Selasa, 11 Maret 2008

Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu
“Megatruh Kambuh”



Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu
Penyair besar Ronggowarsito, di pertengahan abad 19,
menggambarkan zaman pancaroba sebagai “Kalatida” dan
“Kalabendu”.

Zaman “Kalatida” adalah zaman ketika akal sehat
diremehkan. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan

buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral
adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi
merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi
di lapisan atas dan bawah.

Zaman “Kalabendu” adalah zaman yang mantap
stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah
penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama
menghianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa
ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di
samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat
dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan
disingkirkan.

Gambaran sifat dan tanda-tanda dari “Kalatida” dan
“Kalabendu” tersebut di atas adalah saduran bebas dari
isi tembang aslinya. Namun secara ringkas bisa
dikatakan bahwa “Kalatida” adalah zaman edan, karena
akal sehat diremehkan, dan “Kalabendu” adalah zaman
hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan
tata kebenaran dijungkir-balikkan secara merata.

Lalu, menurut Ronggowarsito, dengan sendirinya,
setelah “Kalatida” dan “Kalabendu” pasti akan muncul
zaman “Kalasuba”, yaitu zaman stabilitas dan
kemakmuran.
Apa yang dianjurkan oleh Ronggowarsito agar orang bisa
selamat di masa “Kalatida” adalah selalu sadar dan
waspada, tidak ikut dalam permainan gila. Sedangkan di
masa “Kalabendu” harus berani prihatin, sabar, tawakal
dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum
di dalam kitab suciNya. Maka nanti akan datang secara
tiba-tiba masa “Kalasuba” yang ditegakkan oleh Ratu
Adil.

Ternyata urutan zaman “Kalatida”, “Kalabendu”, dan
“Kalasuba” tidak hanya terjadi di kerajaan Surakarta
di abad ke 19, tetapi juga terjadi di mana-mana di
dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, di
Romawi,, di Reich pertama Germania, di Perancis, di
Spanyol, Portugal, Italia, Iran, Irak, India, Russia,
Korea, Cina, yah di manapun, kapanpun. Begitulah
rupanya irama “wolak waliking zaman” atau “timbul
tenggelamnya zaman”, atau “pergolakan zaman”. Alangkah
tajamnya penglihatan mata batin penyair Ronggowarsito
ini!
Republik Indonesia juga tidak luput dari “pergolakan
zaman” serupa itu. Dan ini yang akan menjadi pusat
renungan saya pagi ini.

Namun sebelum itu perkenankan saya mengingatkan bahwa
menurut teori chaos dari dunia ilmu fisika modern
diterangkan bahwa di dalam chaos terdapat kemampuan
untuk muncul order, dan kemampuan itu tidak tergantung
dari unsure luar. Hal ini sejajar dengan pandangan
penyair Ronggowarsito mengenai “Kalasubo”. Kata Ratu
Adil bukan lahir dari rekayasa manusia, tetapi seperti
ditakdirkan ada begitu saja. Kesejajaran teori chaos
dengan teori pergolakan zamannya Ronggowarsito
menunjukkan sekali lagi ketazaman dan kepekaan mata
batinnya.

Melewati pidato ini saya persembahkan sembah sungkan
saya yang khidmat kepada penyair besar ronggowarsito.
Kembali pada renungan mengenai gelombang “Kalatida”,
“Kalabendu” dan “Kalasuba” yang terjadi di Republik
Indonesia.

Usaha setiap manusia yang hidup di dalam masyarakat,
kapanpun dan di manapun, pada akhirnya akan tertumbuk
pada “Mesin Budaya”. Adapun “Mesin Budaya” itu adalah
aturan-aturan yang mengikat dan dan menimbulkan
akibat. Etika umum, aturan politik, aturan ekonomi.
Dan aturan hukum, itu semua adalah aturan-aturan yang
tak bisa dilanggar begitu saja tanpa ada akibat. Semua
usaha manusia dalam mengelola keinginan dan
keperluannya akan berurusan dengan aturan-aturan itu,
atau “Mesin Budaya” itu.

Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil,
berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan,
adalah “Mesin budaya” yang mampu mendorong daya hidup
dan daya cipta anggota masyarakat dalam Negara. Tetapi
“Mesin budaya” yang berdaulat penguasa, yang menindas
dan menjajah, yang elitis dan tidak populis, sangat
berbahaya untuk daya hidup daya cipta bangsa.
Didalam masyarakat tradisional yang kuat hukum
adatnya, rakyat dan alam lingkungannya hidup dalam
harmoni yang baik, yang diatur oleh hukum adat.
Selanjutnya hukum adat itu dijaga oleh para tetua adat
atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah,
maka pemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang
patuh kepada adat. Jadi hirarki tertinggi di dalam
ketatanegaraan masyarakat seperti itu adalah hukum
adat yang dijaga oleh dewan adat. Kedua tertinggi
adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan
masyarakat dan alam lingkungannya terlindungi di dalam
lingkaran dalam dari struktur ketatanegaraan

Dengan begitu kepentingan kekuasaan asing, yang
politik ataupun yang dagang, tak bisa menjamah
masyarakat dan alam lingkungannya tanpa melewati
kontrol hukum adat, dewan adat dan penguasa
pemerintahan. Itulah sebabnya masyarakat serupa itu
sukar dijajah oleh kekuasaan asing.

Ditambah lagi kenyataan bahwa masyarakat dan alam
lingkungan yang bisa hidup dalam harmoni baik berkat
tatanan hukum yang adil, pada akhirnya akan melahirkan
masyarakat yang mandiri, kreatif dan dinamis karena
selalu punya ruang untuk berinisiatif. Begitulah
daulat hukum yang adil akan melahirkan daulat rakyat
dan daulat manusia. Syahdan, rakyat yang berdaulat
sukar dijajah oleh kekuasaan asing.

Memang pada kenyataannya suku-suku bangsa di Indonesia
yang kuat tatanan hukum adatnya, tak bisa dijajah oleh
V.O.C. Dan juga sukar dijajah oleh pemerintah Hindia
Belanda. Suku-suku itu baru bisa ditaklukkan oleh
penjajah pada abad 19, setelah orang Belanda punya
senapan yang bisa dikokang, senapan mesin dan dinamit.
Sedangkan Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan pada
tahun 1905, Toraja 1910, Bali 1910 dan Ternate 1923
serta Ruteng 1928.

Sedangkan pada suku bangsa yang masyarakat dan alam
lingkungannya, tidak dilindungi oleh hukum adat,
rakyatnya lemah karena tidak berdaulat, yang berdaulat
cuma rajanya. Hukum yang berlaku adalah apa kata raja.
Kekuasaan asing dan para pedagang asing bisa langsung
menjamah masyarakat dan alam lingkungannya asal bisa
mengalahkan rajanya atau bisa bersekutu dengan
rajanya.
Kohesi rakyat dalam masyarakat adat kuat karena
bersifat organis. Itulah tambahan keterangan kenapa
mereka sukar dijajah. Sedangkan kohesi rakyat dalam
masyarakat yang didominasi kedaulatan raja semata
sangat lemah karena bersifat mekanis. Karenanya rentan
terhadap penjajahan. Begitulah keadaan kerajaan Deli,
Indragiri, Jambi, Palembang, Banten, Jayakarta,
Cirebon, Mataram Islam, Kutai, dan Madura. Gampang
ditaklukkan oleh V.O.C. Sejak abad 18 sudah terjajah.
Para penjajah bersekutu dengan raja, langsung bisa
mengatur kerja paksa dan tanam paksa. “Kalatida” dan
“Kalabendu” melanda negara.
Ketika Hindia Belanda pada akhirnya bisa menaklukkan
seluruh Nusantara, maka yang pertama mereka lakukan
ialah dengan meng-erosi-kan hukum adat-hukum adat yang
ada. Para penjaga adat diadu domba dengan para
bangsawan di perintahan sehingga dengan melemahnya
adat, melemah pulalah perlindungan daulat rakyat dan
alam lingkungannya. Selanjutnya penghisapan kekayaan
alam bisa lebih bebas dilakukan oleh para penjajah
itu.
Di zaman penjajahan itu hukum adat yang sukar
dilemahkan adalah yang ada di Bali karena hubungannya
dengan agama dan pura, dan yang ada di Sumatra Barat
karena hubungan dengan syariat dan kitab Allah.

Tata hukum dan tata negara sebagai “Mesin Budaya”, di
zaman penjajahan Hindia Belanda menjadi “Mesin Budaya”
yang buruk bagi kehidupan bangsa. Karena tata hukum
dan tata Negara Hindia Belanda memang diciptakan untuk
kepentingan penjajahan.

Maka ketika membangun negara, pemerintah Hindia
Belanda juga tidak punya kepentingan untuk memajukan
bangsa, melainkan membangun untuk bisa menghisap
keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan
kemakmuran dan kemajuan Kerajaan Belanda di Eropa.

Industrialisasi dilakukan dengan mendatangkan modal
asing yang bebas pajak, alat berproduksi juga
didatangkan dari luar negeri dengan bebas pajak, dan
bahan baku juga diimport dengan bebas pajak pula,
kemudian pabrik yang didirikan juga bebas dari pajak
berikut tanahnya. Yang kena pajak cuma keuntungannya.
Itupun boleh ditransfer keluar negeri. Jadi devisa
terbuka! Alangkah total dan rapi pemerintah Hindia
Belanda membangun "Mesin Budaya" penghisapan terhadap
daya hidup rakyat dan kekayaan alam lingkungan
Indonesia. Semuanya itu di kokohkan dengan "Ordonansi
Pajak 1925".

Setelah Indonesia Merdeka, ternyata cara membangun
Hindia Belanda masih terus dilestarikan oleh elit
politik kita. "Ordonansi Pajak 1925" hanya dirubah
judulnya menjadi "Undang-undang Penanaman Modal
Asing". Sehingga sampai sekarang kita sangat
tergantung pada modal asing. Pembentukan modal dalam
negeri serta perdagangan antar desa dan antar pulau
tidak pernah dibangun secara serius.

Pembentukan sumber daya manusia hanya terbatas sampai
melahirkan tukang-tukang, mandor dan operator. Kreator
dan produsir tak nampak ada. Mengkonsumsi teknologi
yang dibeli disamakan dengan ambil alih teknologi.
Bagaimana mengembangkan sumber daya manusia tanpa
menggalakkan lembaga-lembaga riset sebanyak-banyaknya!
Tanpa riset kita hanya akan menjadi konsumen dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.

Dan juga melengahkan pembentukan industri hulu,
seperti penjajah tempo dulu, itu tidak bisa diterima.
Sangat menyedihkan bahwa pabrik baja kita ternyata
tidak bisa mengolah bijih baja. Bisanya hanya mendaur
ulang besi tua.

Akibat dari tidak adanya industri hulu, industri kita
di hampir semua bidang: pesawat terbang,mobil, sepeda,
obat batuk hitam, obat flu, cabe, kobis, padi ,
jagung, ayam potong, dll, dll, dll, semua assembling!
Alat berproduksi dan bahan bakunya diimport!

Dan selagi kita belum mempunyai kemampuan menghasilkan
mesin-mesin berat dan tenaga-tenaga manusia tingkat
spesialis yang cukup jumlahnya, pemerintah kita, sejak
zaman Orde Baru, telah menjual modal alam. Akibatnya
yang memperoleh keuntungan besar adalah modal asing
yang memiliki teknologi Barat dan tenaga-tenaga
spesialis. Alam dan lingkungan rusak karena kita
memang tak berdaya menghadapi kedahsyatan kekuatan
modal asing.
Ketergantungan pada modal asing, pinjaman dari
negeri-negeri asing dan bantuan-bantuan asing,
menyebabkan pemerintah kita, dari sejak zaman Orde
Baru, bisa tersesat ke dalam politik pertanian dan
pangan dari lembaga-lembaga asing dan
perusahaan-perusahaan multi nasional.

Dengan kedok "Revolusi Hijau" kekuatan asing bisa
meyakinkan bahwa kita harus meningkatkan swadaya
pangan. Dan tanpa ujung pangkal akal sehat, pemerintah
Orde Baru menetapkan bahwa swadaya pangan itu pada
intinya adalah swadaya beras. Seakan-akan dari Sabang
sampai Merauke beras menjadi makanan utama, dan tanah
dari Sabang sampai Merauke bisa ditanami beras. Dan
solusi yang diambil untuk mengatasi kenyataan bahwa
tanah yang bisa ditanami padi itu terbatas, maka para
pakar asing menasehati agar ada intensifikasi
pertanian padi, artinya: importlah bibit padi hibrida!
Bibit asli terdesak dan akhirnya hampir punah. Bibit
hibrida perlu pupuk. Didirikanlah pabrik pupuk dengan
pinjaman asing. Pupuk itu mengandung beurat yang lama
kelamaan tanah menjadi bantat.

Termasuk dalam program intensifikasi pangan dipakailah
berbagai racun: Pestisida untuk membunuh hama tanaman.
Fumisida untuk membunuh cendawan-cendawan, terutama
cendawan di kebun buah-buahan. Herbisida untuk
membasmi gulma. Maka gulma, jenis-jenis rumput yang
ada di sela taman dan dianggap mengganggu. Sebenarnya
gulma adalah bagian dari ekosistem tanah. Bisa
disingkirkan secara sementara dengan disiangi. Tetapi
kalau ditumpas dengan herbisida maka akan lenyaplah
gulma selam-lamanya. Artinya rusaklah ekosistem. Dan
pada hakekatnya herbisida itu berbahaya untuk semua
organisme dan makhluk.

Beberapa ahli pertanian bersih hati mengatakan bahwa
intensifikasi pemakaian pestisida, fumisida, dan
herbisida ini menyebabkan agrikultur kehilangan
"kultur" dan berubah menjadi "agrisida" atau "
agriracun".
Racun dari pestisida, fumisida dan herbisida ini pada
akhirnya masuk ke tanah dan meracuni air tanah.
Sehingga penduduk yang tinggal di sekitar
perkebunan-perkebunan mengalami cacat badan dan
melahirkan bayi-bayi cacat.
Pemakaian pupuk urea menyebabkan biaya produksi pangan
naik tinggi karena padi hibrida menuntut peningkatan
jumlah pemakaian pupuk, secara lama kelamaan. Mahalnya
biaya produksi padi dan rusaknya tanah ini yang
mendorong kita tergantung pada import bahan makanan.
Maksud hati ber-swadaya pangan, tetapi hasilnya justru
ketergantungan pangan.

Agrisida yang merusak lingkungan dan sumber pangan
kita, serta explotasi modal alam dengan serakah
sebelum kita menguasai pengadaan mesin-mesin berat,
modal nasional yang kuat, dan cukup tenaga spesialis,
yang juga menusuk alam lingkungan, adalah tanggung
dari begawan-begawan ekonomi dan begawan-begawan
pembangunan di zaman Orde Baru yang masih
berkelanjutan sampai sekarang adalah salah satu faktor
"Kalabendu" yang kita hadapi saat ini. Sama beratnya
dengan korupsi dan pelanggaran terhadap hak azazi.

Pembangunan dalam negara kita juga melupakan
sarana-sarana pembangunan rakyat kecil dan menengah
kecil. Padahal mereka adalah tulang punggung yang
tangguh dari kekuatan ekonomi bangsa. Jumlahnya
mencapai 45 juta dan bisa menampung 70 juta tenaga
kerja. Sedangkan sumbangannya pada Gross National
Product adalah 62%. Lebih banyak dari sumbangan BUMN.
Namun begitu tidak program pemerintah dengan positif
membantu usaha mereka: Jalan-jalan darat yang menjadi
penghubung antar desa, yang penting untuk kegiatan
ekonomi, rusak dan tak terurus. Bahan baku selalu
terbatas persediaannya. Banyak bank yang tidak ramah
kepada mereka. Grosir-grosir mempermainkan dengan
check yang berlaku mundur. Dan pemerintah tidak pintar
melindungi kepentingan mereka dari permainan
kartel-kartel yang menguasai bahan baku.

Dari sejak abad 7 telah terbukti bahwa rakyat kecil
menengah itu sangat adaptif, kreatif, tinggi daya
hidupnya, ulet daya tahannya. Di abad 7 mereka yang
seni pertaniannya menanam jewawut, dengan cepat
menyerap seni irigasi dan menanam padi serta berternak
lembu yang dperkenalkan oleh Empu Maharkandia dari
India Selatan. Selanjutnya mereka juga bisa menguasai
seni menanam buah-buahan dari India semacam sawo,
mangga, jambu, dsb. Bahkan pada tahun 1200, menurut
laporan "Pararaton", mereka sudah bisa punya
perkebunan jambu. Begitu juga mereka cepat sekali
menyerap seni menanam nila, bahkan sampai
mengekspornya ke luar negeri. Begitu juga mereka
adaptif dan kreatif di bidang kerajinan perak, emas,
pertukangan kayu dan pandai besi, yang semuanya itu
dilaporkan dalam kitab "Pararaton".

Di jaman Islam masuk dari Utara, mereka juga cepat
beradaptasi dengan tanaman-tanaman baru seperti
kedele, ketan, wijen, soga, dsb. Dengan cepat mereka
juga belajar membuat minyak goreng, krupuk, tahu,
trasi, dendeng, manisan buah-buahan, dan kecap. Bahkan
dengan kreatif mereka menciptakan tempe. Di bidang
kerajinan tangan dengan cepat mereka menyerap seni
membuat kain jumputan, membuat genting dari tanah,
membangun atap limasan, menciptaan gandok dan
pringgitan di dalam seni bangunan rumah. Pendeknya
unsur-unsur perkembangan baru dalam kebudayaan cita
rasa dan tata nilai cepat diserap oleh rakyat banyak.

Dan kemudian di jaman tanam paksa dan kerja paksa,
ketika kehidupan rakyat di desa-desa sangat terpuruk,
karena meskipun mereka bisa beradaptasi dengan tanaman
baru seperti teh, kopi, karet, coklat, vanili, dsb.
Tetapi mereka hanya bisa jadi buruh perkebunan atau
paling jauh jadi mandor, tak mungkin mereka menjadi
pemilik perkebunan; namun segera mereka belajar
menanam sayuran baru seperti sledri, kapri, tomat,
kentang, kobis, buncis, selada, wortel, dsb untuk
dijual kepada "ndoro-ndoro penjajah" di perkebunan dan
"ndoro-ndoro priyayi" di kota-kota. Akhirnya bencana
menjadi keberuntungan. Petani-petani sayur mayur
menjadi makmur.
Dan sekarang meski mereka dalam keadaan teraniaya oleh
keadaan dan tidak diperhatikan secara selayaknya oleh
pemerintah, bahkan kini mereka digencet oleh kenaikan
harga BBM, toh mereka tetap hidup dan bertahan. Kaki
lima adalah ekspresi geliat perlawanan rakyat kecil
terhadap kemiskinan. Luar biasa! Merekalah pahlawan
pembangunan yang sebenarnya!

Seandainya pemerintah dan pemikir ekonomi
memperhatikan dan membela kemampuan mereka,
menciptakan sarana-sarana kemajuan untuk mereka,
mereka adalah harapan kita untuk menjadi kekuatan
ekonomi bangsa.

Tata Hukum dan Tata Negara yang berlaku sekarang ini
masih meneruskan semangat undang-undang dan
ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda tempo dulu,
yang sama-sama menerapkan keunggulan Daulat Pemerintah
di atas Daulat Rakyat, dan juga sama-sama menerapkan
aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan
sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan
kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika,
dengan sendirinya tak akan bisa berdaya mencegah
krisis etika bangsa, bahkan malah mendorong para kuasa
dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka,
tanpa ada kontrol yang memadai.
Tentu saja ada Pancasila, sumber etika bangsa yang
cukup lebar cakupannya. Tetapi ternyata Pancasila
hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik, tapi
boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Kemanusiaan
yang adil dan beradab, satu sila yang indah dari
Pancasila ternyata tak punya kekuatan undang-undang
apapun bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau
perkasa. Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat
petani di Sampang Madura, pembunuhan terhadap
Marsinah, Udin, Munir, dan pembunuhan-pembunuhan yang
lain lagi.

Para buruh Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk
memperbaiki kesejahteraan hidupnya, dianiaya dan
diharu biru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya
dimenangkan oleh pengadilan, tetapi keputusan
pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh
majikan pabrik. Malahan para aktivis buruh diteror
oleh para petugas keamanan dan para preman yang
dibayar oleh majikan.

Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka
untuk melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan
olah limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak
kepada kepentingan majikan pabrik.

Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan
sosial, dan kedaulatan rakyat, benar-benar tak ada
implementasinya di dalam undang-undang pelaksanaan.
KUHP, yang berlaku adalah warisan dari penjajah Hindia
Belanda yang tidak punya dasar etika.

Sungguh ironis, bahwa di dalam negara yang merdeka,
karena Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum
diremehkan, maka hukum dan undang-undang justru
menjadi sebab merosotnya etika bangsa.

Apabila para ahli hukum terlambat membahas dan
memperbaiki kenyataan adanya gap antara ius dan lex,
maka "Kalatida" akan berlaku berkepanjangan dan
masuklah kita ke alam "Kalabendu". Ah, gejala-gejala
bahkan menujukkan bahwa "Kalabendu" sudah menjadi
kenyataan. Inilah jaman kacau nilai, jaman kejahatan
menang, penjahat dipuja, orang beragama menjadi
algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama,
kekuasaan dan kekayaan diperdewa. Pepatah "mikul duwur
mendem jero" sudah lepas dari konteks moralnya dan
berganti makna menjadi: kalau anda berkuasa dan
perkasa maka berdosa boleh saja!

Hukum, perundang-undangan dan ketatanegaraan yang
menghargai daulat manusia, daulat rakyat, daulat akal
sehat, dan daulat etika akan menjadi "Mesin Budaya"
yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan
daya hidup bangsa, sehingga daya tahan dan daya juang
bangsa menjadi tinggi. Jadi sangat penting segera para
ahli hukum membahas dan meninjau kembali mutu kegunaan
tata hukum dan tata negara Republik Indonesia dalam
menyejahterakan kehidupan berbangsa.

Bahkan menurut DR. Sutanto Supiadi ahli tata negara
dari Surabaya berpendapat, bahwa redesigning
konstitusi sangat diperlukan. Kenyataan memang
menunjukkan bahwa setiap ada amandemen untuk membatasi
kekuasaan presiden, tidak menghasilkan daulat rakyat
yang lebih nyata, melainkan hanya menghasilkan daulat
partai-partai yang lebih kuat.

Bahkan, dalam proklamasi kemerdekaan dan UUD'45 yang
asli, wilayah Republik Indonesia itu jelas
ditunjukkan. Lalu pada amandemen ke empat, disebutkan
munculnya pasal 25a, yang berbunyi: "Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang".

Tidak ada perkataan maritim di dalam rumusan itu. Nama
negara pun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Padahal 60% dari negara kita
terdiri dari lautan. Jadi lebih tepat kalau nama
negara kita adalah Negara Kesatuan Maritim Republik
Indonesia.
Negara kita adalah negara satu-satunya di dunia yang
memiliki laut. Negara-negara lain hanya mempunyai
pantai. Tetapi negara kita mempunyai Laut Natuna, Laut
Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut
Aru, Laut Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, Laut
Halmahera, Laut Timor dan Laut Sawu. Namun toh
ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan negara
daratan. Inikah mental petani?

Sampai saat ini kita belum membentuk "Sea and Coast
Guard", padahal ini persyaratan Internasional, agar
bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan kita, maka
kita harus mempunyai "Sea and Coast Guard". Dunia
International tidak mengakui Polisi Laut dan Angkatan
Laut sebagai pengamanan laut di saat damai. Angkatan
Laut, Polisi Laut itu dianggap alat perang. Jadi apa
sulitnya membentuk "Sea and Coast Guard" yang berguna
bagi negara dan bangsa? Apakah ini menyinggung
kepentingan rejeki satu golongan? Tetapi kalau memang
ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan
bangsa dan negara, bukankah tak akan kurang akal untuk
mencari "win-win solution".

Dalam soal perbatasan kita telah melengahkan pemetaan,
pendirian beberapa mercu suar lagi, dan mengumumkan
claim yang jelas dan rational mengenai batas-batas
wilayah negara kita, teutama yang menyangkut wilayah
di laut. Sudah saatnya pula lembaga inteligent kita
mempunyai direktorat maritim.
Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita, disegenap
bidang, mencakup pengertian "Tanah Air", dan tidak
sekedar "Tanah" saja.

Pelabuhan-pelabuhan pun harus segera ditata sebagai
"Negara Pelabuhan" yang dipimpin oleh "Syahbandar"
yang berijasah international. Kemudian segera pula
dicatatkan di PBB. Tanpa semua itu, maka negara kita
tidak diakui punya pelabuhan, melainkan hanya diakui
punya terminal-terminal belaka!

Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara untuk
pertama kalinya diproklamasikan oleh Baron Van Der
Capellen pada tahun 1821 dengan nama Nederlans Indie,
dan sifat kedaulatannya negara maritim dengan
batas-batas dan mercusuar-mercusuar yang jelas
petanya.
Jadi Van Der Capllen tidak sekedar mengandalkan
kekuatan angkatan laut untuk merpersatukan Nusantara,
melainkan, alat politik untuk meyatukan Nusantara
adalah tata hukum dan ketatanegaraan maritim.

Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana
Menteri Juanda dan menteri luar negari Mochtar
Kusumaatmaja, yang dengan gigih telah memperjuangkan
kedaulatan maritim kita di dunia Internasional,
sehingga diakui oleh Unclos dan PBB. Tetapi kita harus
tanpa lengah meneruskan perjuangan itu sehingga kita
mampu mengimplementasikan semua peraturan kelautan
internasional yang telah kita ratifikasi.

Perlu disayangkan bahwa usaha untuk mendirikan
Universitas Maritim yang bisa memberikan ijasah
internasional untuk syahbandar dan nahkoda, belum juga
mendapatkan ijin dari Departement Pendidikan Nasional.
Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu tidak
patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan
kedaulatan bangsa dan negara di lautan.

Tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan yang
sableng seperti tersebut di atas itulah yang mendorong
lahirnya "Kalatida" dan "Kalabendu" di negara kita.
Menurut penyair Ranggawarsita kita harus bersikap
waspada, tidak mengkompromikan akal sehal. Dan juga
harus sabar tawakal. Adapun "Kalasuba" pasti datang
bersama dengan ratu adil.

Dalam hal ini saya agak berbeda sikap dalam
mengantisipasi datangnya "Kalasuba". Pertama,
"Kalasuba" pasti akan tiba karena dalam setiap chaos
secara "build-in" ada potensi untuk kestabilan dan
keteraturan. Tetapi kestabilan itu belum tentu baik
untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan kedaulatan
manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan
manusia secara jasmani, sosial, rohani, intelektual
dan budaya. Dalam sejarah kita mengenal kenyataan,
bahwa setelah chaos Revolusi Perancis, lahirlah
kestabilan pemerintahan Napoleon yang bersifat
diktator. Tentu masih banyak lagi contoh semacam itu
di tempat lain dan di saat lain.

Kedua, harus ada usaha kita yang lain, tidak sekedar
sabar dan tawakal. Tetapi toh kita tidak menghendaki
"Kalasuba" yang dikuasai oleh diktator. Tidak pula
yang dikuasai oleh kekuasaan asing seperti di Timor
Leste. Oleh karena itu kita harus aktif
memperkembangkan usaha untuk mendesak perubahan tata
pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan sehingga
menjadi lebih baik untuk daya hidup dan daya cipta
bangsa.

Ketiga, situasi semacam itu tidak tergantung pada
hadirnya Ratu Adil, tetapi tergantung pada Hukum yang
Adil, Mandiri, dan Terkawal.

Wassalam,

RENDRA

Cipayung Jaya, Depok
Hotel Quality, Jogya

Tidak ada komentar: