Sabtu, 13 Februari 2010

Walhi Sumsel Sinyalir Ilegal Logging di Lalan

Sriwijaya Post - Jumat, 12 Februari 2010 21:11 WIB

PALEMBANG - Walhi Sumsel mensinyalir terjadi praktik ilegal logging dikawasan Hutan Produksi Sungai Lalan Kabupaten Muba yang luasnya 230.000 hektare. Praktik itu diduga merugikan negara triliunan rupiah mengingat sudah berlangsung sejak 1980-an hingga 2001 lalu diteruskan hingga sekarang dengan pelaku atau perusahaan yang berbeda.

Menurut Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat di Kantor Walhi Sumsel, modusnya perusahaan tersebut melakukan pembalakan dan mendrop kayu-kayu tersebut kesejumlah sawmill disepanjang Sungai Merang dan Kepayang. Jumlah sawmill yang diperkirakan jumlahnya banyak.

"Data yang dihimpun Walhi Sumsel, untuk satu hari volume kayu yang keluar mencapai 300 hingga 2.000 meter kubik. Kalau satu minggu mencapai 2.100-14 ribu meter kubik. Kalau sebulan atau setahun, bisa diperkirakan besarnya," ujar Sadat.

Kayu yang dihasilkan sawmill tersebut menurutnya dibawa ke Palembang dan beberapa daerah di Provinsi Sumsel. Bahkan ada yang dibawa ke Jakarta.

Dijelaskan oleh Sadat, hutan produksi Lalan dinilai sebagai hutan yang masiht tersisa di Provinsi Sumsel. Menurutnya di hutan tersebut masih ada tegakan kayu-kayu yang besar, lebih besar dari pelukan tangan orang dewasa.

Oleh karena itu Walhi Sumsel meminta agar dilakukan operasi secara serius untuk memberantas pembalakan liar. Selain itu juga melakukan penyelidikan terhadap oknum pelaku dan juga yang menjadi backing. Walhi Sumsel juga menuntut agar seluruh sawmill disepanjang Sungai Merang dan Kepayang.
Soegeng Haryadi





Rabu, 10 Februari 2010

Rencana Operasi TransMusi harus di Tunda

Seiring dengan semakin pesat nya pembangunan yang ada di Kota Palembang, telah menyebabkan banyak juga bermunculan persoalan persoalan, baik itu Persoalan lingkungan maupun persoalan Transportasi. Adapun untuk persoalan Lingkungan yaitu tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sampai saat ini belum memenuhi Quota luas 30% seperti yang telah dimandatkan UU 26/2007 tentang tata ruang, selain itu terdapat persoalan alih fungsi RTH dan Rawa menjadi Kawasan Bisnis, Perkantoran, Mall Industri dan perumahan. Sedangkan Persoalan di sector Transportasi adalah kemacetan yang semakin hari semakin memprihatinkan, berdampak terhadap peningkatan Suhu Udara yang ada dikota Palembang , akibat dari banyaknya emisi carbon dihasilkan secara sia sia dari Bahan bakar kendaraan.

Beberapa kajian dari para akademisi, Aktifis Lingkungan dan pemerhati Transportasi telah menyebutkan beberapa faktor penyebab terjadinya kemacetan di kota palembang, yaitu disebabkan oleh banyaknya Kendaraan bermotor yang ada, Tidak dipatuhinya Peraturan (rambu-rambu) lalu lintas yang ada dijalanan oleh para pengemudi kendaraan Bermotor, tidak di tegakanya hukum lalu lintas oleh Aparat penegak hukum, dan penumpukan jumlah kendaraan umum pada rute rute yang ada di kota palembang.

Menjawab persoalan diatas, saat ini Pemerintah kota Palembang telah melakukan pengembangan program transportasi massal, yang nyaman, aman, tepat waktu dan ramah lingkungan dengan out put yang diharapkan dari Program ini dapat mengalihkan/mengurangi pengguna kendaraan bermotor Pribadi, menjadi pengguna transpotasi Massal, sehingga mengurangi kepadatan Kendaraan di jalan jalan yang berarti mengurangi Carbon yang di Konsumsi oleh Atmosfer bumi. Rencana pengembangan system Transportasi Massal ileh PEMKOT ini sebenarnya Patutlah kita berikan apresiasi. namun yang harus menjadi catatan bagi Pemerintah kota dalam melakukan pengembangan program ini tidaklah cukup dengan sekedar seremonial tetapi harus ada upaya yang sistematis, melingkupi hal-hal teknis operasi sampai dengan Infrastruktur penunjang lain nya, semua hal ini harus terintegrasi dalam sebuah panduan pengoperasian atau disebut Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)

AMDAL berdasarkan Undang Undang dan peraturan yang ada dalam hal ini, UU no 32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup, PERMEN LH No 11/ 2006 tentang Kegaiatn Wajib Amdal, dan PP no 27 / 1999 tentang AMDAL,adalah sebuah Dokumen yang wajib dimiliki oleh setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan Hidup, sedangkan untuk Fungsi AMDAL itu sendiri merupakan sebuah Dokumen yang digunakan sebagai panduan/alat control dari setiap kegiatan yang akan dilakukan,baik itu saat Pra Kegiatan, Kegiatan dan Pasca kegaiatn sehingga dengan adanya Dokumen ini kegiatan yang dilakukan akan mampu mencapai tujuan senbagaimana yang diinginkan.

Transportasi massal yang diberi nama Bus Rapid Trans(BRT) Transmusi oleh PEMKOT palembang adalah salah satu kegiatan atau usaha yang mempunyai dampak terhadap Lingkungan hidup seperti Polusi udara, Kebisingan, dan lain nya sehingga wajib jika rencana kegiatan ini harus dilengkapi dengan AMDAL,.Namun menjadi persoalan ternyata sampai dengan akan di operasikan sebanyak 25 bus pada tanggal 10 februari 2010 besok, pada Koridor AAL – Ampera, dan koridor Terminal Sako – Palembang Indah Mall (PIM), tidaklah memiliki sedikitpun Kajian Lingkungan Hidup dan/atau AMDAL. atas temuan ini pantas bila kita berpandangan pesimis terhadap pencapaian tujuan program ini dan malah berpikir Trans Musi hanya akan menjadi persoalan baru terhadap Transportasi dan Lingkungan Hidup di kota Palembang, yang mempunyai Visi Misi mewujudkan kota Green, Blue dan Clean.




POLDA Sumsel Menolak Laporan,Warga Sido Mulyo Kecewa

Palembang (WALHI sumsel) .4 Orang Warga Sido Mulyo Banyuasin di dampingi oleh 2 Orang perwakilan dari Walhi Sumsel, Hari ini Selasa 09/02 tepat Pukul 10.30 Wib, mendatangi Markas POLDA Sumsel yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Palembang, adapun maksud dan tujuan warga mendatangi Polda Sumsel, untuk melaporkan PT.PN VII atas Aksi Penghadangan yang dilakukan oleh Perusahaan, terhadap Aksi Ruwatan Kampung yang dilakukan Warga sido mulyo pada hari Rabu 03/02 dilahan Milik mereka seluas 387 Ha yang selama ini di Klaim oleh Pihak PT.PN VII.

Sempat terjadi keteganggan antara Warga dengan Pihak POLDA sumsel dalam hal ini bagian Reskrim karena laporan warga tidak diterima (Ditolak.red) oleh Pihak POLDA Sumsel, dengan alasan laporan ini bukan wewenang POLDA untuk menerima nya, apalagi segala barang bukti dan TKP berada di wilayah Polres Banyuasin dan sudah sepantasnya warga melapor ke Polres. Ungkap Pihak Polisi yang di tirukan oleh M.Fadli perwakilan dari Walhi Sumsel.

Namun pernyataan itu dibantah oleh Warga dan Walhi sumsel, warga menilai pihak Polda harusnya menerima laporan mereka sebab kabupaten Banyuasin itu juga wilayah hukumnya Polda Sumsel, apalagi saat melapor warga membawa bukti-bukti saat penghadangan yang dilakukan oleh Preman suruhan PT.PN VII dan kami pun pernah dikecewakan oleh Pihak POLRES Banyuasin, pada tahun 2007 kami pernah melaporkan hal serupa tapi oleh Pihak POlres tidak di tindak lanjuti, jadi dengan kami melapor ke sini, Hal tersebut tidak terulang lagi. Ungkap M.Fadli Deputy Walhi, saat berada di Kantor WALHI Sumsel.

“Harusnya pihak POLDA tidak boleh menolak laporan Warga karena Banyuasin wilayah Sumatera selatan,yang berarti wilayah hukum Polda Sumsel, apalagi tahun 2007 kemaren warga pernahdikecewakan oleh POLRES dengan tidak ditindak lanjuti nya laporan kami” kata Fadli.

Seperti yang kami beritakan Sebelumnya, Pada Tanggal 3 Februari 2010 yang lalu,sebanyak 200 orang warga sido Mulyo Banyuasin melakukan Aksi Ruwatan Kampung di Lahan 387 Ha milik warga yang selama ini di Klaim oleh PT.PN VII, Namun Aksi Ruwatan Kampung tersebut gagal karena warga dihadang oleh 1.500 Orang bayaran Perusahaan PT.PN VII, yang setiap orang bayaran tersebut dibekali Senjata Tajam,Senjata Api dan Kayu.

Atas Penolakan laporan tadi oleh POLDA sumsel, Saat ini dengan maksud yang sama dan juga meminta perlindungan Hukum dari Pihak kepolisian, Perwakilan Warga sidomulyo tersebut, telah berangkat menuju Kantor POLRES Banyuasin (Mlx)




Selasa, 02 Februari 2010

1.500 Orang bersenjata tajam menghadang warga sidomulyo

Walhi 03/02 Sido mulyo Banyuasin. Hal ini diungkapkan oleh Mahmud Kades Sidomulyo Kabupaten Banyuasin , saat di hubungi melalui ponsel nya pukul 10.30 Wib tadi, dalam komunikasi tersebut Mahmud menjelaskan bahwa sebanyak 1500 orang yang dibekali dengan senjata tajam Lengkap itu ,menghadang warga saat warga akan memulai kegiatan Sedekah Bumi pada pukul 10.00 pagi tadi, dan sekarang 1500 Orang tadi, telah membangun Posko Posko penjagaan di Lahan Kelapa Sawit Milik Warga yang selama ini di klaim oleh PT. PN VII.

Saat ditanya apakah dia tahu siapa orang orang itu dan asalnya dari daerah mana. Mahmud mengatakan Orang orang tersebut adalah orang bayaran PT. PN VII yang selama ini sering melakukan intimidasi terhadap warga yang menolak lahan nya di rampas oleh Perusahaan, sedangkan untuk asal daerah, mereka berasal dari Betung, dan Desa lain yang mendukung usaha PT. PN VII. ( karyawan: red)

“ Kami dihadang 1500 Orang bersenjata lengkap yang berasal dari Betung dan desa lain yang ada PT. PN nya agar kegiatan yang telah kami rencanakan kemaren batal” kata mahmud.

Berdasarkan Informasi yang kami dapat dari warga Sidomulyo siang kemarin (02/02) via SMS, Hari ini Warga berencana mengadakan kegiatan Sedekah Bumi yang diteruskan dengan pembuatan batas lahan warga dari tanggal 3 – 10 Februari 2010, yang selama ini, lahan seluas lebih dari 387 Ha dirampas oleh PT. PN VII digunakan untuk usaha Perkebunan Kelapa Sawit.

Atas penghadangan yang dilakukan oleh orang bayaran perusahaan tersebut terhadap rencana kegiatan mereka, warga menunda kegiatan Sedekah Bumi nya untuk sementara waktu, namun mereka tetap berkumpul menjadi satu di posko yang telah di siapkan sebelum, sambil menunggu pihak kepolisian membubarkan orang orang bayaran tersebut.(mlx)






Setop Alih Fungsi Rawa di Palembang

PALEMBANG--MI: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan (Sumsel) mendesak pemda dan para pihak di daerah itu untuk menghentikan segala bentuk alih fungsi, termasuk penimbunan rawa di Kota Palembang menjadi kantor pemerintah maupun kepentingan bisnis swasta.

Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, mendampingi Direktur Eksekutif, Anwar Sadat, di Palembang, Selasa (2/2), menegaskan desakan setop alih fungsi rawa itu, guna mencegah bencana dan memaksimalkan resapan air untuk menghindari banjir.

Hadi menyebutkan, sebagian dari luas Kota Palembang 40.000 ha adalah rawa yang berdasarkan Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1991 didefinisikan bahwa rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat, serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis.

"Atas dasar inilah maka wajib bagi pemerintah untuk menjaga dan melindungi ekosistem rawa itu," kata Hadi pula.

Namun kenyataan yang terjadi saat ini, lahan rawa yang tadinya mempunyai luas 22.000 ha, kini hanya tersisa sekitar 30 persen dari luas tersebut (7.300 ha ). Penyusutan lahan rawa itu, akibat alih fungsi rawa yang dijadikan perumahan, perkantoran dan pergudangan oleh pihak swasta maupun pemda itu sendiri.

Dia mencontohkan, konversi rawa oleh PT Orchid Residence Indonesia seluas 8 ha untuk pembangunan apartemen, pembangunan Komplek Perumahan Citra Grand City oleh Ciputra Grup dengan luas lahan rawa mencapai 60 ha, pembangunan kantor Bank Sumsel di Jakabaring seluas 3 ha, pembangunan gedung DPRD Kota Palembang 5 ha, dan pembangunan fasilitas lainnya.

Parahnya, menurut Hadi, konversi rawa tersebut dilegalkan oleh Pemerintah Kota Palembang melalui Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Pengendalian dan Retribusi Lahan Rawa, dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa untuk pengalihfungsian lahan rawa di Kota Palembang, pengembang cukup dengan membayar retribusi sesuai yang telah ditetapkan.

Atas bertambah luas lahan rawa yang dikonversikan itu (tersisa 7.300 ha), membuat Kota Palembang terus mengalami bencana banjir, baik banjir yang diakibatkan oleh hujan maupun karena pasang surut air Sungai Musi. Tetapi dengan rentannya bencana banjir tersebut, tidaklah menjadikan Pemkot Palembang dan Pemprov Sumsel untuk menghentikan semua kebijakan yang telah mengizinkan alih fungsi rawa di kota Ini, kata Hadi pula.

Dia menyebutkan keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang yang masih memberikan Izin terhadap rencana pembangunan gedung perkantoran untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel seluas 80 ha di lahan rawa Jakabaring, serta pemberian izin terhadap pembangunan gedung Carrefour seluas 5 ha di Jakabaring dalam waktu dekat ini yang juga mengalihkan fungsi lahan rawa.

Padahal dengan kebijakan itu, lanjut Hadi, dapat dipastikan bahwa ke depan akan semakin meluas dan merata bencana banjir di seluruh pelosok kota itu. Karena itu, Walhi Sumsel menolak rencana pembangunan kompleks perkantoran Pemprov Sumsel, gedung Carrefour, dan lainnya yang akan mengalih fungsikan (penimbunan) lahan rawa di Jakabaring karena akan berdampak timbul bencana banjir. (Ant/OL-03)



Hitler Protes keras atas Keluarnya album lagu aku pasti kesana milik nya SBY.