Kamis, 18 Maret 2010

Kembalikan Tanah Kami

SEKAYU - Ratusan petani mengatasnamakan Serikat Petani Desa Sinar Harapan (SPSH) Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Muba, Rabu (17/3) menggelar aksi demo di depan Pemkab

Muba menutut penyelesaian sengketa tanah mereka. Selain itu warga juga menuntut Pemkab dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera memberikan dokumen surat keputusan penempatan warga dan pembentukan Desa Sinar Harapan serta HGU perusahaan PT BSS.

Setiba di depan Pemkab Muba, warga menggelar orasi dipimpin koordinator aksi Hadi Jatmiko yang berhadapan dengan pagar betis aparat Dalmas Polres Muba dan Sat Pol PP. Dalam uraiannya

terungkap, 73 hektare lahan akan terus diperjuangkan untuk diinclave dan dikembalikan kepada masyarakat.

Menurut warga, 73 Ha lahan ini telah bersertifikat resmi dan sebagian memiliki bukti keterangan usaha yang berada di wilayah Desa Sinar Harapan yang telah disyahkan oleh Direktorat AgrariaSumsel Tahun 1983.

Atas tuntutan warga ini telah dilakukan berulangkali pengukuran lahan oleh tim Pemkab melalui BPN Muba dan Pemprov Sumsel serta pihak perusahaan, namun belum ada penyelesaian.

Kedatangan warga ini diterima oleh Kabag Tata Pemerintahan Pemkab Muba, Drs Amsin untuk musyawarah. Pertemuan juga menghadirkan Kepala BPN Muba, Sri Hadi Marwoto yang menjelaskan

kalau masalah ini juga sedang diselesaikan Pemprov Sumsel dan sudah memasuki persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Warga diminta menyerahkan bukti sebelum dilakukan kesimpulan di PTUN,” kata Sri.

Sriwijaya Post - Rabu, 17 Maret 2010 19:41 WIB



Selasa, 02 Maret 2010

Walhi Sumsel Ancam Gugat Pemprov Terkait Banjir

Selasa, 2 Maret 2010 04:57 WIB | Warta Bumi | Masalah Lingkungan |

Palembang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Sumatra Selatan (Sumsel) mengancam akan mengajukan gugatan "legal
standing" kepada pemerintah provinsi setempat dalam bulan ini karena
menilai tidak mampu menyikapi dan menanggulangi bencana alam yang
melanda warga daerah ini.

Kepala Divisi Pengembangan Sumberdaya Organisasi WALHI Sumsel, Hadi
Jatmiko, mendampingi Direktur Eksekutifnya, Anwar Sadat, di Palembang,
Senin malam, mengatakan, akibat dari bencana alam banjir yang melanda
warga Sumsel pada sedikitnya delapan kabupaten/ kota di daerah itu cukup
memprihatinkan.

Ia menyebutkan, kerugian yang dialami oleh warga sangat besar, antara
lain sebanyak 11.600 hektare (ha) lahan pertanian warga terendam banjir
dan 4.000 ha dipastikan mengalami gagal panen (puso).

Kerugian belum termasuk rumah warga yang terendam banjir, dengan
klasifikasi kurang lebih 2.000 rumah yang terendam total berlokasi di
Kabupaten Musi Rawas (Mura), Musi Banyuasin (Muba), Ogan Ilir (OI), dan
Ogan Komering Ilir (OKI), serta berkisar 10 ribu rumah warga terendam
dari 30 centimeter (cm) hingga satu meter lebih di sejumlah wilayah
mengalami banjir itu.

Menurut dia, pemerintah di daerah itu tidak mampu menyikapi persoalan
yang dihadapi oleh warga akibat genangan banjir tersebut.

Dia menilai, pemda setempat tidak bisa berbuat apa-apa atas bencana alam
yang terjadi di daerah itu, antara lain akibat perilaku buruk terhadap
lingkungan hidup, seperti penebangan liar, alihfungsi lahan, serta
perubahan fungsi rawa yang berfungsi sebagai kawasan penyerapan untuk
permukiman, perkantoran dan kepentingan bisnis.

Hadi menambahkan, banjir yang melanda di sejumlah daerah itu juga telah
mengakibatkan enam orang meninggal dunia, dan warga korban banjir
umumnya mulai diserang penyakit diare, gatal-gatal dan juga infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA).

Karena alasan itulah, WALHI Sumsel menyiapkan butir-butir penting yang
mereka cantumkan dalam pengajuan gugatan "legal standing" tersebut,
yaitu berkaitan dengan lingkungan hidup, hak asasi manusia (HAM), dan
tanggap bencana.

WALHI Sumsel menilai, pemerintah telah lalai dan harus bertanggung jawab
atas bencana banjir yang melanda warganya itu.

Secara terpisah Nachung, Sekjen Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sumsel,
menentang sikap Gubernur Sumsel, H Alex Noerdin, dengan menganggap
banjir yang melanda di Kabupaten Mura merupakan tanggung jawab Pemprov
Bengkulu.

"Seharusnya Pemprov Sumsel dan Gubernur berpikir bila persoalan banjir
diakibatkan marak penggundulan hutan di daerah itu, belum lagi
pengalihfungsian lahan gambut menjadi lahan perkebunan dan sistem
penataan kota yang tidak beraturan," kata dia lagi.

Menurut dia, tidak tepat menyalahkan pihak lain sebagai penyebab
kebanjiran yang menenggelamkan puluhan ribu lahan dan rumah warga tersebut.

Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah sikap dan tindakan
mengantisipasi terjadi banjir.

"Kalaupun tidak dapat dihindari, semestinya diambil langkah bagaimana
mengambil tindakan cepat untuk pengevakuasian korban banjir, bukan malah
mencari siapa yang bertanggung jawab. Ini menunjukkan buruknya sistem
pemerintah kita," kata dia lagi. (B014/K004)




Senin, 01 Maret 2010

Kondisi Daratan Kota Palembang Parah

Sriwijaya Post - Selasa, 2 Maret 2010 09:42 WIB

*PALEMBANG* - Siklus lima tahunan tidak serta-merta menjadi faktor utama banjir di Palembang. Siklus lima tahunan itu diperparah oleh kondisi daratan di Kota Palembang. Banyak rawa di kota yang awalnya menjadi tempat resapan air sudah hilang sehingga menyebabkan air menyebar ke berbagai wilayah daratan.

"Kota Palembang sebetulnya sebuah kota diatas rawa-rawa yang dipengaruhi pasang surut. Ketika rawa masih ada, air permukaan akan mengalir masuk ke rawa-rawa yang letaknya memang rendah," ujar Manajer PSDO Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, Senin (1/3).

Luas rawa di Kota Palembang sendiri menurut catatan Walhi Sumsel mencapai 70 persen dari luas wilayah kota. Ketika air yang jatuh diatas 70 persen wilayah rawa tidak ada tempat penampungan, maka air akan lari dan mengalir ketempat lain.

Hadi mengakui rawa di Kota Palembang sudah mengalami degradasi. Antara tahun 1999-2004 telah terjadi alih fungsi rawa secara besar-besaran di Palembang, yakni pembangunan berbagai sarana Pekan Olahraga Nasional (PON) yang dipusatkan di Jakabaring yang awalnya adalah kawasan rawa. Selanjutnya antara tahun 2004-2008 tercacat terjadi pembangunan besar-besaran dikawasan tersebut terkait dengan rencana pembangunan Palembang sebagai Kota Internasional.

"Kita sepakat dengan pembangunan, tetapi bagaimana mensinergikan berbagai pembangunan dengan lingkungan," tegas Hadi.

Sementara Perda Kota Palembang No 5 Tahun 2008 yang mengatur mengenai rawa, dinilai Walhi Sumsel tidak berfungsi. Tidak ada pengawasan terhadap pelaksanaan konversi rawa di Kota Palembang. Padahal dalam perda dibuat aturan-aturan pelaksanaan konversi.

Ada kesan luasan rawa yang menjadi lampiran perda tersebut, sengaja ditutup-tutupi. "Walhi Sumsel yang yang mencoba meminta lampiran peta rawa dari perda tersebut ke pihak Pemkot Palembang, tidak mendapatkannya dengan alasan peta sudah hilang," katanya.

Dalam perda tersebut, meski isinya tidak menggembirakan dibandingkan perda sebelumnya, diatur pasal-pasal kewajiban pengembang yang membangun diatas rawa. Kalau dulu hanya 1.000 meter persegi yang bisa dikonversi, kini berubah menjadi 20 ribu meter persegi yang bisa dikelola pihak lain.

Celakanya dalam proses konversi pun tidak ada pengawasan. Padahal pengembang yang melakukan pembangunan dengan luas sampai 10 ribu meter persegi wajib untuk membangunan drainase yang baik. Sedangkan yang membangun diatas 10 ribu meter persegi wajib untuk membuat retensi.