Jumat, 12 Juni 2009

SBY, JIL, & PKS

Oleh: Saripudin H.A.

Pemilihan Presiden 2009 diwarnai banyak fenomena menarik, lucu, dan kontradiktif. Tiga hari setelah deklarasi di Sabuaga, Bandung pada 15 Mei 2009, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono mengubah tag line-nya dari "SBY Berboedi" menjadi SBY-Boediono. Perubahan ini dilakukan Tim Sukses setelah mendapat informasi bahwa di Sumatera Selatan kata "Budi" berarti bohong. Disesalkan tentunya karena deklarasi yang menghabiskan dana Rp 10 milyar itu dikonsep secara amatiran. Aku sendiri sejak awal menyindir tag line tersebut di status facebook-ku dengan "SBY-Booo".

Pasangan SBY-Booo juga menarik karena menyatukan dua orang yang bergerak lambat. Kesamaan ini bisa berefek negatif pada sinergi kepemimpinan. Ketika Umar bin Khatthab, sahabat Nabi Muhammad SAW, naik ke kursi khalifah, hal pertama yang dilakukannya adalah memberhentikan sahabat Khalid bin Walid dari jabatan panglima perang. Menurut penulis biografi terkemuka asal Mesir, Abbas M. Aqqad, kebijakan Umar tersebut didasari perspektif kepemimpinan, bahwa tidaklah baik menyatukan dua orang yang berkarakter keras dalam pucuk pimpinan negara. Jadi, simpul Aqqad, kesamaan karakter pucuk pimpinan negara merupakan bahaya laten bagi keselamatan dan kemajuan bangsa.

Fenomena menarik dan lucu lainnya dalam Pilpres 2009 adalah bersatunya dua komunitas bermusuhan dalam satu selimut SBY. Ataukah SBY punya banyak selimut untuk melakukan poligami koalisi?

Dua komunitas bermusuhan tersebut adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Secara resmi, tentu saja yang berkoalisi dengan SBY hanya PKS. Sedangkan JIL sebagai kelompok kepentingan (interest group) bersikap manja, menggelayut mesra pada SBY.

Sejoli Ical-Andi

Setidaknya ada dua "pengawal" yang menjaga keintiman JIL-SBY. Pertama, "sejoli" Abu Rizal Bakrie-Andi Mallarangeng. Sampai awal tahun lalu, kedua orang dekat SBY itu tampak berjauhan. Abu Rizal Bakrie (Ical) masih terkesan lebih dekat dengan Jusuf Kalla ketimbang SBY. Namun, memasuki masa kampanye di tahun 2008, kedekatan keduanya mulai terbangun. Jangan harap pembangunan hubungan itu terjadi secara kelembagaan, tetapi lebih bersifat personal, sebagaimana umum ciri perilaku elite politik Indonesia—meminjam analisis Prof. Deliar Noer.

Sebagai pengusaha bermasalah, Ical bersikap pragmatis. Ia tentu saja memerlukan backing politik dan itu dilihatnya ada pada figur SBY, yang menurut survei bakal muncul sebagai pemenang Pilpres 2009. Di sini Rizal Mallarangeng, adik Andi dan Direktur Eksekutif Freedom Institute yang didanai Ical, berperan penting sebagai jembatan kongsi politik baru tersebut. Mallarangeng Bersaudara (ditambah si bungsu Zulkarnaen Mallarangeng) adalah pendiri Fox Indonesia, yang menjadi konsultan PR Tim Sukses SBY-Boediono.

Di Freedom Institute, Rizal Mallarangeng dibantu oleh barisan tokoh JIL, seperti ustadz Luthfi Assyaukanie (deputi direktur), Saiful Mujani (direktur riset), ustadz Hamid Basyaib (direktur program), Ahmad Sahal (Associates) , dan ustadz Ulil Abshar Abdalla (Associates) . Associates Freedom lainnya adalah Andi Mallarangeng, M. Chatib Basri, Mohamad Iksan, dan Nirwan Dewanto. Dari fungsionaris Freedom itu, hanya ustadz JIL Hamid Basyaib yang maju sebagai calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan. Meski begitu, Hamid tidak melakukan kritik signifikan pada pencapresan SBY.

Di Fox Indonesia, Zulkarnaen Mallarangeng (Coel) duduk sebagai direktur eksekutif. Selain Andi Mallarangeng, R. William Liddle dan Takeshi Kohno tercatat sebagai konsultan politik. Liddle adalah guru besar dari sejumlah tokoh JIL dan direktur lembaga survei/riset, seperti Saiful Mujani (LSI Lembaga), Denny JA (LSI Lingkaran), dan Rizal Mallarangeng (Freedom Institute). Anda tentu masih ingat, bahwa Fox Indonesia "merusak" kontraknya dengan Sutrisno Bachir melalui aksi sentimental Rizal Mallarangeng memajukan diri sebagai capres 2009.

Selain melalui Freedom Instutute, Fox Indonesia dan LSI Lembaga, Andi Mallarangeng juga memasok data untuk SBY melalui Indonesian Research and Development Institute (IRDI), yang ia dirikan bersama Notrida G.B. Mandica. Meski di lembaga yang akhir ini tak semuanya digerakkan oleh penganut teguh (true believer) Islam liberal.

Jika Ical berkepentingan mencari backing politik, Andi Mallarangeng tentu berkepentingan agar bisnis public relation Fox Indonesia berjalan. Lalu, apakah kepentingan tokoh-tokoh JIL mendukung all out SBY?

Liberalisme Boediono

Jawabannya adalah faktor ideologis pada "pengawal" kedua, yaitu Boediono. Tokoh pertama yang mendukung pencalonan Boediono sebagai (ca)wapres SBY adalah Goenawan Mohamad. Penerima Anugerh Bakrie Award dari Freedom Institute adalah jurnalis dan sastrawan sosialis-liberal yang menyediakan "rumah" bagi JIL di Komunitas Utan Kayu. Di sini Boediono didukung karena liberalisme anggota Mafia Barkeley ini.

Ketika memberikan dukungan untuk program BLT dari Presiden SBY melalui iklan besar-besaran di media massa (yang menunjukkan support Ical pada SBY), Freedom Institute mendasari dukungan itu pada liberalisme ekonomi yang menghendaki dikuranginya, jika tidak dihapusnya, subsidi pada bahan bakar. Kampanye ini berbeda dengan alasan kebijakan yang sama di masa Megawati Soekarnoputri yang bersifat lebih taktis anggaran, dan cikal-bakalnya berupa Jaring Pengaman Sosial (JPS) di masa B.J. Habibie.

Selain liberalisme, dukungan JIL pada SBY-Boedino juga disebabkan faktor lainnya, yang tak dibuka ke publik. Faktor ini adalah terhentinya support dana luar negeri untuk JIL. "JIL sudah mati, Mas. Sudah tak ada program. Kontraknya sudah habis. Tinggal kasak kusuk dan sisanya saja," bisik seorang teman yang dekat dengan tokoh-tokoh JIL.

Berharap pada PKS?

PKS adalah partai politik yang didirikan oleh gerakan (harakah) yang biasa disebut "Tarbiyah". Yaitu, gerakan bawah tanah, yang merupakan "cabang" dari al-Ikhwan al-Muslimun, yang berpusat di Mesir.

Harakah Tarbiyah masuk ke kampus-kampus di Indonesia pada masa NKK-BKK, antara lain melalui dukungan Soeripto (kini politisi PKS), intel yang menjadi pejabat tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1980-an. Kehadiran Rohani Islam di sejumlah kampus besar ini menjadi "rumah" bagi mahasiswa yang tak lagi punya saluran politik di internal kampus. Tahun 1980-an dikenal dengan maraknya kelompok-kelompok diskusi mahasiswa, yang salah satunya adalah jaringan halaqah, kelompok diskusi dari gerakan bawah tanah Tarbiyah.

Tokoh penting gerakan Tarbiyah yang muncul ke permukaan di awa adalah Abu Ridha, lalu KH Rahmat Abdullah. Rahmat bahkan dipercaya menjadi Ketua Majelis Syura sejak transformasi Tarbiyah sebagai gerakan menjadi partai politik bernama Partai Keadilan (kini PKS). Ketua Majelis Syura adalah tokoh nomor satu dalam struktur partai politik Islam ini. Sejatinya, KH Rahmat Abdullah yang diberi gelar Syeikh al-Tarbiyah, semacam Godfather Tarbiyah, bukanlah tokoh nomor satu di harakah ini. Godfather Tarbiyah sejati baru muncul setelah KH Rahmat wafat dan menggantikan kedudukannya di kursi Ketua Majelis Syura PKS. Dialah Hilmi Aminuddin, tokoh misterius yang profilnya belum banyak diungkap.

Ustadz Hilmi Aminuddin lahir dari ayah bernama Danu Muhammad Hasan, tokoh penting NII (DI/TII) dari Cirebon, antara lain pernah menjadi panglima perang. Hilmi sendiri, menurut sebuah posting, pernah menjadi Menteri Luar Negeri NII komando Adah Djaelani. Ia pernah ditangkap oleh Kopkamtib pada 1980, ditahan selama kurang lebih 3 tahun namun kemudian dilepaskan dari Rumah Tahanan Militer Cimanggis tanpa melalui persidangan pada 1984. Sejak itu Hilmi menjadi binaan Intel dan berhubungan akrab dengan L.B. Moerdani dan Soeripto. Ialah yang membawa gerakan ini ke Indonesia, selain mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mesir dan Arab Saudi (yang berhubungan dengan dosen-dosen asal Mesir).

Karena itulah, Wakil Kepala BIN M. As'ad menilai kemunculan Hilmi Aminuddin setelah kematian KH Rahmat Abdullah (2005) terlalu dini. Penilaian As'ad itu penulis dengar saat penulis mendampingi pimpinan MPR dalam suatu pertemuan menjelang musyawarah Majelis Tarjih Muhammadiyah (2006). Tampaknya khawatir bahwa Hilmi akan menjadi sasaran tembak bagi orang atau kelompok yang berniat menjatuhkan PKS, tidak terbukti sejauh ini, antara lain berkat strategi komunikasi PKS yang sukses "menyembunyikan" supremasi Ketua Majelis Syura PKS dari perhatian pers.

Dalam suatu brosur yang diterbitkan oleh PKS DPW DKI Jakarta di Pemilu Legislatif 2009 kemarin, disebutkan bahwa PK (berdiri pada 9 Agustus 1998) adalah partai Islam pertama yang berasas Islam. Klaim ini ahistoris, jika tidak menyebutnya dusta.

PK, juga PBB, adalah partai Islam yang didirikan dengan asas Pancasila. Alasannya normatif, hukum positif memerintahkan itu. Partai Islam yang memakai Islam sebagai asas sejak awal berdiri di awal reformasi adalah Partai Ummat Islam (PUI, berdiri pada 26 Juni 1998, dipimpin Prof. Deliar Noer). Baru, setelah ada kesepakatan DPR-Pemerintah mengenai bolehnya partai politik era reformasi berasas agama (yang diikuti dengan lahirnya UU Partai Politik 1998), PK dan PBB mengganti asasnya dengan Islam.

Ideologi al-Ikhwan al-Muslimun yang diadopsi PKS jelas bertentangan dengan ideologi liberalisme JIL. Lalu apakah yang diharapkan dari dukungan PKS pada SBY? Menurut Anis Matta, koalisi PKS dengan Partai Demokrat dan SBY dimaksudkan untuk semata-mata menciptakan konstalasi politik yang memungkinkan PKS tumbuh. Hal ini dicapai antara lain dengan menempatkan tokoh-tokoh partai pada jabatan publik.

Selama 2004-2009 PKS mendapat kursi Menteri Pertanian, Menteri Perumahan Rakyat, dan Menteri Pemuda dan Olahraga dalam kabinet SBY. Ini berbanding lurus dengan 45 kursi legislatif PKS di Senayan. Padahal sebelumnya, PKS hanya menempati pos Menteri Kehutanan. Kini, dengan kursi 57 buah, harapan penambahan kursi atau signifikansi kursi tentu diminta pimpinan PKS.

Dalam rangka koalisi PKS dengan Partai Demokrat untuk mengusung pasangan SBY-Boediono, beredar isu PKS menginginkan kursi Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama, dua kursi yang biasanya diberikan kepada tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU. Isu ini diramaikan oleh terbitnya buku ILUSI NEGARA ISLAM, yang menyerang PKS. Buku ini diantar ke publik oleh tokoh NU (KH A. Mustofa Bisri) dan Muhammadiyah (yang liberal, seperti Prof. A. Syafii Maarif).

Rasanya, jika pasangan SBY-Boediono menang nanti, sulit bagi SBY memberi jatah kursi Menteri Agama kepada PKS, disebabkan antara lain jaringan anak muda NU yang kuat di dalam JIL. Namun, mungkin mengalihkan kursi Menteri Pendidikan Nasional kepada PKS. Hal ini disebabkan ketidakjelasan sikap tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam memberikan dukungan kepada SBY-Boediono.

Di luar ideologi, dan jatah menterinya nanti, yang jelas politisi-politisi PKS di lembaga perwakilan berhasil membangun citra bersih. Ketika suatu kasus korupsi terungkap, misalnya, politisi-politisi PKS segera memulangkan uang korupsi yang diterima. Meski ini, secara normatif, tidak menghilangkan pidana korupsi yang telah dilakukan.

Dalam masalah program pro-rakyat, umumnya politisi-politisi PKS di Senayan sering bersikap kritis hangat-hangat tahi ayam. Mereka kritis pada rencana kebijakan pemerintah, seperti soal Blok Cepu dan pengurangan subsidi BBM. Namun, setelah pucuk pimpinan mereka bertemu, misalnya dengan Presiden SBY pada kasus Blok Cepu, sikap politik PKS pun berubah. "Menurut Aria Bima, setiap PKS bermanuver, maka PKS ditekan dan dikaitkan dengan masalah terorisme," tulis investorindonesia. com, Wednesday, 29 March 2006. "(T)ekanan terhadap fraksi… itu berasal dari pemerintah maupun Amerika Serikat (AS)."

Tentu, tak semua politisi PKS mau ditekan. Misalnya, Marwan Batubara tetap teguh memperjuangkan kemandirian sumber daya alam nasional. Sayangnya, tokoh seperti ini tergusur dari partai. Tahun ini ia tak maju lagi jadi calon anggota DPD. Isu bahwa ia akan maju sebagai calon anggota DPR, juga tidak terbukti.

Jika pola tekan terorisme terhadap PKS terus dipertahankan, rasanya harapan bahwa partai ini akan bersikap kritis terhadap kebijakan liberal pro-pasar dan Barat dari SBY-Boediono nantinya akan tinggal harapan. Apakah ke depan PKS akan lebih berani? Pertanyaan ini perlu diajukan, mengingat 2014 adalah tahun Grand Design Indonesia ala PKS, sebagaimana pernah dinyatakan oleh sang Presiden Tifatul Sembiring.

Di Psoting dari Blog Tetangga : http://saripudinha. blogspot. com/2009/ 06/sby-jil- dan-pks.html



Tidak ada komentar: