Selasa, 08 Juli 2008

Sejarah Penindasan Rakyat Indonesia


Permulaan penjajahan (kolonialisme) ditandai dengan masuknya bangsa asing terutama ketika kedatangan VOC di Indonesia yang melakukan perdagangan rempah-rempah dan berujung pada penguasaan secara monopoli perdagangan di Indonesia. VOC melakukan penaklukan terhadap kekuasaan lokal dari mulai pulau Sumatra sampai dengan Maluku. Dengan dtundukkannya kekuasaan lokal di bawah kaki kekuasaannya, maka VOC menikmati monopoli atas tanaman dan rempah-rempah untuk kepentingan pasar dunia. Pada saat itu, VOC telah berhasil memelihara penguasa-penguasa lokal yang harus bekerja untuk kepentingan VOC dengan melakukan penindasan terhadap bangsanya sendiri.

Setelah VOC mengalami kebangkrutan karena tingginya korupsi di dalam dirinya dan kemudian dinyatakan bubar pada tahun 1799, maka Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintah penjajahan Belanda. Pada kurun waktu 10 tahun berikutnya, Indonesia sempat di bawah kekuasaan Perancis (Daendles,1808-1811) dan Inggris (Raffles,1811-1816). Di bawah kekuasaan ke dua Gubernur Jendral Hindia Belanda tersebut , mulai diperkenalkan pajak tanah (landrent) sebagai ganti upeti berupa penyerahan wajib hasil panen. Demikian pula struktur birokrasi kolonial diperluas sampai menjangkau desa-desa dengan mengangkat bangsawan lokal sebagai wakil kekuasaan kolonial. Paska Raffles, Indonesia kembali di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda. Pada masa ini, penderitaan massa rakyat bertambah dalam dan berat sebagai akibat tingginya pajak, munculnya banyak pungutan (cukai) baik oleh penguasa kolonial maupun lokal. Kondisi tersebutlah yang kemudian melatarbelakangi meledaknya Perang Jawa (1825-1830) yang menimbulkan kengerian dan kerugian besar di pihak penjajah. Jadi, berlawanan dengan penulisan sejarah umum yang melihat Perang Jawa dari epos kepahlawanan seorang Diponegoro, kenyataan di atas menunjukkan bahwa Perang Jawa dapat terjadi lebih karena kepahlawanan dan perlawanan massa rakyat yang ditindas kolonialisme Belanda.

Masa Penjajahan (Kolonial) dan Setengah Feodal
Akibat Perang Jawa, Belanda mengalami kerugian cukup besar baik secara keuangan maupun tenaga manusia. Inilah yang di kemudian hari menjadi pelajaran penting bagi Imperialisme tentang mahalnya biaya yang harus dikeluarkan ketika melakukan penjajahan secara langsung karena harus berhadap-hadapan dengan massa rakyat. Kemudian Belanda menerapkan Sistem Tanam Paksa untuk menutupi defisit keuangan di negara mereka. Dan tujuan Belanda tersebut tercapai karena dari pelaksanaan STP pemerintah kolonial Belanda mampu meraup keuntungan sebesar 725 juta gulden pada tahun 1870, jumlah yang merupakan sepertiga dari pendapatan negara mereka. Dengan keuntungan besar tersebut, Belanda mampu untuk melunasi hutang-hutangnya, menurunkan pajak bagi rakyatnya dan mensubsidi pabrik serta membangun pelabuhan di Amsterdam. Sementara rakyat Indonesia mengalami penderitaan yang sangat karena harus menyerahkan seluruh tanah dan tenaganya untuk tanam paksa. Tercatat banyak rakyat khususnya di Pulau Jawa yang hidup dalam kondisi mengenaskan di perkebunan-perkebunan Belanda atau mati kelaparan. Yang harus dicatat bahwa pemerintah kolonial Belanda berhasil melaksanakan STP karena dukungan para penguasa lokal-feodal dalam memobilisasi tanah dan tenaga kerja. Dan para penguasa lokal-feodal ini juga mendapatkan keuntungan berupa gaji yang tinggi. Seperti misalnya seorang residen mendapatkan gaji sebesar 15.000 gulden/tahun dengan ditambah persenan 25.000/tahun, atau seorang Bupati yang mendapat gaji 15.000 gulden/tahun.

Paska diberhentikannya pelaksanaan STP secara resmi pada tahun 1870, kekuasaan kolonial di Indonesia membuka kran bagi masuknya modal swasta asing Belanda. UU Agraria diterbitkan untuk memfasilitasi pihak swasta melakukan penguasaan tanah dalam jumlah besar melalui hak erpacht (HGU-sekarang). Penguasaan tanah dalam jumlah besar tersebut digunakan untuk kepentingan pembukaan perkebunan yang lagi-lagi diperuntukkan bagi penanaman komoditi ekspor seperti teh, tebu, kopi, kina dan lain-lain. Selain juga untuk pendirian pabrik pengolahan hasil perkebunan seperti pabrik gula. Masuknya swasta asing dan juga pelaksanaan politik etis pada awal 1900-an tidaklah bermaksud untuk melakukan proses industrialisasi di Indonesia. Hal ini seperti dinyatakan oleh E. Ultrecht bahwa untuk menjaga dan melindungi industri di negeri Belanda, tidak ada upaya untuk melakukan industrialisasi di Indonesia . Faktanya perkebunan-perkebunan yang ada masih didasarkan pada basis feodalisme berupa monopoli penguasaan tanah dan dipergunakkannya aparatus feodal untuk memobilisasi tanah dan tenaga kerja. Di sinilah kemudian terungkap kebenaran kenyataan bahwa basis bercokolnya penindasan imperialisme adalah feodalisme. Tidak ada perubahan mendasar dibandingkan dengan masa VOC maupun tanam paksa. Demikian juga pada masa politik etis, pembangunan irigasi lebih dimaksudkan untuk kepentingan perkebunan, pendidikan kaum pribumi untuk pengisian birokrasi kolonial sehingga lebih efisien dan transmigrasi pada hakekatnya merupakan mobilisasi tenaga kerja murah untuk perkebunan di luar jawa.

Pendirian pabrik pengolahan hasil perkebunan dan berdirinya jawatan kereta api pada tahun akhir abad ke 19 dan awal abad 20 menjadi awal mula kelahiran klas buruh di Indonesia. dan semenjak itu, gelora pelawanan rakyat Indonesia menentang kolonialisme Belanda tidak pernah berhenti dan semakin meningkat. Mulai dari pemogokan-pemogokan buruh sampai dengan pemberontakkan kaum tani pada tahun 1888 di Banten dan pemberontakkan nasional kaum tani 1926. Demikian juga pada abad 20-an sejarah pergerakan di Indonesia memulai babak baru dengan lahirnya organisasi rakyat yang memiliki karakter modern dan nasional seperti Sarekat Islam (SI) maupun juga ISDV yang kemudian pada tahun 1920 berubah menjadi Perserikatan Komunis di Indonesia dan di kemudian hari menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahirnya organisasi klas buruh menjadi sejarah yang penting dalam gerakan revolusioner rakyat Indonesia melawan imperialisme Belanda maupun Imperialisme fasis Jepang sampai pada puncaknya yaitu revolusi 17 Agustus 1945. Penting, karena peranannya yang memimpin perjuangan massa rakyat di masa-masa itu.

Revolusi Nasional 17 Agustus 1945
Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 merupakan puncak perlawanan massa rakyat sampai berhasil menumbangkan kekuasaan imperialisme fasis Jepang. Karena itu pada dasarnya Revolusi 17 Agustus 1945 memiliki watak yang anti imperialisme dan sekaligus juga anti-feodalisme yang selama ini menjadi basis imperialisme. Namun kenyataannya, paska Agustus 1945 rakyat Indonesia masih harus berjuang melawan agresi imperialisme Belanda yang didukung oleh Inggris dan Amerika. Sampai akhirnya pada tahun 1949, Indonesia harus menandatangani perjanjian KMB yang sangat merugikan kepentingan rakyat Indonesia karena secara ekonomi menjamin kepentingan ekonomi imperialisme di Indonesia dan secara politik menempatkan Indonesia sebagai anggota negara persemakmuran di bawah kekuasaan politik Belanda. Revolusi 17 Agustus 1945 telah gagal menunaikan tugas sejarahnya untuk menghancurkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme serta kapitalisme birokrasi karena beberapa sebab yaitu :
1. Tidak menarik garis yang tegas untuk melawan kekuatan imperialisme, bahkan pada tahun 1949 telah membuat konsensi dengan imperialisme melalui KMB yang menjadikan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan.
2. Tidak segera menjalankan land reform sejati untuk menghancurkan kekuatan sisa-sisa feodalisme yang mengambil wujud monopoli penguasaan tanah dan relasi produksi feodal (sewa tanah, bagi hasil) untuk membebaskan kaum tani dari penindasan.
3. Masih menggunakan aparatus birokrasi lama yang memiliki karakter pencari rente dengan menyalahgunakan jabatannya demi melayani kekuatan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Dan tidak menggantikannya dengan yang sama sekali baru yang sungguh-sungguh melayani dan mengabdi kepada rakyat.
Dengan kegagalan Revolusi 17 Agustus 1945, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita bersama untuk menuntaskan tugas berat dan mulia menghancurkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Menuntaskan Revolusi 17 Agustus 1945 dapat diartikan sebagai tugas untuk melakukan dua agenda pokok pada saat yang bersamaan yaitu menghancurkan dominasi imperialisme AS, dan menjalankan revolusi agraria berupa pelaksanaan land reform yang sejati.

Masa Setengah Jajahan dan Setengah Feodal
Dan sejak 1949 inilah, Indonesia menjadi negeri setengah jajahan. Dijajah secara ekonomi, politik, budaya dan kemiliteran tetapi tidak secara langsung.

Rezim Soekarno dengan desakan dari gerakan massa rakyat melakukan perlawanan terhadap imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Mulai dari upaya nasionalisasi perusahaan asing yaitu perusahaan Belanda (1957), Inggris (1958) dan kemudian menyusul upaya nasionalisasi perusahaan Amerika pada 1960-an. Demikian pula penerbitan UU Pokok Agraria (UUPA) dan UU Pokok Bagi Hasil (UUPBH) pada 1960, merupakan upaya untuk menghancurkan sisa feodalisme. Namun upaya tersebut belum mengalami keberhasilan. Justru paska nasionalisasi perusahaan Belanda dan Inggris kemudian penguasaannya tidak di tangan para buruh tetapi justru jatuh ke tangan militer yang terbukti sangat korup. Demikian juga pelaksanaan land reform berhenti di tengah jalan dan bahkan paska rezim Soekarno tanah-tanah yang telah dibagikan kepada buruh tani dan tani miskin diambil kembali oleh tuan tanah maupun militer. Cengkeraman imperialisme semakin kuat ketika rezim Soekarno berhasil

digulingkan oleh Soeharto yang mendapatkan dukungan penuh dari AS. Sejak itulah Indonesia semakin didominasi oleh imperialisme khususnya imperialisme pimpinan AS. Demikian pula Indonesia masih menjadi negeri setengah feodal, karena kaum tani belum dapat dibebaskan dari penindasan sisa-sisa feodalisme.

Rezim Boneka Imperialisme Soeharto
Pada masa rezim Soeharto yang merupakan rezim boneka imperialisme AS, berbagai kebijakan ekonomi, politik dan kemiliteran diabdikan untuk kepentingan imperialisme. Misalnya kebijakan tentang penanaman modal asing dengan dikeluarkannya UU PMA pada 1967 dan juga kebijakan sektoral lainnya seperti UU tentang pertambangan dan kehutanan. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka imperialisme pimpinan AS dapat menguasai kekayaan alam di Indonesia baik secara langsung melalui perusahaannya yang beroperasi di Indonesia maupun melalui perusahaan patungan dengan kapitalis nasional sebagai kompradornya. Seperti misalnya PT Freeport yang menguasai tambang emas di Papua, Exon Mobil, Caltex dan Stanvac menguasai minyak bumi dan batubara di Sumatra, Santa Fe di Bojonegoro, PT Newmont di Kalimantan, Sulawesi dan NTB, atau Goodyear dan US Rubber yang bergerak di pengolahan karet alam. Demikian juga imperialisme mendapatkan sumber daya kehutanan seperti kayu dan lainnya guna kebutuhan industri mereka melalui tangan para kapitalis komprador yang melakukan monopoli penguasaan hutan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Tercatat hingga 1999, tidak kurang dari 620 unit usaha pemegang pemegang HPH/HPHTI menguasai 48 juta hektar lahan hutan dalam bentuk konsensi kehutanan termasuk di dalamnya Perhutani yang menguasai kurang lebih 2,6 juta ha lahan di pulau Jawa. Jadi rata-rata, setiap perusahaan menguasai lahan hutan seluas 77,5 ha. Di dalam struktur penguasaan lahan hutan tersebut terdapat 12 kelompok usaha yang dimiliki oleh 12 orang konglomerat yang menguasai 16,7 juta ha atau sekitar 34.8 % dari keseluruhan konsensi lahan .

Imperialisme memang berkepentingan akan tiga hal penting yaitu bahan baku untuk industri di negara mereka, tersedianya buruh murah dan pasar bagi produk-produk mereka. Bahan mentah industri telah mereka dapatkan dengan melakukan penguasaan terhadap kekayaan alam baik secara langsung maupun melalui kaki tangannya. Demikian juga perusahaan asing banyak didirikan di Indonesia karena upah buruh yang sangat rendah di samping kebijakan perburuhan yang menguntungkan imperialis sehingga mereka bisa meraup keuntungan yang super besar. Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 220 juta merupakan pangsa pasar yang sangat menjanjikan bagi produk-produk negara imperialis. Kenyataan tersebutlah yang menyebabkan mengapa sampai hari ini industri nasional di Indonesia tidak pernah mengalami perkembangan dan kemajuan. Karena memang tidak diijinkan oleh kekuatan imperialisme. Dengan tumbuh berkembangnya industri nasional, maka imperialisme akan kehilangan suplai bahan baku, tenaga kerja murah dan pasar. Ini yang tidak mereka kehendaki.

Dengan demikian pendapat yang menyatakan bahwa di rezim Soeharto dilakukan proses indutrialisasi nasional merupakan pandangan yang tidak tepat. Yang benar adalah rezim Soeharto mengabdikan kebijakan ekonomi-politiknya untuk kepentingan imperialisme dengan tidak mengembangkan industri nasional. Bukti konkretnya cukup jelas. Sampai hari ini belum ada industri dasar dan berat di Indonesia. Yang ada adalah industri manufaktur yang sangat tergantung pada bahan baku impor. Seperti misalnya pabrik baja di Indonesia sangat tergantung pada impor baja dan besi dari luar negeri yang semakin tahun semakin mahal. Bahkan data 2003 mengungkapkan bahwa pabrik baja di Indonesia mengalami kesulitan dan penurunan produksi karena mahalnya bahan baku baja impor. Di samping itu, industri di Indonesia juga sangat ditentukan oleh kekuatan imperialisme. Contoh paling nyata adalah hengkangnya perusahaan asing seperti PT Sony ke negara lain karena mencari buruh dengan upah yang lebih rendah. Atau gulung tikarnya industri Tekstil dan Produk Tekstil karena kalah bersaing dengan produk dari Vietnam dan Cina yang biaya buruh di negaranya lebih murah. Dan akibatnya jutaan buruh menjadi koban karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Rezim Habibie, Gus Dur dan Megawati
Pada masa rezim Habibie, Gus Dur dan Megawati sekarang ini, kekuatan imperialisme menjadi semakin berdominasi. Karena krisis yang terjadi di dalam dirinya sendiri sebagai akibat kelebihan produksi dan jatuhnya tingkat keuntungan, imperialisme melancarkan kebijakan neo-kolonialismenya melalui program neoliberal berupa privatisasi, liberalisasi perdagangan dan berbagai paket deregulasi. Dengan ditopang oleh institusi pendukung utamanya yaitu Bank Dunia, IMF, WTO dan PBB maka imperialisme AS semakin mampu melakukan penguasaan secara ekonomi, politik, militer dan kebudayaan di Indonesia. Program Penyesuaian Struktural sebagai konsekuensi pemberian hutang luar negeri bersyarat telah diberlakukan semakin intensif. Sejumlah perusahaan negara yang penting dan strategis telah berpindah tangan ke tangan imperialis melalui program privatisasi. Dari mulai PT Semen Gresik Group (SGG), PT Semen Tonasa, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Semen Padang, PT Telkom dan PT Indosat. Tak heran kalau kemudian Bank Pembangunan Asia mengucurkan dana sebesar 36 milyar untuk membiayai promosi program privatisasi. Benar kalau kemudian disampaikan bahwa gerakan pro privatisasi sesungguhnya tidak lebih dari gerakan terselubung rampokisasi yang sedang dilancarkan oleh kekuatan imperialisme yang bergandengan tangan dengan kompradornya di dalam negeri .

Program penyesuaian struktural yang tidak hanya dilakukan di Indonesia atau Asia tetapi di negara-negara lain di Amerika Latin dan Afrika., telah menimbulkan kesengsaraan global. Di Amerika Latin, program penyesuaian ini menimbulkan tekanan yang hebat, mengikis kemajuan yang telah dicapai pada tahun 1960-an dan 1970-an. Jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan meningkat dari 130 juta pada tahun 1980 menjadi 180 juta pada awal tahun 1990-an. Tetapi perlu dicatat bahwa watak sebenarnya dari imperialisme adalah kekerasan. Program penyesuaian struktural yang dipaksakannya di negara setengah jajahan dan jajahan, tidak mampu sepenuhnya untuk mengatasi krisis di dalam dirinya. Oleh karena itu, imperialisme tidak segan-segan untuk melancarkan agresi atau perang imperialisnya. Hal itu ditunjukkan oleh AS ketika melancarkan serangan ke Afghanistan, Irak dan mempropagandakan secara luas histeria perang terhadap terorisme yang hakekatnya adalah kepentingan terselubung imperialisme AS untuk mengukuhkan dan memperluas kekuasaan imperiumnya di dunia.

Demi memuluskan pencapaian kepentingannya, maka selain menggunakan kekerasan dan perang sebagai watak aslinya, imperialisme juga berupaya untuk melakukan penguasaan dan dominasi di lapangan kebudayaan. Bentuk konkretnya adalah dengan menguasai cara berpikir dan cita rasa intelektual di kalangan rakyat khususnya lapisan tengah perkotaan (mahasiswa, dosen, guru, pengacara, dokter dan sebagainya) sejalan dengan kepentingan mereka. Pemikiran dan pemahaman ala Amerika semakin bersarang dengan kokoh dalam alam pikiran kita apalagi ketika kiblat sekolah dan universitas serta gaya hidup keseharian kita banyak mengacu pada semua yang serba Amerika. Dari mulai cara kita menampilkan diri, apa yang kita makan sampai pikiran kita tentang demokrasi, negara, ekonomi dan politik. Banyak dari lapis tengah perkotaan berlomba-lomba bekerja di perusahaan asing dan melanjutkan pendidikan di Eropa dan Amerika. Dan memang sejumlah kemudahan diberikan oleh AS khususnya bagi lapis menengah perkotaan untuk belajar di sana. Persis seperti berlakunya Politik Etis di zaman kolonialisme Belanda, di mana banyak orang pribumi mendapat kesempatan untuk belajar di negeri Belanda. Maksud sebenarnya pemerintah kolonial Belanda tentu bukan untuk mencerdaskan rakyat di negeri jajahannya, tetapi mendidik orang pribumi untuk menjadi bagian dari birokrasi kolonialnya sehingga dapat lebih efisien

4 komentar:

Anonim mengatakan...

sejarah penindasan rakyat,,bagus artikelnya bung..tapi knp g di jabarin dari pemberontakan ranggalawe

goresan pena mengatakan...

sekedar mengutip apa yang pernah di tulis Tan Malaka, kalau tidk salah, begini bunyinya..
"...dulunya tidak ada perjuangan, tapi setelah ada penjajahan maka menjadi ada. dulu tidak ada Indonesia, yang ada hanya dataran yang dijajah belanda, tapi kemudian menjadi ada.."
eh, salah gak yah...ya, kira2 gitu deh...

hesra

goresan pena mengatakan...

sekedar mengutip apa yang pernah di tulis Tan Malaka, kalau tidk salah, begini bunyinya..
"...dulunya tidak ada perjuangan, tapi setelah ada penjajahan maka menjadi ada. dulu tidak ada Indonesia, yang ada hanya dataran yang dijajah belanda, tapi kemudian menjadi ada.."
eh, salah gak yah...ya, kira2 gitu deh...

hesra

goresan pena mengatakan...

sekedar mengutip apa yang pernah di tulis Tan Malaka, kalau tidk salah, begini bunyinya..
"...dulunya tidak ada perjuangan, tapi setelah ada penjajahan maka menjadi ada. dulu tidak ada Indonesia, yang ada hanya dataran yang dijajah belanda, tapi kemudian menjadi ada.."
eh, salah gak yah...ya, kira2 gitu deh...