Sabtu, 02 April 2016

SDA di Sumsel diduga menjadi Alat Transaksi Politik Kekuasaan


Hilangnya fungsi hutan dan akses masyarakat terhadap kawasan Hutan di akibatkan oleh banyaknya perizinan yang di berikan kepala daerah kepada pihak perusahaan, terlebih lagi banyaknya perizinan keluar ketika menjelang atau sesudah penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah. Hal tersebut diungkapkan oleh Walhi Sumsel bersama Auriga Nusantara dalam Diskusi bersama media massa yang dilaksanakan pada Jumat (29/8) di Kopitiam Senopati Jalan Thamrin Kambang Iwak Palembang.

“Dalam proses Pemilihan Kepala Daerah, Sumber Daya Alam (SDA) sering menjadi alat transaksi Calon kepala daerah kepada Pengusaha, untuk jaminan pemberian modal memenangkan Kandidat pada penyelenggaraan Pilkada” Kata Hadi jatmiko Direktur Walhi Sumsel.

Berdasarkan studi perizinan yang dilakukan oleh Walhi Sumsel bersama Auriga Nusantara ditemukan, bahwa keluarnya izin terhadap perusahaan yang bergerak di sector ekploitasi sumber daya alam Seperti Pertambangan dan Hutan tanaman Industri di Sumatera selatan, rata rata dikeluarkan menjelang Pelaksanaan Pilkada Propinsi.

Misalnya pada izin Pengelolaan kawasan Hutan di periode kepemimpinan Gubernur Syahrial Oesman, tahun 2003 – 2008.  Terdapat 8 izin usaha Pemanfaatan Hutan Kayu untuk Hutan tanamn Industri (IUPHHK-HTI) dengan total luasan 877.330 hektar. Ini merupakan luasan terbesar yang dikeluarkan pada satu periode kepemimpinan Gubernur dalam  25 tahun terakhir. Hal ini di karenakan pada periode kepemimpinan syahrial, belum ada batasan luasan pemberian izin untuk HTI

Selanjut pada periode 2008 – 2013 dibawah kepemimpinan Alex Nurdin sebagai Gubernur, dimana luasan pemberian izin telah dibatasi. Jumlah izin yang dikeluarkan meningkat, yang sebelumnya hanya 8 izin, pada periode ini ada 11 izin dengan luasan 326.084 Hektar.

“Periode Gubernur Alex Noerdin luasan Hutan yang diberikan izin lebih kecil dari periode Gubernur sebelumnya Syahrial oesman, namun merupakan pemberian izin terbanyak dalam 25 tahun terakhir.” Kata Supintri Koordinator Auriga Nusantara untuk wilayah Sumbagsel.

Tidak menutup kemungkinan jumlah perizinan HTI ini akan bertambah pada periode kedua kepemimpinan Alex Noerdin ( 2013-2018), mengingat rekam jejak kepemimpinannya selama menjadi Bupati Musi Banyuasin,  Alex Noerdin sangat berperan terhadap keluarnya izin-izin IUPHHK-HTI di Kabupaten tersebut.

“Dugaan kami izin izin HTI ini akan kembali dikeluarkan, apalagi Sumsel saat ini sedang membangun Pabrik Pulp dan Mills terbesar di Asia yang berkapasitas 2 Juta ton/tahun di kabupaten Ogan Komering Ilir”. Kata Hadi Jatmiko

Selain dari sektor kehutanan, penguasaan dan eksploitasi kawasan hutan juga dilakukan oleh  perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan dan tambang. Banyak kawasan hutan yang di kuasai melalui mekanisme pinjam pakai, penurunan fungsi atau pelepasan kawasan hutan.

Seperti pada kawasan hutan produksi dapat di konversi (HPK) di Sumatera Selatan yang luasnya   431.445 hektar,  namun berdasarkan data Kementerian Kehutanan tahun 2013 kawasan hutan di Sumatera Selatan  yang telah dilepaskan menjadi areal perkebunan mencapai 847.143 hektar.

“Hal ini Janggal walaupun prosesnya legal adanya pelepasan kawasan hutan, namun kawasan hutan yang dilepaskan untuk perkebunan melebihi dari wilayah yang diperuntukan untuk perkebunan” Kata Supin menerangkan.

Kejanggalan lain terdapat disektor pertambangan, dimana 801.160 hektar IUP yang dimiliki oleh 191 Perusahaan diberikan diatas kawasan hutan, baik itu didalam hutan konservasi,hutan lindung  maupun hutan produksi (Planologi kehutanan, 2014)

Berdasarkan studi yang dilakukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Provinsi Sumatera Selatan, hingga tahun 2014 terdapat 359 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dari jumlah tersebut, terdapat 31 pelaku usaha yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Sedangkan data Direktorat Jenderal Pajak (April 2014) meyebutkan, dari 241 wajib pajak , hanya 18 diantaranya yang melakukan pelaporan penghitungan pajak (pelaporan SPT).

Sama halnya dengan keluarnya perizinan di IUPHHK-HTI, di sector pertambangan izin izin tersebut terbanyak keluar pada tahun 2009 – 2010 , dimana masa tersebut menjadi tahun politik karena berbarengan dengan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. tercatat total 290  IUP (81 % dari total IUP yang ada) dikeluarkan dalam 2 tahun tersebut. 140 IUP dikeluarkan pada tahun 2009 dan 150  IUP dikeluarkan pada tahun 2010. Hal ini menguatkan indikasi bahwa izin-izin tersebut menjadi alat transaksi politik dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Ada 2 Modus transaksi SDA sebagai Mesin uang untuk calon kepala daerah ungkap Hadi Jatmiko di sela konferensi pers berlangsung.

Pertama pemberian izin menjelang pemilu atau pilkada, hal ini banyak dilakukan oleh calon kepala daerah Incumbent karena calon memiliki kuasa untuk mengeluarkan izin, sedangkan modus kedua adalah Pemberian izin setelah Pemilu dan Pilkada, biasanya ini dilakukan oleh kepala daerah yang berasal bukan dari Incumbent.

“Modus yang kedua ini biasanya sering disebut sebagai bentuk hadiah atau tanda terima kasih dari Kepala daerah kepada pengusaha atas bantuan pinjaman modal ketika masa kampanye Pilkada dan pemilu berlangsung” kata Hadi jatmiko menambahkan

Untuk mencegah terjadinya transaksional tersebut maka diperlukan  peran serta aktif masyarakat untuk mengawasi setiap izin izin yang keluar di Sumsel saat ini, di sisi lain pemerintah diharapkan lebih terbuka atas informasi di sector Sumber daya alam dan perizinan yang di miliki. Salah satunya menjalankan mandate Undang Undang No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi publik.

Selain itu dalam dokumen keterangan pers dua lembaga ini juga menyebutkan meminta pemerintah sumatera selatan untuk menghentikan obral izin dan menjadikan Sumber daya alam sebagai alat transaksi politik kekuasaan di sumatera selatan,serta segera mencabut izin izin perusahaan yang bermasalah.

“KPK dan Aparat penegak Hukum harus segera melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan Pelaku Kejahatan Hutan dan Lingkungan Hidup serta mengawasi menyelidiki setiap pemberian izin di daerah” ungkap Direktur Walhi Sumsel Hadi jatmiko.

Ketimpangan Penguasaan lahan

Sumatera selatan memiliki luas 8,702,741 Hektar dengan jumlah penduduk mencapai 7,593,425 jiwa (BPS 2011) namun dalam penguasaan ruang dan lahan, didominasi oleh Perusahaan di sector Tambang, Hutan Tanaman dan Perkebunan.

Luas pertambangan sumatera selatan adalah seluas 2,7 juta hektar yang tersebar di sedikitnya 8 kabupaten yang ada di sumatera selatan dengan jumlah izin terbanyak adalah di Kabupaten Musi Banyuasin, sedangkan untuk luas Hutan Tanaman Industri seluas 1,375,312 hektar ditambah dengan HPH 56.000 Ha, Restorasi Ekologi 52.170 Ha dan Jasa Lingkungan 22.280 Ha sehingga jumlah totalnya jika di persentasekan adalah 65 persen dari luas Hutan Produksi sumatera selatan  yang berada di 7 kabupaten. (Walhi sumsel,2013)

Untuk luasan perkebunan kelapa sawit  mencapai 1 juta hektar yang menyebar rata di hampir setiap kabupaten di sumater selatan.

Dari ketiga sektor tersebut maka luas lahan sumatera selatan yang dikuasai beberapa perusahaan yang dimiliki beberapa gelintir orang tersebut adalah 5.205.762 Hektar. Artinya luas lahan yang tersisa untuk sekitar 7 juta jiwa masyarakat sumatera selatan adalah 3.496.979 Hektar yang didalamnya termasuk kawasan hutan yang tidak di bebani izin yaitu Hutan konservasi, hutan lindung dan Hutan Produksi.

Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan ini memicu terjadinya konflik agrarian yang tidak berkesudahan, berdasarkan data Walhi Sumsel pada tahun 2013 tercatat sekitar 35 Konflik agrarian antara masyarakat dengan perkebunan, Tambang dan Kawasan Hutan. Serta setidaknya selama tahun 2012 -2013 ada 70 orang terdiri dari petani, aktifis dan masyarakat local di kriminalisasi karena membela dan mempertahan lahan dan lingkungan hidupnya.

Seperti kasus kriminalisasi terhadap M.Nur Jakfar (73 th) beserta 5 orang masyarakat adat marga tungkal dan dawas lainnya, yang pada kamis (28/8) kemarin mulai menjalankan persidangan pertamanya walaupun sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim yang juga merupakan Wakil ketua Pengadilan Albertina HO,SH,MH. ditunda karena mendadak harus berangkat ke Banjarmasin karena urusan Dinas.

Pada Dokumen tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke enam orang ini dituduh melakukan perambahan di dalam kawasan SM Dangku dan melanggar UU No 18 /13 tentang Pencegahan dan pemberantasan perusakan kawasan Hutan (UP3H). Tuduhan ini mendapat perlawanan dari Organisasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui ketua AMAN Sumsel Rustandi Ardiansyah karena menurutnya  Kawasan yang diklaim oleh BKSDA sebagai kawasan hutan Suaka Marga, adalah Lahan Milik Masyarakat Adat yang dirampas secara paksa oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 1980-an. 

Tidak ada komentar: