pemikir Islam Iran lain. Sebetulnya, banyak orang yang terpengaruh Syi'ah hanya kerena peristiwa RII. Belakangan, kadang-kadang orang mendefinisikan Syi'ah sebagai siapa saja yang bersimpati terhadap RII. Misalnya, Mas Amien Rais, pernah menerima gelar Syi'ah juga. Bahkan sebuah buku kecil pernah ditulis tentang ciri ke-Syi'ah-an Amien Rais. Saya kira sebabnya sederhana saja: karena mas Amien Rais memang sering memuji RII. Boleh jadi ada juga orang yang menyebut mas Dawam Rahardjo itu Syi'ah, karena ia sangat apresiatif terhadap Iran, sampai seringkali memuji-muji ulama Iran.

TANYA: Sementara ini ada dugaan bahwa di antara empat mazhab fikih (Sunni), tampaknya yang paling dekat dengan Syi'ah adalah mazhab Syafi'i. Misalnya, Imam Syafi'i sendiri pernah mendapat tuduhan dari ulama-ulama lain bahwa dirinya itu Syi'ah. Bagaimana pendapat Kang Jalal?

JAWAB: Salah satu dugaan yang mungkin bisa kita pahami sebagai argumentasi untuk menolak Syi'ah yang berbaju Syafi'i ialah kenyataan bahwa Imam Syafi'i itu sangat simpatik terhadap Syi'ah. Banyak syairnya tentang mazhab Ahlul Bait. Dalam syair-syair itu tampak jelas simpati Imam Syafi'i kepada Sayyidina Ali. Misalnya, "Keluarga Rasulullah wasilahku", atau "Aku mengendarai perahu Ahlul Bait", atau ada dikatakan "Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syi'ah, biarlah seluruh jin dan manusia tahu bahwa aku Syi'ah." Dan masih banyak lagi

Jadi argumentasinya bukan bahwa Islam yang datang ke Indonesia itu Syi'ah yang berbaju Syafi'i, tetapi memang mazhab Syafi'i. Sebab Imam Syafi'i memang sangat simpatik terhadap Syi'ah. Menurut riwayat, Imam Syafi'i itu pernah diseret dari Hijaz ke Syria dalam belenggu besi dan dihadapkan kepada Harun al Rasyid. Satu demi satu kawannya 'dipotong' dan hanya Imam Syafi'i yang selamat. Konon, Imam Syafi'i itu diseret karena simpatinya terhadap Syi'ah.

Sebagian malah menduga bahwa Imam Syafi'i sebetulnya bukan hanya simpati, tetapi juga termasuk orang yang berpaham Syi'ah. Jalaluddin al Suyuti, yang menulis tafsir Al Dur al Mantsur fi al Tafsir bi al Ma'tsur, juga dicurigai sebagai Syi'ah hanya karena banyak meriwayatkan tentang keutamaan keluarga Nabi. Hal seperti itu tidak baru pada Syafi'i. Banyak ahli hadits yang juga dituduh sebagi Syi'ah hanya karena banyak meriwayatkan tentang keutamaan keluarga Nabi. Al Turmudi, misalnya, dikeroyok orang, malah tubuhnya diinjak-injak sampai meninggal dalam perjalanan, hanya karena meriwayatkan keutamaan sayyidina Ali. Al Turmudzi itu perawi hadis di kalangan Ahlu Sunnah. Ada seorang perawi hadis, ulama besar, namanya Sulaiman al-A'mas. Ia termasuk salah seorang rijal dalam Shahih Bukhari. Al A'mas juga dituduh sebagai Syi'ah karena meriwayatkan tentang sayyidina Ali. Ketika dipanggil Al Mansur, ia hampir dihukum mati.

Imam Syafi'i boleh jadi bukan Syi'ah. Ia seorang yang dengan pemikiran ilmiahnya harus meriwayatkan hadis-hadis tentang Ali. Dari Imam Syafi'i lah misalnya keluar ucapan, "Ajaib benar hadis-hadis tentang Ali. Musuh-musuhnya tidak ingin meriwayatkannya, karena kebenciannya. Para pengikutnya juga tidak ingin melaporkannya, karena ketakutan mereka. Walaupun begitu, hadis-hadis tentang keutamaan Ali memenuhi di antara dua jilid (maksudnya hadis-hadis itu bisa dikumpulkan menjadi satu buku yang tebal)."

TANYA: Dari penjelasan Kang Jalal tadi, tampaknya definisi atau identifikasi tentang Syi'ah di Indonesia itu masih kabur. Menurut Kang Jalal sendiri bagaimana?

JAWAB: Memang sulit kita mengidentifikasikan Syi'ah di Indonesia ini. Dr. Farid Alatas (keponakan Prof. Dr. Naquib Alatas) pernah melakukan penelitian tentang Syi'ah di Indonesia. Ia mengalami kesulitan untuk mendefinisikan Syi'ah itu. Jadi kalau saya 'misalnya' ingin meneliti Syi'ah di Indonesia, saya harus mengenal populasinya. Siapa yang akan saya wawancarai itu. Tentu haruslah orang-orang Syi'ah di Indonesia. Nah, itu sulit definisinya. Karena itu, juga sulit untuk menghitung berapa jumlahnya di Indonesia.

Di sini saya ingin sebutkan beberapa definisi tentang Syi'ah di Indonesia. Pertama, Syi'ah itu adalah orang-orang yang meyakini bahwa Sayyidina Ali adalah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Syi'ah seperti ini banyak. Boleh jadi masuk ke dalamnya Syi'ah Zaidiyyah yang memang punya akar di Indonesia. Ada juga beberapa orang di antara 'Alawiy yang merupakan pengikut Syi'ah Zaidiyyah. Markasnya di Yaman. Mereka tidak menjalankan ritus-ritus Syi'ah, tetapi akidahnya Syi'ah.

Kedua, orang Syi'ah adalah orang yang memegang akidah dan juga menjalankan ritus-ritus Syi'ah. Fiqihnya juga fikih Syi'ah. Saya tidak enak untuk menyebutkan contohnya di sini.

Ada orang yang menyebut Ustad Muhammad Bagir, sebagai Syi'ah karena telah menerjemahkan rujukan-rujukan yang membela Syi'ah. Ia juga membela Syi'ah apabila Syi'ah diserang. Tetapi, orang yang datang ke rumahnya akan tahu bahwa ia seorang Sunni, betul-betul Sunni. Karena ritus-ritusnya, ibadah-ibadahnya, semua serba Sunni. Pernah seorang ulama Syi'ah kecewa melihat Ustad Bagir karena tidak se-Syi'ah seperti yang ia duga. Itu, lagi-lagi, karena masalah definisi.

Jadi, buat orang seperti ulama itu, Pak Bagir bukan Syi'ah. Tetapi buat yang lain, yang menggunakan definisi yang lain, Pak Bagir itu Syi'ah. Mungkin juga kalau ada orang yang mengikuti saya dalam kegiatan ibadah saya, misalnya, bermalam satu hari bersama saya, dan menyaksikan saya salat di masjid Sunni, saya beribadah secara Sunni, maka mereka akan mengambil kesimpulan bahwa saya bukan Syi'ah.

Akan tetapi, lewat definisi yang lain, yakni definisi ketiga, Syi'ah itu adalah orang-orang yang terpengaruh oleh pemikiran Syi'ah, baik dalam bidang akidah, filsafat, atau tasawuf dan menggunakan buku-buku Syi'ah sebagai rujukan. Atau juga, mereka yang dikenal membela ajaran-ajaran Syi'ah disebut Syi'ah. Dengan definisi itu, mungkin saya termasuk.

Kalau definisi-definisi itu kita persempit saja pada orang-orang yang, misalnya, akidahnya sudah Syi'ah dan ritus-ritusnya sudah mereka jalankan, kitapun mengalami kesulitan. Sebab, masalahnya bukan terletak pada apakah ia menjalankan ritus-ritus Syi'ah? Atau, apakah ia menjalankan fikih Syi'ah atau tidak? Sebetulnya bukan masalah "Ya" atau "Tidak", tetapi masalah jumlah, masalah proporsi. Ada orang yang sudah menjalankan fikih Syi'ah itu 10% saja. Misalnya, ia hanya ikut ritus-ritus Syi'ah pada acara-acara muharraman saja. Kemudian pada doa-doa saja. Ada beberapa ulama di Indonesia sekarang ini yang rajin membacakan doa-doa Syi'ah. Bahkan, ada beberapa pengajian ibu-ibu di Jakarta yang Sunni betul --atau barangkali mereka tidak tahu apakah mereka Sunni atau Syi'ah-- yang sering melazimkan doa-doa Syi'ah.

Jadi, ketika kita berbicara bahwa yang disebut Syi'ah ialah mereka yang ritus-ritusnya adalah ritus Syi'ah, maka kita akan mengalami kesulitan karena proporsi menjalankan ritus Syi'ah itu bermacam-macam. Ada yang 50%, ada juga yang sudah 70%, dan sebagainya. Kesulitan kita mengidentifikasikan Syi'ah bukan saja karena orang-orang Syi'ah 'katanya' selalu taqiyyah, dan tidak mau menyatakan dirinya Syi'ah, tetapi juga karena proses sosialisasi nilai-nilai Syi'ah itu yang bertahap-tahap, tidak sama, sehingga kita sulit mendefinisikan secara tepat siapa orang-orang Syi'ah itu.

TANYA: Tetapi, lepas dari definisi Syi'ah yang agak ketat, bagaimana sebenarnya perkembangan Syi'ah di Indonesia secara umum?

JAWAB: Di sini saya ingin membagi babakan penyebaran Syi'ah di Indonesia dalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang sebelum peristiwa RII. Saya punya bukti kuat bahwa sebelum Revolusi Islam Iran (RII) Syi'ah sudah ada di Indonesia. Baik Syi'ah Imamiyah, Zaidiyah maupun Isma'iliyah. Tetapi waktu itu Syi'ah sangat eksklusif. Mereka tidak punya semangat misionaris untuk menyebarkan ajarannya kepada orang lain. Mereka menyimpan itu sebagai keyakinnya sendiri. Di luar itu, mereka menjadi pengikut Ahlu Sunnah, berakomodasi dengan lingkungan. Boleh jadi di antara mereka adalah ulama-ulama besar yang dikenal dengan ulama Sunni.

Mereka menyimpan keyakinan itu hanya untuk diri mereka sendiri dan mungkin untuk keluarga yang sangat terbatas. Kita menduga mereka tidak hadir di tengah-tengah kita. Kita menduga bahwa tidak ada Syi'ah sebelum RII. Paling tidak, saya tidak menduga bahwa sebelum RII itu ada Syi'ah. Ada seorang al-Muhdor, salah satu famili arab yang terkenal. Al-Muhdor tampaknya adalah keluarga yang memelihara Syi'ah itu khusus untuk keluarga mereka. Mungkin secara sedikit-sedikit mereka menyebarkan ajarannya lewat orang-orang terdekat.

Setelah RII, masuklah Syi'ah gelombang kedua. Gelombang kedua ini ditandai dengan sifatnya yang intelektual. Orang-orang yang simpatik terhadap Syi'ah ini kebanyakan berasal dari perguruan tinggi. Kebanyakan di antara mereka juga tertarik kepada Syi'ah sebagai alternatif terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang ada. Waktu itu, ketika banyak orang tertarik kepada Teori Kritis, tertarik kepada kelompok Neo Marxian, sebagian orang Islam menemukan hal yang mirip dengan itu pada pemikiran-pemikiran Syi'ah, seperti pemikiran Ali Syariati. Konsep-konsep 'kiri', seperti orang-orang tertindas, atau struktur yang korup, memperoleh padanannya dalam Islam pada istilah-istilah mustadh'afin, pada misi para nabi untuk menentang para tiran. Dan yang dengan jernih menyampaikan persoalan itu adalah para pemikir Syi'ah.

Karena itu, banyaklah orang yang tertarik kepada Ali Syariati. Orang cerita tentang mazhab Qum di samping mazhab Frankfurt, untuk kritik-kritik sosial. Tetapi kemudian, dari Ali Syariati mereka masuk pada pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam, misalnya, pemikiran Muthahhari, Thabatabai, dan belakangan mulai populer juga pemikiran Mulla Sadra. Saya sepakat dengan Martin van Bruinessen yang menulis bahwa salah satu sumbangan Syi'ah gelombang kedua ini adalah kontribusinya pada kekayaan wacana intelektual Islam di Indonesia. Salah satu yang mereka sumbangkan adalah pemikiran filosofis pasca Ibnu Rusyd. Dulu, kalau belajar filsafat Islam, orang-orang tersebut mengakhiri pelajaran itu pada Ibnu Rusyd. Setelah kedatangan Syi'ah, kita diperkenalkan pada tradisi filsafat yang terus berkembang. Kalau kata Corbin, filsafat Islam itu justru dimulai setelah kematian Ibnu Rusyd dan mencapai puncaknya pada Mulla Sadra.

Jadi, orang-orang yang pertama kali tertarik kepada Syi'ah adalah kelompok-kelompok yang terdidik, yang intelektual. Mereka lebih tertarik kepada pemikiran Syiah ketimbang pada ritus-ritus atau fiqihnya. Kalau kita buat statistik, dari segi struktur sosial, para penganut Syi'ah itu berasal dari kelompok menengah ke atas, kebanyakan mahasiswa dan orang-orang perguruan tinggi. Dari segi mobilitas, banyak di antara mereka itu yang punya akses kepada hubungan Islam internasional. Dari segi ideologis, mereka cenderung radikal. Mereka lebih mirip dengan --atau padanan dari-- kelompok Neo-Marxian, Teori Kritis atau kelompok 'kiri' di dunia Islam atau di kalangan Islam.

Kemudian, belakangan, Syi'ah mulai menyebar di Indonesia dan mendapat reaksi keras, terutama dari sementara kalangan Sunni. Ketika berhadapan dengan tuduhan-tuduhan Syi'ah, Syi'ah gelombang kedua ini berusaha menangkisnya. Karena serangan-serangan itu banyak ditujukan kepada akidah-akidah Syi'ah yang doktriner, bukan pada pemikiran yang intelektual, misalnya masalah imamah, maka mulailah Syi'ah gelombang kedua itu pun bergerak ke luar dari hal-hal yang intelektual dan memasukkan konsep-konsep imamah yang dijadikan serangan oleh orang-orang Sunni.

Ternyata kemudian, karena pertimbangan politik, dan karena pengaruh Saudi Arabia, buku-buku yang ditulis untuk menyerang Syi'ah menjadi lebih banyak. Isinya sekarang lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat fiqhiyyah. Jadi serangan-serangan beralih terhadap fikih Syi'ah, misalnya tentang mut'ah, sujud di atas tanah, atau yang lain. Serangan-serangan ini mendorong Syi'ah gelombang kedua ini untuk bergerak lebih jauh lagi dan lebih mempelajari fikih Syi'ah. Apa betul yang mereka tuduhkan itu? Menurut saya, ketertarikan kepada ritus-ritus Syi'ah, kepada fikih Syi'ah, itu lebih banyak terjadi karena 'provokasi' yang dilakukan oleh sementara ulama Ahlu Sunnah. Mereka akhirnya menemukan, ternyata fikih Syi'ah itu punya dasar dan argumen juga.

Pada akhir gelombang kedua ini, pemikiran Syi'ah di Indonesia sudah bergerak dari pemikiran yang murni intelektual ke arah yang lebih mendalam secara filosofis, dan pada akhirnya juga memasuki bidang akidah dan fikih Syi'ah. Nah, pada gelombang kedua inilah terjadi dialog-dialog yang tak jarang menimbulkan friksi yang tajam di berbagai tempat antara kalangan Syi'ah dan Sunni. Yang paling keras, saya kira, terjadi di Surabaya, ketika kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Syi'ah berhadapan langsung dengan kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Ahlu Sunnah. Saya kira, itu menandai perguliran pada gelombang berikutnya, yaitu Syi'ah gelombang ketiga.

Setelah Syi'ah menyebar di Indonesia, terutama dari segi pemikiran, pada akhir gelombang kedua itu kita melihat ada kebutuhan akan fikih Syi'ah. Orang ingin belajar fikih Syi'ah. Buku-buku yang masuk ke sini sangat sedikit yang berkaitan dengan fikih. Umumnya buku-buku yang bersifat pemikiran, sementara buku-buku fikih jarang. Padahal kebutuhan akan fikih itu mulai muncul, terutama karena serangan-serangan sementara kalangan Sunni terhadap fikih Syi'ah.

Ketika kebutuhan itu muncul, datanglah orang-orang Indonesia yang pernah dididik di Qum. Ada di antara mereka yang dididik sebelum RII. Fenomena itu juga membuktikan bawa Syi'ah sudah ada di Indonesia sebelum RII sekalipun. Buktinya orang Indonesia yang belajar di Iran sebelum RII. Kalau saya harus menyebut nama, contohnya adalah Ustad Umar Shahab. Ia belajar di Iran sebelum RII sampai sesudahnya. Tetapi Ustad Umar ini dulu masih masuk dalam Syi'ah gelombang pertama. Jadi, walaupun ia dididik di Iran, orientasinya intelektual dan tidak fiqhiyyah.

Gelombang ketiga ini ditandai dengan kehadiran alumnus-alumnus Qum yang belakangan (setelah Ustad Umar). Orientasi mereka fikih. Ketika mereka datang ke Indonesia, mereka memenuhi kebutuhan akan fikih ini. Mulailah mereka memberikan pengajian-pengajian Syi'ah di berbagai tempat. Syi'ah gelombang ketiga ini juga ditandai dengan semangat misioner yang sangat tinggi. Mereka pulang dengan romantisme lulusan-lulusan muda. Bukankah biasanya romantisme lulusan muda itu merasa terpanggil untuk menyelamatkan dunia, yang salah satu caranya ialah membawa orang kepada fikih Syi'ah. Maka mulailah mereka mengajarkan fikih Syi'ah ini di berbagai pengajian.

Tentu saja, boleh jadi karena pendekatan yang sangat fiqhiyyah itu, atau memang karena latar belakang pendidikan mereka, dimensi intelektual pada kelompok ini sangat kurang. Dan akhirnya, mereka merekrut dan membina Syi'ah yang juga dari kalangan yang tidak begitu terpelajar. Ada juga di antara mereka yang membina kelompok Syi'ah gelombang kedua. Tetapi akhirnya Syi'ah gelombang kedua ini kecewa, mungkin karena orientasi yang berbeda. Belakangan Syi'ah gelombang ketiga ini menganggap Syi'ah gelombang kedua itu sebagai bukan Syi'ah yang sebenarnya. Jadi. Kalau saya dimasukkan ke dalam Syi'ah gelombang kedua, maka mereka menganggap saya bukan Syi'ah. Di dalam wacana internal Syi'ah sendiri, sekarang ini terjadi serangan yang cukup kuat terhadap Syi'ah gelombang kedua itu. Boleh jadi karena mereka ingin menghadirkan dirinya sebagai pemimpin Syi'ah di Indonesia. Boleh jadi juga karena mereka meyakini asumsi-asumsi mereka bahwa orang seperti saya ini bukan Syi'ah, dengan definisi yang berbeda itu.

TANYA: Untuk waktu yang akan datang, kira-kira Syi'ah di Indonesia itu bagaimana?

JAWAB: Beberapa waktu yang lalu, saya diundang ke IAIN Ujung Pandang. Fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang mengadakan Seminar Nasional "Rekonsiliasi Sunnah-Syi'ah." Kira-kira enam bulan sebelumnya, saya juga diundang ke Universitas Hasanuddin Ujung Pandang untuk dialog Sunnah-Syi'ah. Penyelenggaranya adalah mahasiswa yang menyebut dirinya MPM (Mahasiswa Pecinta Mushalla). Dialog ukhuwah Islamiyah itu ditandai dengan kekerasan. Saya sebagai pembawa makalah dibantai, dicaci-maki. Saya sendiri tidak membalas. Menurut saya, ini sebetulnya gejala dari massa Syi'ah gelombang kedua, ketika terjadi konflik Syi'ah-Sunni yang cukup berat. Ini mirip sekali ketika saya berdiskusi dengan Pak Rasjidi di Pesantren Darunnajah. Biasanya saya tidak menanggapi diskusi yang seperti itu. Jadi, saya tidak menjawab. Suasananya sangat tegang.

Tetapi, awal Oktober 1995, ketika saya kembali ke sana lagi, seminar semacam itu dikunjungi oleh peserta yang jauh lebih banyak. Mungkin lebih dari 1000 orang. Suasananya sangat ilmiah. Tidak ada saling membantai, saling menyerang. Tetapi intinya, bagaimana setiap kelompok bisa belajar satu sama lain. Seakan akan ada pesan dari situ: Biarlah Sunni tetap Sunni. Syi'ah tetap Syi'ah. Hendaknya di antara kedua kelompok itu ada saling belajar satu sama lain. Saya sendiri membawakan makalah tentang apa yang bisa dipelajari dari Syi'ah oleh Sunni.

Saya menunjukkan bagaimana orang-orang Syi'ah sudah lebih dahulu belajar dari Sunni. Saya sebut antara lain Sayyid Ali Khameini, yang menjadi Imam Syi'ah sekarang ini, adalah penerjemah Kitab Fi Zhilal al-Quran ke dalam bahwa Persia. Kitab Ihya' 'Ulum al Din, tulisan Al-Ghazali, diberi syarh oleh ulama-ulama Syi'ah dan dipelajari di pesantren-pesantren mereka. Imam Khomeini menyebut Ibn Arabi sebagai salah seorang gurunya. Padahal Ibn Arabi adalah Syeikh Akbar kalangan Sunni.

Contoh lain, kalau kita pergi ke Qum, di situ ada pasar kitab. Walaupun tidak menghitung dengan cermat, saya bisa melihat bahwa 80% dari kitab yang ada di situ adalah kitab-kitab Ahlu Sunnah. Di kalangan Syi'ah tidak ada ketakutan untuk membaca kitab-kitab Sunni. Mereka sudah belajar tentang Sunni. Adalah giliran kita sekarang untuk belajar dari mereka, sehingga kehadiran kedua kelompok ini memperkaya wacana perbincangan kita.

Dari situ saya menyaksikan ada suatu perkembangan baru, khususnya untuk penyebaran Syi'ah. Kalau peristiwa di IAIN itu bisa dijadikan sebagai sebuah tonggak dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia., maka saya berani mengatakan bahwa eksistensi Syi'ah sudah diakui. Kecenderungan untuk hidup secara damai antara Sunni-Syi'ah sudah tumbuh. Ini sebuah kecenderungan baru. Karena sebelumnya, pikirannya ialah bagaimana saling meniadakan, saling menafikan satu sama lain. Sekarang muncul upaya untuk saling memahami, saling menghormati dan saling belajar. Sebagian orang mungkin akan beranggapan itu pertanda bahwa sudah banyak sekali yang menjadi Syi'ah.

Dari indikator-indikator itu saya berfikir, mungkin pertanyaannya bukan apakah Syi'ah akan berkembang pesat di Indonesia, tetapi --lebih persis lagi-- apakah pemikiran Syi'ah akan mendapat tempat yang lebih luas di Indonesia. Dan untuk itu, jawabannya "ya". Karena, paling tidak, sekarang sudah ada pengakuan akan eksistensi mereka. Nanti penerusnya akan muncul. Bahkan bukan label Sunni dan Syi'ah saja. Sunni dan Syi'ah itu mungkin sudah tidak relevan lagi. Karena yang Sunni sudah sangat terpengaruh Syi'ah, yang Syi'ah juga sudah sangat terpengaruh Sunni.

Label Sunni dan Syi'ah itu mungkin hanya diletakkan pada tataran abstrak saja, pada tataran konsepsual saja. Pada kehidupan sehari-hari, mungkin pengelompokan menjadi kelompok Syi'ah dan kelompok Sunni tidak terjadi. Bahkan menurut saya, tidak bakal terjadi satu ormas Syi'ah. Atau saya bisa menduga, di masa depan, orang-orang Syi'ah akan terdapat pada setiap organisasi Sunni. Pada organisasi Sunni akan ada unsur Syi'ah, tanpa rasa risih. Mereka diterima hadir sebagai bagian dari umat Islam, sebagaimana juga sekarang telah ada saling melintas batas antara orang NU dan Muhamadiyah.

TANYA: Sementara ini, komentar pemerintah terhadap gerakan Syi'ah di Indonesia bagaimana?

JAWAB: Saya melihat ada toleransi dari pemerintah terhadap orang-orang Syi'ah. Sebab mereka melihat bahwa Syi'ah di Indonesia ini hanyalah Syi'ah intelektual. Jadi, mereka tidak merasa harus khawatir terhadap Syi'ah sebagai sebuah gerakan revolusioner.

TANYA: Mengenai fatwa dari MUI?

JAWAB: Memang ada fatwa dari MUI untuk berhati-hati terhadap Syi'ah. Tetapi untuk melarang Syi'ah tidak ada. Karena pada waktu MUI mengeluarkan fatwa itu (melarang) beberapa tokoh cendekiawan Islam di MUI keberatan. Sehingga akhirnya kata-katanya diperlunak: tidak lagi melarang, tetapi pokoknya harus mewaspadai aliran Syi'ah. Sekiranya nanti ada kecurigaan dari pihak pemerintah terhadap Syi'ah, saya menduga kecurigaan itu hanyalah akibat dari lobbying yang dilakukan oleh orang-orang yang anti Syi'ah. Jadi orang-orang yang anti Syi'ah itu berusaha memberikan gambaran tertentu kepada pemerintah, sehingga mereka kemudian mencurigai Syi'ah.

Sebagi contoh, beberapa waktu lalu di Semarang ada diskusi antara Depag dan ormas-ormas Islam. Setelah diskusi mereka mengajukan resolusi untuk melarang Syi'ah, khususnya di Jawa Tengah. Itu terjadi setelah ada peristiwa seorang ustad yang katanya mut'ah dengan beberapa orang muridnya di Sragen. Ustad itu, menurut saya, termasuk Syi'ah gelombang ketiga, yang lahir setelah hadirnya Syi'ah fiqhiyyah yang dibawa oleh sebagian lulusan Qum itu. Tetapi mereka sampai sekarang tetap merupakan minoritas.

Jadi, mayoritas Syi'ah yang ada di Indonesia sekarang adalah Syi'ah gelombang kedua. Sementara yang gelombang ketiga itu minoritas. Kalau saya berbicara dari segi pemerintah, Syi'ah gelombang kedua itu lebih mudah diterima oleh pihak pemerintah daripada yang ketiga. Tetapi, saya pikir, Syi'ah gelombang ketiga itupun hanya entry point saja. Pada waktu yang lama mereka akan lebih toleran. Aliran apapun dalam Islam, kalau orientasinya fikih, itu akan cenderung mendorong konflik. Konflik Muhammadiyah dan NU itu sebenarnya dari segi fikih. Jadi aliran apapun, kalau dasarnya fikih, akan melahirkan konflik.

TANYA: Mungkin Syi'ah gelombang ketiga yang sangat fiqhiyyah itu, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang-orang Sunni selama ini. Sebab, walaupun menurut Kang Jalal mereka itu minoritas, tetapi gerakan-gerakannya cukup eksklusif dan sekaligus agresif sehingga kelihatannya besar. Ini bagaimana menurut Kang Jalal?

JAWAB: Ciri setiap orientasi Islam yang bersifat fiqhiyyah adalah mendorong konflik dan cenderung eksklusif. Sebab fikih kemudian menjadi identitas golongan. Jadi, kalau fikih Anda sama dengan fikih saya, Anda satu golongan dengan saya. Kalau fikih Anda tidak sama, Anda di luar golongan saya. Fikih menjadi stempel kelompok. Menurut saya, hal semacam itu bukan terjadi pada Syi'ah saja, tetapi juga terdapat pada kelompok-kelompok harakah Sunni. Ia cenderung eksklusif kalau orientasinya fikih. Sekali lagi, yang eksklusif itu bukan hanya kelompok Syi'ah gelombang ketiga tadi, atau yang dibina oleh mereka, juga kelompok-kelompok harakah yang sekarang berada di universitas-universitas umum, misalnya di UI. Mereka juga cenderung eksklusif. Lalu mengapa mereka kelihatan lebih banyak, karena mereka cenderung konfrontatif. Di sana-sini bikin masalah. Kelihatannya memang banyak, tetapi secara statistik, jumlah mereka ini boleh dibilang negligible, bisa diabaikan. Saya pikir mereka tidak akan mewarnai Syi'ah di masa depan. Pada akhirnya mereka hanya akan termasuk kontributor, memberi nuansa fikih. Karena saya pikir itu pun diperlukan.

TANYA: Menyinggung buku-buku Syi'ah di Indonesia. Kita tahu bahwa banyak buku yang diterbitkan untuk meng-counter pemikiran Syi'ah. Sebaliknya, sekarang banyak juga buku yang apresiatif terhadap Syi'ah.

JAWAB: Kalau dari segi buku, saya kira yang sangat populer tentang Syi'ah adalah buku Dialog Sunnah-Syi'ah. Sesudah itu kemudian bermunculan buku-buku yang menyerang Syi'ah. Antara lain yang ditulis oleh Ihsan Ilahi Zahir, al-Tunsawi. Kemudian disusul dengan buku-buku yang ditulis orang Indonesia, antara lain ditulis Pak Rasjidi. Akan tetapi buku-buku itu lebih merupakan kumpulan kutipan dari buku-buku terjemahan. Lalu, pada saat yang sama, orang-orang Syi'ah juga menulis buku-buku. Umumnya, kalau kita menganalisis buku-buku itu, saya tidak menemukan buku Syi'ah yang khusus ditulis untuk menyerang akidah Ahlu Sunnah. Buku Ihsan Ilahi Zahir tidak memperoleh jawaban dari kalangan Syi'ah.

Mestinya ada buku yang membantah buku tersebut, sebagaimana orang Sunni pernah menulis bantahan terhadap Dialog Sunnah-Syi'ah. Orang-orang Syi'ah tidak menulis bantahan terhadap buku-buku yang menyerang mereka. Mereka masih tetap melanjutkan tradisi dialogis, bukan monologis. Misalnya, Penerbit Mizan kemudian menerbitkan buku Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah. Saya membaca buku itu dan mendapat kesan bahwa pengarangnya tetap membawa misi persaudaraan Islam, walaupun di situ ia membela paham-paham Syi'ah.

Kemudian, belakangan mulai ada orang-orang Syi'ah --yang sulit didefinisikan itu-- yang menulis buku. Sebetulnya mereka tidak membela paham Syi'ah, tetapi dianggap membela Syi'ah. Misalnya, Ustad Hussen al Habsyi menulis buku kecil berjudul Rasulullah Tidak Bermuka Masam. Ia mempertahankan bahwa Rasulullah itu ma'shum, dan bahwa salahlah orang yang menuduh bahwa 'abasa wa tawalla itu ditujukan kepada Nabi. Itu keliru katanya, dengan keinginan untuk membela kesucian Nabi dengan argumentasi-argumentasi. Setelah itu muncul lagi buku kecil (kalau tidak salah judulnya Rasulullah Memang Bermuka Masam), yang membantah Ustad Hussein. Sayangnya beliau tidak menjawab lagi, karena meninggal dunia, bukan karena diserang buku itu.

Jadi, dialog terjadi dalam bentuk tulisan polemis. Menurut saya itu gejala yang sehat. Kita bisa melihatnya dengan gembira bahwa sekarang dialog-dialog itu sudah diangkat dari konflik-konflik yang bersifat fisik, ke arah dialog yang bersifat intelektual --lepas dari seberapa besar kualitas intelektualnya.

Contoh lain adalah buku saya Islam Aktual. Menurut saya, buku itu sama sekali tidak mencerminkan pemikiran Syi'ah secara khusus, tetapi lebih merupakan pemikiran yang dipengaruhi Syi'ah. Artinya tema-temanya adalah tema-tema umum yang bisa diterima oleh semua mazhab. Tidak ada fikihnya di situ. Tetapi sebagian orang menganggapnya buku Syi'ah. Ada seorang penulis buku dari Solo yang mengkritik buku saya. Judulnya --kalau tidak salah-- Santri Menjawab Kritik Cendekiawan. Jadi saya di anggap cendekiawan, dan penulis menyebut dirinya santri. Pokoknya ia mengkritik buku itu habis-habisan, walaupun kritiknya itu tidak relevan.

Pada perkembangan berikutnya, ada juga beberapa tulisan tentang Syi'ah yang sangat apresiatif terhadap pemikiran-pemikiran Syi'ah, atau sangat dipengaruhi oleh pemikiran Syi'ah. Tulisan-tulisan Sayyid Hussein Nasr, misalnya, juga memperoleh pembaca yang banyak.

TANYA: Mengenai hubungan antara Syi'ah di Indonesia dengan Syi'ah di pusat, di Iran. Apakah hubungan atau network itu ada.

JAWAB: Dulu tidak ada hubungan sama sekali, sampai dengan gelombang pertama dan kedua, baik secara organisatoris maupun hubungan sosial. Yang saya maksud dengan hubungan sosial itu begini. Dalam Syi'ah ada konsep marja'iyyah. Seorang Syi'i harus mempunyai seorang marja', seorang ulama yang diikuti dalam urusan fikih. Syi'ah-Syi'ah gelombang kedua itu tidak punya marja' tertentu. Pada Syi'ah gelombang ketiga masuklah para penyebar fikih Syi'ah. Sejalan dengan itu masuk juga sistem marja'iyyah. Hubungan Syi'ah dengan marja'-nya itu harus kita lihat sebagai hubungan sosial saja: seorang murid yang mengikuti gurunya, bukan hubungan organisatoris seperti anggota Muhammadiyyah. Jadi sewaktu-waktu ia bisa berganti marja', kalau menurut pertimbangannya bahwa marja' yang lain itu lebih masuk akal.

Di Indonesia, saya kira ada yang mengikuti marja di Iran. Ada juga yang mengikuti marja' di Irak. Ada beberapa Syi'ah yang mengikutinya, dan kerena mereka mempunyai marja', jadi hubungan sosial mereka hanya dengan kelompok-kelompok satu marja'

TANYA: Kang Jalal bisa cerita tentang proses belajar atau nyantri di Qum. Sebab ternyata banyak juga mahasiswa Indonesia yang ke sana. Juga mengenai beasiswanya, apa ada dari pihak Iran, misalnya?

JAWAB: Kalau Anda belajar di pesantren Iran, apakah Anda itu orang asing ataupun orang Iran, Anda akan mendapat santunan dari para ulama. Kalau di Indonesia santri yang bayar ulama, di Iran ulama yang bayar santri. Mereka diberi uang bulanan yang kecil, sekitar 50.000 rial. Cukuplah untuk makan yang sangat sederhana. Kemudian tinggal di pondok-pondok itu tidak bayar. Itulah yang mungkin kita sebut beasiswa. Beasiswa dalam benak kita hanyalah diterima sebagian murid. Kalau ini, seluruh murid yang ada di situ dapat uang bulanan.

Sebenarnya tidak ada prosedur resmi seperti beasiswa dari pemerintah Iran. Kalau saya ditanya apakah ada beasiswa dari pemerintah Iran untuk pelajar Indonesia, saya bisa menyebutkan dengan pasti, "Tidak. Tidak ada sama sekali". Saya dulu pernah ingin belajar di Iran, berharap dapat beasiswa dari pemerintah Iran, atau melalui kedutaannya di sini, tetapi tidak dapat. Saya bayar sendiri. Kemudian di sana, saya sebetulnya melamar ingin belajar teologi, dan sudah disetujui dan diterima oleh Prof. Mehdi Muhaghegh untuk mengambil program doktor di Universitas Teheran. Saya berangkat ke sana dengan biaya sendiri dan tinggal satu tahun. Setelah setahun, saya diberitahu bahwa saya sudah diterima di Universitas. Tetapi sayang, waktu itu saya sudah mengambil keputusan untuk pulang. Jadi saya tidak ambil.

Itulah proses birokrasi Iran. Dan itu menunjukkan betapa sulitnya memperoleh beasiswa dari pemerintah Iran. Lebih mudah memperoleh beasiswa ke Saudi atau ke Mesir ketimbang ke Iran. Hanya saja kalau ada orang yang punya maksud ingin belajar di Iran, itu gampang. Asal ia bisa bayar sendiri ongkos ke Iran. Secara teoretis begitulah, gampang. Namun, secara praktis di sana ia harus mengenal beberapa orang yang akan mengurusnya. Secara teoretis sederhana saja.

TANYA: Ini pertanyaan terakhir. Dalam konteks pembicaraan kita tentang Syi'ah di Indonesia, sebenarnya di mana posisi Yayasan Muthahhari yang Kang Jalal pimpin?

JAWAB: Yayasan Muthahhari tidak didirikan untuk menyebarkan Syi'ah --dan sampai sekarang lembaga ini tidak menyebarkan Syi'ah. Di situ ada SMU. Mereka belajar fikih empat mazhab (Syafi'i, Hambali, Maliki, Hanafi). Mereka tidak mempelajari fikih Syi'ah secara khusus. Dari Muthahhari juga keluar Jurnal al-Hikmah, yang banyak menerjemahkan pikirian-pikiran Syi'ah. Tetapi sekali lagi hanya bersifat pemikiran saja, fikihnya tidak ada. Belakangan al-Hikmah sedikit menampilkan pemikiran Syi'ah. Malah lebih banyak menampilkan pemikiran-pemikiran kalangan orientalis. Sehingga Yayasan Muthahhari, dengan melihat isi al-Hikmah seperti itu, layaklah disebut sebagai "agen zionisme Barat." Jadi mungkin lebih layak Muthahhari ketimbang Paramadina atau Ulumul Qur'an. Jadi itu yang pertama: Muthahhari tidak didirikan untuk menjadi markas Syi'ah.

Lalu, kalau begitu, mengapa diambil nama Muthahhari? Itu karena tiga pertimbangan. Pertama, Muthahhari itu seorang pemikir Syi'ah yang sangat non sektarian, yang sangat terbuka. Ia sangat apresiatif terhadap pemikiran Sunni. Ia tidak pernah menyerang Sunni. Ia lebih banyak belajar dari Sunni. Karena itu kita ambil tokoh Muthahhari sebagai tokoh yang bersikap non sektarian, terbuka terhadap berbagai pemikiran, bukan karena Syi'ahnya.

Kedua, Muthahhari itu adalah orang yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional, tapi setidak-tidaknya cukup well informed tentang khazanah pemikiran Barat. Ia menjembatani dikotomi antara intelektual dan ulama. Kita pilih ia, antara lain karena pertimbangan itu, bukan karena Syi'ah. Karena misi Yayasan Muthahhari yang kedua adalah menjembatani antara intelektual dan ulama. Di Indonesia ini banyak cendekiawan yang menulis tentang Islam, tetapi tidak punya dasar dan tradisi Islam tradisional, sebagaimana juga banyak ulama Islam tradisional yang tidak mempunyai wawasan kemodernan. Muthahhari mencerminkan keduanya.

TANYA: Kalau itu alasannya, mengapa tidak dipilih Cak Nur saja yang lebih lokal? Toh iapun menggabungkan kedua tradisi itu. Ia juga nonsektarian, terbuka kepada berbagai pemikiran. Ia juga mewakili dua tradisi: Islam dan Barat.

JAWAB: Mengapa Cak Nur tidak dipilih? Itu karena ada pertimbangan ketiga, yakni, Muthahhari itu menggabungkan aktivisme dan intelektualisme. Selain seorang intelektual, pemimpin, dan penulis, ia juga aktivis. Seorang aktivis itu adalah seseorang yang punya misi untuk melakukan perubahan sosial dan misi-misi yang sangat konkret. Cak Nur, menurut saya, lebih banyak intelektualismenya ketimbang aktivisnya. Jadi kita ambil Muthahhari.

TANYA: Lalu, dimana posisi Muthahhari dalam penyebaran Syi'ah, atau di kalangan komunitas Syi'ah yang lain?

JAWAB: Dalam penglihatan saya, Muthahhari tidak mempunyai nama yang begitu baik di kalangan Syi'ah, khususnya yang gelombang ketiga. Tetapi ia masih tetap punya banyak massa yang bercorak gelombang kedua itu, yaitu orang-orang Syi'ah tertentu yang lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat intelektual dan tidak bersifat fiqhiyyah. Muthahhari juga masih punya dukungan di kalangan mahasiswa, di kelompok-kelompok terdidik, karena dulu para pendukung Yayasan ini banyak yang berasal dari ITB dan Unpad. Mereka sekarang telah lulus jadi sarjana dan tersebar di berbagai tempat, tanpa membawa nama Syi'ah. Tetapi di kalangan Syi'ah yang belakangan, yang gelombang ketiga itu, Muthahhari tidak begitu oke. Bahkan, ada sekelompok Syi'ah di Jakarta yang mengecam Muthahhari dan mengganggapnya sebagai Syi'ah yang 'murtad,' di luar kelompok mereka.

Di posting dari http://media.isnet.org/islam/Etc/DikotomiSS1.html

Senin, 14 Juli 2008

Rumah Sakit Belum Siap

KEPALA Humas dan Pemasaran Rumah Sakit Muhammad Husein (RSMH) Palembang Eva Minerva mengatakan, pihak RSMH tidak memiliki persiapan khusus jika Jamkesmas diberlakukan.

Pihak RSMH juga tidak berencana menambah jumlah kamar kelas III atau sarana dan prasarana lainnya.Menurut dia, setiap rumah sakit telah memiliki standardisasi masing-masing.

“Yang membedakan Jamkesmas dengan Askeskin hanya mekanisme databasenya, selebihnya tidak ada perbedaan yang berarti.Semua pasien Jamkesmas akan dilayani sesuai ketentuan yang berlaku,” ungkap Eva saat ditemui SINDO di ruang kerjanya kemarin.

Eva mengungkapkan, pihaknya akan tetap melayani warga miskin yang hanya membawa surat keterangan tanda miskin (SKTM), asalkan pihak keluarga memiliki jaminan dari pemerintah daerah terkait.“Selama pemda mampu menjamin warga tersebut, pihak RSMH akan tetap memberikan pelayanan sebagaimana mestinya,” imbuhnya.

Menurut Kepala Instalasi Tata Usaha Rawat Pasien H Rahman, pihaknya masih bingung bila penerapan Jamkesmas diberlakukan.Pasalnya, kepesertaan masih belum jelas. Sampai sejauh ini pihaknya telah dua kali mengirimkan surat permohonan kepada semua pemerintah daerah Sumsel tentang peserta Jamkesmas yang telah terdata di daerah masing-masing, yaitu tercatat pada 8 April 2008 dan 5 Juni 2008.

“Database ini dinilai penting agar pihak RSMH mengetahui pasti keabsahan para peserta Jamkesmas. Dengan begitu, pada prosesnya nanti tidak terjadi kesalahan dalam sistem manajemennya,” ungkap Rahman. Menurut dia, sampai sejauh ini databasepeserta Jamkesmas yang diterima pihak RSMH dari PT Askes hanya baru untuk dua Kabupaten, yaitu Lahat dan Banyuasin.

Sedangkan untuk 13 kabupaten lainnya, pihaknya tidak mengetahui pasti apakah telah terdata di pemda masingmasing atau bahkan telah masuk ke PT Askes sendiri.Tetapi, sampai sejauh ini pihak RSMH belum menerima database tersebut.

“Kami masih menunggu data-data tersebut,karena sesuai prosedur, pihak RSMH hanya menerima peserta Jamkesmas sesuai laporan dari PT Askes,”ungkap Rahman. Rahman menjelaskan,sesuai Surat Keputusan (SK) Direktur RSMH tanggal 1 Juli 2008, saat ini daya tampung untuk pasien kelas III di RSMH sebanyak 451 pasien.

“Jumlah ini belum ditambah extra bed yang ada di ruang emergency jika terjadi lonjakan jumlah pasien,” ungkapnya. Dia mengungkapkan,sebelum 1 September, jika masih ada pasien yang belum memiliki SKTM atau bagi daerah yang terlambat menyerahkan database peserta Jamkesmas, pihak RSMH masih akan tetap memberikan pelayanan sesuai ketetapan, asalkan ada jaminan dari pemda setempat.





Mafia Berkeley Kuasa Ekonomi Kita

Mafia Berkeley adalah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), namun memiliki sistem regenerasi yang mapan. Generasi awalnya adalah Prof. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh. Sadli, JB Soemarlin, Adrianus Mooy, dan masih sangat banyak lagi. Yang sekarang dominan adalah Sri Mulyani, Moh. Ikhsan, Chatib Basri, dan masih banyak lagi. Mereka tersebar pada seluruh departemen dan menduduki jabatan eselon I dan II, sampai kepala biro.

Ciri kelompok itu ialah masuk ke dalam kabinet tanpa peduli siapa presidennya. Mereka mendesakkan diri dengan bantuan kekuatan agresor. Kalau kita ingat, sejak akhir era Orde Lama, Emil Salim sudah menjadi anggota penting dari KOTOE dan Widjojo Nitisastro sudah menjadi sekretaris Perdana Menteri Djuanda. Widjojo akhirnya menjabat ketua Bappenas dan bermarkas di sana.

Setelah itu, presiden berganti beberapa kali. Yang “kecolongan” tidak masuk ke dalam kabinet adalah ketika Gus Dur menjadi presiden. Namun, begitu mereka mengetahui, mereka tidak terima. Mereka mendesak supaya Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional. Seperti kita ketahui, ketuanya adalah Emil Salim dan sekretarisnya Sri Mulyani. Mereka berhasil mempengaruhi atau “memaksa” Gus Dur; mereka diperbolehkan hadir dalam setiap rapat koordinasi bidang ekuin. Tidak puas dengan itu, mereka berhasil membentuk Tim Asistensi pada Menko Ekuin yang terdiri atas dua orang saja, yaitu Widjojo Nitisastro dan Sri Mulyani. Dipaksakan bahwa mereka harus ikut mendampingi Menko Ekuin dan menteri keuangan dalam perundingan Paris Club pada 12 April 2000, walaupun mereka sama sekali di luar struktur dan sama sekali tidak dibutuhkan. Mereka membentuk opini publik bahwa ekonomi akan porak-poranda di bawah kendali tim ekonomi yang ada. Padahal kinerja tim ekonomi di tahun 2000 tidak jelek kalau kita pelajari statistiknya sekarang.

Yang mengejutkan, Presiden Megawati mengangkat Boediono sebagai menteri keuangan dan Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian. Aliran pikir dan sikap Laksamana Sukardi sangat jelas sama dengan Berkeley Mafia.

Presiden SBY sudah mengetahui semuanya dan tetap saja memasukkan tokoh-tokoh Berkeley Mafia seperti Boediono, Sri Mulyani, Purnomo Yusgiantoro, dan Mari Pangestu ke dalam kabinet pemerintahannya.

Sebutan mafia bagi Mafia Berkeley, selain karena mereka adalah sekelompok ekonom yang dirancang untuk mendukung hegemoni Amerika Serikat (AS) dan merusak ekonomi Indonesia, juga mendapatkan dukungan penuh dari lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank untuk selalu mendapatkan kekuasaan di Pemerintahan Indonesia di bidang ekonomi.

Kelompok ini sangat berbahaya karena Mafia Berkeley memang dirancang secara sistematis untuk mengontrol ekonomi Indonesia. Kebijakan ekonomi yang diambil berisi empat strategi utama, yakni: kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi, meliberalisasi keuangan, meliberalisasi industri dan perdangangana serta melakukan privatisasi. Kebijakan yang mereka jalankan tersebut merupakan hasil rumusan dari IMF, Bank Dunia dan USAID.

Kelompok mafia tersebut telah dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1966) sebagai bagian dari strategi Perang Dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia.

Kelompok yang dikenal dengan Mafia Berkeley ini kebanyakan dari generasi pertamanya lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California. Universitas Berkeley sendiri merupakan salah satu universitas terkemuka di Amerika. Para mahasiswanya terkenal progresif dan mayoritas anti Perang Vietnam.

Namun, program untuk Mafia Berkeley dirancang khusus untuk orang Indonesia yang dipersiapkan untuk di kemudian hari menjadi bagian dari hegemoni global Amerika. Disebut mafia, mengambil idea dari organisasi kejahatan terorganisasi di Amerika, karena mereka secara sistematis dan terorganisasi menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.

Selain sebagai bagian dari agen hegemoni global Amerika, Mafia Berkeley sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memonitor kebijakan ekonomi Indonesia agar sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi yang digariskan oleh Washington. Garis kebijakannya adalah Washington Konsensus yang terdiri dari: kebijakan anggaran yang ketat, penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi industri dan perdagangan, serta privatisasi.

Selama 40 tahun lebih berkuasa, kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Mafia Berkeley dalam pemerintahan tidak pernah memberikan perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Namun, hingga saat ini, Mafia Berkeley masih bercokol di sektor-sektor vital, seperti di Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Departemen Energi Sumber Daya dan Mineral, Bank Indonesia, dan departemen lain yang berkaitan dengan sektor ekonomi strategis lainnya.

Kebijakan yang mereka ambil memang tidak pernah mempertimbangkan aspek kesejahteraan rakyat Indonesia. Mereka lebih memprioritaskan untuk melaksanakan perintah dari IMF dan Bank Dunia.

Untuk membersihkan Mafia Berkeley di pemerintahan kita harus memiliki agenda yang terstruktur dan berjalan simultan. Hal penting yang harus kita lakukan adalah bagaimana memperkuat opini publik, bahwa penyebab kesengsaraan rakyat hari ini adalah Mafia Berkeley. Jika rakyat ingin keluar dari kesengaraan ini maka Mafia Berkeley harus disingkirkan jauh-jauh dari seluruh aspek kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Mereka layak disingkirkan, karena mereka adalah agen asing dan pengkhianat

Di Posting dari Berpolitik.com



Sabtu, 12 Juli 2008

Sikap Terhadap Sahabat

Mengenai sikap terhadap sahabat, kaum Syi'ah berpegang pada Al-Quran dan Sunnah serta catatan sejarah. Bahwa diantara para sahabat ada juga yang lalim, seperti si munafik 'Abdullah bin 'Ubay dengan kelompoknya yang berjumlah 300 orang yang melakukan desersi sebelum perang Uhud. Lihat buku-buku sejarah Islam, seperti "Riwayat Hidup Rasulullah SAW" karangan Abul Hasan Ali Al-Hasany an-Nadwy, terjemahan Bey Arifin dan Yunus Ali Muhdhar, hal. 213 atau Ibnu Hisyam, "Sirah Nabawiyah" jilid II, hal. 213.

Atau Mu'awiyah dan para jendralnya yang melakukan pembersihan etnis dengan membunuh kaum Syi'ah secara berdarah dingin, shabran, menyembelih bayi-bayi Syi'ah, memperbudak para muslimah dan membakar kebun dan membakar manusia hidup-hidup, mengarak kepala dari kota ke kota, minum arak, berzina dan sengaja merencanakan dan membuat hadits-hadits palsu yang bertentangan dengan hukum syar'i. Mengapa saudara tidak membaca sejarah dan hadits-hadits kita sendiri?

Bila saudara-saudara menganggap cerita-cerita yang membuka 'aib' para sahabat sebagai kufur, maka tidak akan ada lagi ahli sejarah dan ahli hadits yang tidak kafir.

Syi'ah menolak hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat lalim. Mereka heran mengapa kaum Sunnah keberatan bila mereka meriwayatkan hadits-hadits dari keluarga Rasulullah sebab ayat-ayat Al-Qur'an turun dirumah mereka. Dan Rasulullah tinggal serumah dan mengajari mereka?

Mengapa mereka harus mencari hadits-hadits Abu Hurairah misalnya, yang meriwayatkan bahwa Allah menciptakan Adam seperti wajah Allah dengan panjang 60 hasta (sittuna dzira), sedang Al-Qur'an mengatakan bahwa tiada sesuatu pun yang menyerupaiNya, laisa kamitslihi syai'un, atau Nabi Musa lari telanjang bulat karena bajunya dibawa lari oleh batu, atau sapi berbahasa Arab, atau hadits yang menyatakan kalu lalat masuk ke dalam kuah, maka seluruh lalat harus dimasukkan kedalamnya sehingga menimbulkan 'perang lalat' di koran-koran Mesir karena dokter-dokter muda menolak hadits yang 'berbahaya' tersebut? Dan Allah yang turun ke langit bumi, sepertiga malam, sehingga Allah tidak punya kesempatan untuk kembali karena kesiangan?

Mengapa mereka harus berpegang pada Abu Hurairah yang oleh sahabat-sahabat besar seperti ummul mu'minin Aisyah dan Umar bin Khattab dan ulama-ulama besar seperti Ibnu Qutaibah menganggapnya sebagai pembohong? Bukankah Ibnu Qutaibah disebut sejarawan sebagai nashibi atau pembenci Ahlul Bait dan bukan Syi'ah? Baca sejarah dan hadits-hadits shahih Bukhari Muslim!

Haruslah diakui bahwa pandangan Syi'ah ini berbeda dengan kaum Sunni yang menganggap semua sahabat itu adil, 'udul, dan bila mereka membunuh atau memerangi sesama muslim, mereka akan tetap mendapat pahala. Bila tindakan mereka salah, mereka akan mendapat satu pahala dan kalau benar mendapat dua pahala.

Malah ada ulama Sunni, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Hazm dan Ibnu Taymiyyah menganggap 'Abudrrahman bin Muljam yang membacok Imam 'Ali bin Abi Thalib yang sedang shalat shubuh sebagai mujtahid. Demikian pula pembantai Husain dan keluarganya di Karbala. Pembunuh-pembunuh cucu Rasulullah ini dianggap mendapat pahala, satu bila salah dan dua bila benar!

Suatu hari, saya kedatangan tiga orang Afghanistan. Saya tanyakan, mengapa kaum muslimin di Afghanistan saling berperang? Mereka menjawab: mereka berperang karena berijtihad seperti ummul mu'minin 'Aisyah yang memerangi 'Ali dalam perang Jamal. Kalau benar dapat dua pahala dan kalau salah dapat satu. Dan saya dengar, koran-koran Jakarta pun telah memuat keyakinan mereka ini.

Kaum Thaliban di Afghanistan, yang punya pendapat seperti ini, yang mengurung dan tidak membolehkan wanita bekerja atau sekolah bukanlah Syi'ah, tetapi kaum Wahabi!

Sebaliknya kaum Syi'ah juga berpendapat bahwa banyak pula sahabat yang mulia, yang harus diteladani kaum muslimin.

Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa diantara para sahabat ada yang 'kufur' dan 'munafik'. (Termasuk ayat-ayat terakhir bacalah At-Taubah ayat 48, 97).

Banyak sekali hadits-hadits seperti hadits Al-Haudh, diantaranya tercatat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Mereka membenarkan ayat Al-Qur'an tersebut dan menceritakan adanya sekelompok sahabat digiring ke neraka dan tatkala ditanya Rasul, ada suara yang menjawab "Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sesudahmu". Ahli-ahli sejarah kita dengan gamblang menggambarkan ulah beberapa sahabat tersebut.

Apakah pandangan Syi;ah tersebut 'kufur' atau 'sesat'? Apakah mereka harus dikafirkan karena keyakinan mereka itu? Kita boleh menyesali perbedaan itu, tetapi perbedaan ini menyangkut masalah cabang agama bukan pokok, bukan ushuluddin.
Di posting dari www.abatasya.net



Selasa, 08 Juli 2008

Sejarah Penindasan Rakyat Indonesia


Permulaan penjajahan (kolonialisme) ditandai dengan masuknya bangsa asing terutama ketika kedatangan VOC di Indonesia yang melakukan perdagangan rempah-rempah dan berujung pada penguasaan secara monopoli perdagangan di Indonesia. VOC melakukan penaklukan terhadap kekuasaan lokal dari mulai pulau Sumatra sampai dengan Maluku. Dengan dtundukkannya kekuasaan lokal di bawah kaki kekuasaannya, maka VOC menikmati monopoli atas tanaman dan rempah-rempah untuk kepentingan pasar dunia. Pada saat itu, VOC telah berhasil memelihara penguasa-penguasa lokal yang harus bekerja untuk kepentingan VOC dengan melakukan penindasan terhadap bangsanya sendiri.

Setelah VOC mengalami kebangkrutan karena tingginya korupsi di dalam dirinya dan kemudian dinyatakan bubar pada tahun 1799, maka Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintah penjajahan Belanda. Pada kurun waktu 10 tahun berikutnya, Indonesia sempat di bawah kekuasaan Perancis (Daendles,1808-1811) dan Inggris (Raffles,1811-1816). Di bawah kekuasaan ke dua Gubernur Jendral Hindia Belanda tersebut , mulai diperkenalkan pajak tanah (landrent) sebagai ganti upeti berupa penyerahan wajib hasil panen. Demikian pula struktur birokrasi kolonial diperluas sampai menjangkau desa-desa dengan mengangkat bangsawan lokal sebagai wakil kekuasaan kolonial. Paska Raffles, Indonesia kembali di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda. Pada masa ini, penderitaan massa rakyat bertambah dalam dan berat sebagai akibat tingginya pajak, munculnya banyak pungutan (cukai) baik oleh penguasa kolonial maupun lokal. Kondisi tersebutlah yang kemudian melatarbelakangi meledaknya Perang Jawa (1825-1830) yang menimbulkan kengerian dan kerugian besar di pihak penjajah. Jadi, berlawanan dengan penulisan sejarah umum yang melihat Perang Jawa dari epos kepahlawanan seorang Diponegoro, kenyataan di atas menunjukkan bahwa Perang Jawa dapat terjadi lebih karena kepahlawanan dan perlawanan massa rakyat yang ditindas kolonialisme Belanda.

Masa Penjajahan (Kolonial) dan Setengah Feodal
Akibat Perang Jawa, Belanda mengalami kerugian cukup besar baik secara keuangan maupun tenaga manusia. Inilah yang di kemudian hari menjadi pelajaran penting bagi Imperialisme tentang mahalnya biaya yang harus dikeluarkan ketika melakukan penjajahan secara langsung karena harus berhadap-hadapan dengan massa rakyat. Kemudian Belanda menerapkan Sistem Tanam Paksa untuk menutupi defisit keuangan di negara mereka. Dan tujuan Belanda tersebut tercapai karena dari pelaksanaan STP pemerintah kolonial Belanda mampu meraup keuntungan sebesar 725 juta gulden pada tahun 1870, jumlah yang merupakan sepertiga dari pendapatan negara mereka. Dengan keuntungan besar tersebut, Belanda mampu untuk melunasi hutang-hutangnya, menurunkan pajak bagi rakyatnya dan mensubsidi pabrik serta membangun pelabuhan di Amsterdam. Sementara rakyat Indonesia mengalami penderitaan yang sangat karena harus menyerahkan seluruh tanah dan tenaganya untuk tanam paksa. Tercatat banyak rakyat khususnya di Pulau Jawa yang hidup dalam kondisi mengenaskan di perkebunan-perkebunan Belanda atau mati kelaparan. Yang harus dicatat bahwa pemerintah kolonial Belanda berhasil melaksanakan STP karena dukungan para penguasa lokal-feodal dalam memobilisasi tanah dan tenaga kerja. Dan para penguasa lokal-feodal ini juga mendapatkan keuntungan berupa gaji yang tinggi. Seperti misalnya seorang residen mendapatkan gaji sebesar 15.000 gulden/tahun dengan ditambah persenan 25.000/tahun, atau seorang Bupati yang mendapat gaji 15.000 gulden/tahun.

Paska diberhentikannya pelaksanaan STP secara resmi pada tahun 1870, kekuasaan kolonial di Indonesia membuka kran bagi masuknya modal swasta asing Belanda. UU Agraria diterbitkan untuk memfasilitasi pihak swasta melakukan penguasaan tanah dalam jumlah besar melalui hak erpacht (HGU-sekarang). Penguasaan tanah dalam jumlah besar tersebut digunakan untuk kepentingan pembukaan perkebunan yang lagi-lagi diperuntukkan bagi penanaman komoditi ekspor seperti teh, tebu, kopi, kina dan lain-lain. Selain juga untuk pendirian pabrik pengolahan hasil perkebunan seperti pabrik gula. Masuknya swasta asing dan juga pelaksanaan politik etis pada awal 1900-an tidaklah bermaksud untuk melakukan proses industrialisasi di Indonesia. Hal ini seperti dinyatakan oleh E. Ultrecht bahwa untuk menjaga dan melindungi industri di negeri Belanda, tidak ada upaya untuk melakukan industrialisasi di Indonesia . Faktanya perkebunan-perkebunan yang ada masih didasarkan pada basis feodalisme berupa monopoli penguasaan tanah dan dipergunakkannya aparatus feodal untuk memobilisasi tanah dan tenaga kerja. Di sinilah kemudian terungkap kebenaran kenyataan bahwa basis bercokolnya penindasan imperialisme adalah feodalisme. Tidak ada perubahan mendasar dibandingkan dengan masa VOC maupun tanam paksa. Demikian juga pada masa politik etis, pembangunan irigasi lebih dimaksudkan untuk kepentingan perkebunan, pendidikan kaum pribumi untuk pengisian birokrasi kolonial sehingga lebih efisien dan transmigrasi pada hakekatnya merupakan mobilisasi tenaga kerja murah untuk perkebunan di luar jawa.

Pendirian pabrik pengolahan hasil perkebunan dan berdirinya jawatan kereta api pada tahun akhir abad ke 19 dan awal abad 20 menjadi awal mula kelahiran klas buruh di Indonesia. dan semenjak itu, gelora pelawanan rakyat Indonesia menentang kolonialisme Belanda tidak pernah berhenti dan semakin meningkat. Mulai dari pemogokan-pemogokan buruh sampai dengan pemberontakkan kaum tani pada tahun 1888 di Banten dan pemberontakkan nasional kaum tani 1926. Demikian juga pada abad 20-an sejarah pergerakan di Indonesia memulai babak baru dengan lahirnya organisasi rakyat yang memiliki karakter modern dan nasional seperti Sarekat Islam (SI) maupun juga ISDV yang kemudian pada tahun 1920 berubah menjadi Perserikatan Komunis di Indonesia dan di kemudian hari menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahirnya organisasi klas buruh menjadi sejarah yang penting dalam gerakan revolusioner rakyat Indonesia melawan imperialisme Belanda maupun Imperialisme fasis Jepang sampai pada puncaknya yaitu revolusi 17 Agustus 1945. Penting, karena peranannya yang memimpin perjuangan massa rakyat di masa-masa itu.

Revolusi Nasional 17 Agustus 1945
Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 merupakan puncak perlawanan massa rakyat sampai berhasil menumbangkan kekuasaan imperialisme fasis Jepang. Karena itu pada dasarnya Revolusi 17 Agustus 1945 memiliki watak yang anti imperialisme dan sekaligus juga anti-feodalisme yang selama ini menjadi basis imperialisme. Namun kenyataannya, paska Agustus 1945 rakyat Indonesia masih harus berjuang melawan agresi imperialisme Belanda yang didukung oleh Inggris dan Amerika. Sampai akhirnya pada tahun 1949, Indonesia harus menandatangani perjanjian KMB yang sangat merugikan kepentingan rakyat Indonesia karena secara ekonomi menjamin kepentingan ekonomi imperialisme di Indonesia dan secara politik menempatkan Indonesia sebagai anggota negara persemakmuran di bawah kekuasaan politik Belanda. Revolusi 17 Agustus 1945 telah gagal menunaikan tugas sejarahnya untuk menghancurkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme serta kapitalisme birokrasi karena beberapa sebab yaitu :
1. Tidak menarik garis yang tegas untuk melawan kekuatan imperialisme, bahkan pada tahun 1949 telah membuat konsensi dengan imperialisme melalui KMB yang menjadikan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan.
2. Tidak segera menjalankan land reform sejati untuk menghancurkan kekuatan sisa-sisa feodalisme yang mengambil wujud monopoli penguasaan tanah dan relasi produksi feodal (sewa tanah, bagi hasil) untuk membebaskan kaum tani dari penindasan.
3. Masih menggunakan aparatus birokrasi lama yang memiliki karakter pencari rente dengan menyalahgunakan jabatannya demi melayani kekuatan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Dan tidak menggantikannya dengan yang sama sekali baru yang sungguh-sungguh melayani dan mengabdi kepada rakyat.
Dengan kegagalan Revolusi 17 Agustus 1945, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita bersama untuk menuntaskan tugas berat dan mulia menghancurkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Menuntaskan Revolusi 17 Agustus 1945 dapat diartikan sebagai tugas untuk melakukan dua agenda pokok pada saat yang bersamaan yaitu menghancurkan dominasi imperialisme AS, dan menjalankan revolusi agraria berupa pelaksanaan land reform yang sejati.

Masa Setengah Jajahan dan Setengah Feodal
Dan sejak 1949 inilah, Indonesia menjadi negeri setengah jajahan. Dijajah secara ekonomi, politik, budaya dan kemiliteran tetapi tidak secara langsung.

Rezim Soekarno dengan desakan dari gerakan massa rakyat melakukan perlawanan terhadap imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Mulai dari upaya nasionalisasi perusahaan asing yaitu perusahaan Belanda (1957), Inggris (1958) dan kemudian menyusul upaya nasionalisasi perusahaan Amerika pada 1960-an. Demikian pula penerbitan UU Pokok Agraria (UUPA) dan UU Pokok Bagi Hasil (UUPBH) pada 1960, merupakan upaya untuk menghancurkan sisa feodalisme. Namun upaya tersebut belum mengalami keberhasilan. Justru paska nasionalisasi perusahaan Belanda dan Inggris kemudian penguasaannya tidak di tangan para buruh tetapi justru jatuh ke tangan militer yang terbukti sangat korup. Demikian juga pelaksanaan land reform berhenti di tengah jalan dan bahkan paska rezim Soekarno tanah-tanah yang telah dibagikan kepada buruh tani dan tani miskin diambil kembali oleh tuan tanah maupun militer. Cengkeraman imperialisme semakin kuat ketika rezim Soekarno berhasil

digulingkan oleh Soeharto yang mendapatkan dukungan penuh dari AS. Sejak itulah Indonesia semakin didominasi oleh imperialisme khususnya imperialisme pimpinan AS. Demikian pula Indonesia masih menjadi negeri setengah feodal, karena kaum tani belum dapat dibebaskan dari penindasan sisa-sisa feodalisme.

Rezim Boneka Imperialisme Soeharto
Pada masa rezim Soeharto yang merupakan rezim boneka imperialisme AS, berbagai kebijakan ekonomi, politik dan kemiliteran diabdikan untuk kepentingan imperialisme. Misalnya kebijakan tentang penanaman modal asing dengan dikeluarkannya UU PMA pada 1967 dan juga kebijakan sektoral lainnya seperti UU tentang pertambangan dan kehutanan. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka imperialisme pimpinan AS dapat menguasai kekayaan alam di Indonesia baik secara langsung melalui perusahaannya yang beroperasi di Indonesia maupun melalui perusahaan patungan dengan kapitalis nasional sebagai kompradornya. Seperti misalnya PT Freeport yang menguasai tambang emas di Papua, Exon Mobil, Caltex dan Stanvac menguasai minyak bumi dan batubara di Sumatra, Santa Fe di Bojonegoro, PT Newmont di Kalimantan, Sulawesi dan NTB, atau Goodyear dan US Rubber yang bergerak di pengolahan karet alam. Demikian juga imperialisme mendapatkan sumber daya kehutanan seperti kayu dan lainnya guna kebutuhan industri mereka melalui tangan para kapitalis komprador yang melakukan monopoli penguasaan hutan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Tercatat hingga 1999, tidak kurang dari 620 unit usaha pemegang pemegang HPH/HPHTI menguasai 48 juta hektar lahan hutan dalam bentuk konsensi kehutanan termasuk di dalamnya Perhutani yang menguasai kurang lebih 2,6 juta ha lahan di pulau Jawa. Jadi rata-rata, setiap perusahaan menguasai lahan hutan seluas 77,5 ha. Di dalam struktur penguasaan lahan hutan tersebut terdapat 12 kelompok usaha yang dimiliki oleh 12 orang konglomerat yang menguasai 16,7 juta ha atau sekitar 34.8 % dari keseluruhan konsensi lahan .

Imperialisme memang berkepentingan akan tiga hal penting yaitu bahan baku untuk industri di negara mereka, tersedianya buruh murah dan pasar bagi produk-produk mereka. Bahan mentah industri telah mereka dapatkan dengan melakukan penguasaan terhadap kekayaan alam baik secara langsung maupun melalui kaki tangannya. Demikian juga perusahaan asing banyak didirikan di Indonesia karena upah buruh yang sangat rendah di samping kebijakan perburuhan yang menguntungkan imperialis sehingga mereka bisa meraup keuntungan yang super besar. Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 220 juta merupakan pangsa pasar yang sangat menjanjikan bagi produk-produk negara imperialis. Kenyataan tersebutlah yang menyebabkan mengapa sampai hari ini industri nasional di Indonesia tidak pernah mengalami perkembangan dan kemajuan. Karena memang tidak diijinkan oleh kekuatan imperialisme. Dengan tumbuh berkembangnya industri nasional, maka imperialisme akan kehilangan suplai bahan baku, tenaga kerja murah dan pasar. Ini yang tidak mereka kehendaki.

Dengan demikian pendapat yang menyatakan bahwa di rezim Soeharto dilakukan proses indutrialisasi nasional merupakan pandangan yang tidak tepat. Yang benar adalah rezim Soeharto mengabdikan kebijakan ekonomi-politiknya untuk kepentingan imperialisme dengan tidak mengembangkan industri nasional. Bukti konkretnya cukup jelas. Sampai hari ini belum ada industri dasar dan berat di Indonesia. Yang ada adalah industri manufaktur yang sangat tergantung pada bahan baku impor. Seperti misalnya pabrik baja di Indonesia sangat tergantung pada impor baja dan besi dari luar negeri yang semakin tahun semakin mahal. Bahkan data 2003 mengungkapkan bahwa pabrik baja di Indonesia mengalami kesulitan dan penurunan produksi karena mahalnya bahan baku baja impor. Di samping itu, industri di Indonesia juga sangat ditentukan oleh kekuatan imperialisme. Contoh paling nyata adalah hengkangnya perusahaan asing seperti PT Sony ke negara lain karena mencari buruh dengan upah yang lebih rendah. Atau gulung tikarnya industri Tekstil dan Produk Tekstil karena kalah bersaing dengan produk dari Vietnam dan Cina yang biaya buruh di negaranya lebih murah. Dan akibatnya jutaan buruh menjadi koban karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Rezim Habibie, Gus Dur dan Megawati
Pada masa rezim Habibie, Gus Dur dan Megawati sekarang ini, kekuatan imperialisme menjadi semakin berdominasi. Karena krisis yang terjadi di dalam dirinya sendiri sebagai akibat kelebihan produksi dan jatuhnya tingkat keuntungan, imperialisme melancarkan kebijakan neo-kolonialismenya melalui program neoliberal berupa privatisasi, liberalisasi perdagangan dan berbagai paket deregulasi. Dengan ditopang oleh institusi pendukung utamanya yaitu Bank Dunia, IMF, WTO dan PBB maka imperialisme AS semakin mampu melakukan penguasaan secara ekonomi, politik, militer dan kebudayaan di Indonesia. Program Penyesuaian Struktural sebagai konsekuensi pemberian hutang luar negeri bersyarat telah diberlakukan semakin intensif. Sejumlah perusahaan negara yang penting dan strategis telah berpindah tangan ke tangan imperialis melalui program privatisasi. Dari mulai PT Semen Gresik Group (SGG), PT Semen Tonasa, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Semen Padang, PT Telkom dan PT Indosat. Tak heran kalau kemudian Bank Pembangunan Asia mengucurkan dana sebesar 36 milyar untuk membiayai promosi program privatisasi. Benar kalau kemudian disampaikan bahwa gerakan pro privatisasi sesungguhnya tidak lebih dari gerakan terselubung rampokisasi yang sedang dilancarkan oleh kekuatan imperialisme yang bergandengan tangan dengan kompradornya di dalam negeri .

Program penyesuaian struktural yang tidak hanya dilakukan di Indonesia atau Asia tetapi di negara-negara lain di Amerika Latin dan Afrika., telah menimbulkan kesengsaraan global. Di Amerika Latin, program penyesuaian ini menimbulkan tekanan yang hebat, mengikis kemajuan yang telah dicapai pada tahun 1960-an dan 1970-an. Jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan meningkat dari 130 juta pada tahun 1980 menjadi 180 juta pada awal tahun 1990-an. Tetapi perlu dicatat bahwa watak sebenarnya dari imperialisme adalah kekerasan. Program penyesuaian struktural yang dipaksakannya di negara setengah jajahan dan jajahan, tidak mampu sepenuhnya untuk mengatasi krisis di dalam dirinya. Oleh karena itu, imperialisme tidak segan-segan untuk melancarkan agresi atau perang imperialisnya. Hal itu ditunjukkan oleh AS ketika melancarkan serangan ke Afghanistan, Irak dan mempropagandakan secara luas histeria perang terhadap terorisme yang hakekatnya adalah kepentingan terselubung imperialisme AS untuk mengukuhkan dan memperluas kekuasaan imperiumnya di dunia.

Demi memuluskan pencapaian kepentingannya, maka selain menggunakan kekerasan dan perang sebagai watak aslinya, imperialisme juga berupaya untuk melakukan penguasaan dan dominasi di lapangan kebudayaan. Bentuk konkretnya adalah dengan menguasai cara berpikir dan cita rasa intelektual di kalangan rakyat khususnya lapisan tengah perkotaan (mahasiswa, dosen, guru, pengacara, dokter dan sebagainya) sejalan dengan kepentingan mereka. Pemikiran dan pemahaman ala Amerika semakin bersarang dengan kokoh dalam alam pikiran kita apalagi ketika kiblat sekolah dan universitas serta gaya hidup keseharian kita banyak mengacu pada semua yang serba Amerika. Dari mulai cara kita menampilkan diri, apa yang kita makan sampai pikiran kita tentang demokrasi, negara, ekonomi dan politik. Banyak dari lapis tengah perkotaan berlomba-lomba bekerja di perusahaan asing dan melanjutkan pendidikan di Eropa dan Amerika. Dan memang sejumlah kemudahan diberikan oleh AS khususnya bagi lapis menengah perkotaan untuk belajar di sana. Persis seperti berlakunya Politik Etis di zaman kolonialisme Belanda, di mana banyak orang pribumi mendapat kesempatan untuk belajar di negeri Belanda. Maksud sebenarnya pemerintah kolonial Belanda tentu bukan untuk mencerdaskan rakyat di negeri jajahannya, tetapi mendidik orang pribumi untuk menjadi bagian dari birokrasi kolonialnya sehingga dapat lebih efisien

Sumsel Kekurangan 2.200 Penyuluh

Palembang, Kompas - Provinsi Sumatera Selatan masih kekurangan sekitar 2.200 tenaga penyuluh pertanian. Kondisi itu berakibat minimnya pengetahuan petani tentang teknologi pertanian dan juga menyebabkan pemerintah tidak bisa maksimal memantau permasalahan yang dihadapi petani Sumsel secara riil dan konkret.

Demikian diutarakan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan Trisbani Arief, Selasa (8/7) di Palembang.

Trisbani mengatakan, tenaga penyuluh pertanian di Provinsi Sumsel saat ini hanya berjumlah 1.800 orang. Dengan jumlah tenaga yang terbatas tersebut, satu penyuluh akhirnya harus bekerja untuk 2-3 desa.

”Idealnya, satu penyuluh wilayah kerjanya mencakup satu desa. Jika mempertimbangkan jumlah desa di Sumsel sebanyak 4.000, kita masih kekurangan sekitar 2.200 tenaga penyuluh. Kami masih berusaha menambah, hanya saja bertahap,” ucap Trisbani.

Ancaman kekeringan

Terkait dengan kekeringan yang terjadi di sebagian lahan pertanian Sumsel, Trisbani mengimbau petani agar secara cepat melaporkan ke tenaga penyuluh pertanian yang terdekat mengenai persoalan yang dihadapi di lapangan. Sampai sekarang, pihaknya masih terus mendata perkembangan jumlah lahan sawah yang puso dan gagal panen akibat bencana kekeringan ini.

”Cepatnya pelaporan ini tujuannya agar kami bisa mengetahui skala dan tingkat kerusakan lahan. Dengan demikian, pemprov juga bisa cepat menangani dan mengantisipasi ancaman selama kemarau,” katanya


Sabtu, 05 Juli 2008

Bantuan Tunai Suburkan Pornografi Internet

Washington - Tak hanya di Indonesia, Amerika Serikat pun punya skema semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan gratis untuk mendorong ekonomi rakyat. Namun kebijakan ini disinyalir malah membuat industri porno online di negeri itu makin berkibar.

Dalam kebijakan pemerintahan George W. Bush ini, tiap pembayar pajak diberi uang tunai maksimal USD 1200. Semenjak uang itu diberikan, lembaga Adult Internet Market Research (AIMRCo) mengidentifikasi peningkatan tidak wajar dalam pemasukan industri pornografi internet.

"Biasanya, musim panas seperti ini adalah periode di mana industri melambat. Namun banyak situs yang kami survei melaporkan pertumbuhan anggota sampai 30 persen sejak pertengahan Mei ketika bantuan tunai diberikan," ungkap Kirk Mishkin, kepala penelitian di AIMRCo.

Diduga kuat, uang tunai yang diberikan pemerintah malah dihabiskan masyarakat untuk mengakses konten porno berbayar. Dugaan ini diamini Jillian Fox, juru bicara LSGmodels, salah satu situs porno yang disurvei AIMRCo.

"Dalam survei kami di bulan Juni, 32 persen responden mengakui bahwa bantuan tunai itu jadi salah satu modal mereka untuk menjadi anggota situs kami," demikian kata Fox seperti dikutip detikINET dari Vnunet, Sabtu (5/7/2008).