Selasa, 22 Februari 2011

Ketika Polisi Jadi Pedagang

Pukul 13.00 Wib, saya diminta oleh keluarga untuk menjadi sopir dan mengantar mereka pergi JJL (Jalan Jalan ) ke Salah satu Pusat Perbelanjaan di Kota Palembang, yang di kenal dengan nama Internasional Plaza (IP). Tanpa pikir panjang saya pun mengambil kunci mobil dan langsung menuju Garasi, dan segera menyalakan mobil dan mengeluarkannya dari garasi Rumah.

Terlihat beberapa anggota keluarga yang sejak tadi, telah menunggu di teras rumah langsung masuk ke dalam Mobil. Sayapun merespon aktifitas tersebut dengan menekan GAS mobil sehingga tak beberapa lama halaman rumah sayapun menghilang dari penglihatan.

Tiba di jalan A. Rivai laju mobil kamipun dipaksa harus berjalan perlahan, "ah.. macet lagi" gumam ku dalam hati. ya begitulah macet di jalan ini sudah menjadi makanan harian bagi pengguna jalan di Kota Palembang. Berdasarkan pengamatan saya yang selalu melewati jalan ini, kemacetan di jalan ini salah satunya disebabkan oleh banyaknya kendaraan Pribadi yang parkir seenaknya menggunakan badan jalan, dikarenakan banyaknya bagunan kantor tempat mereka bekerja yang tidak memiliki halaman parkir, dan di perparah lagi oleh angkot yang seenak jidatnya berhenti menaik dan menurunkan penumpangnya di jalan.

Lampu Hijau di Persimpangan Charitas kembali menyala mengantikan lampu tanda berhenti yang sudah 5 menit menyala, ini pertanda saya harus kembali masuk ke wilayah macet yang baru. Tapi alhamdulilah nasib baik menyapa kami, karena saat iini kemacetan belum (di) mulai. Akan tetapi Nasib Baik ternyata tidaklah permanen menyapa sepanjang saya berkendara, karena ketika saya baru saja lewat di Bundaran yang ada didepan Pasar Cinde, tiba tiba seorang laki laki besar tinggi, memakai helm putih,berpakaian Coklat dengan rompi berwarna Hijau menyala, menghadang mobil kami dan memberikan aba aba kepada saya untuk segera berhenti.

Melihat hal itu Saya pun (dengan Logat bahasa palembang) langsung berkata kepada Kakak Perempuan yang duduk disamping saya,

Saya ; Nah ado apo pulo Polisi nih, ai lokak balak?
Kakak : yo sudahlah, ikuti baelah.

Sambil meminggirkan mobil, kakak pun bertanya kepada saya

Kakak : STNK tadi Kau bawak dak?

Sambil meraba dan memenganggi kantong belakang celana, saya pun menjawab

Saya : Nah idak kak! jangan ke STNK Dompet bae aku dak bawak.

Dengan Nada pasrah, kakak ku pun menjawab "Yo sudah Kalo cak itu."

Di Luar mobil tampak Polisi itu pun mendekat ke arah mobil kami.

Polisi : Siang bapak, Bisa saya lihat STNK mobilnya?

Saya : Maaf pak, saya Lupa membawa STNK.

Polisi : Bisa saya lihat SIM Bapak?

Saya : Itupun saya Lupa membawanya pak, karena kebetulan saya lupa membawa Dompet

Polisi : Kalo begitu, ikut saya ke POS.

sayapun langsung membuka pintu Mobil dan mengikuti polisi tersebut yang berjalan menuju Pos Polisi.seSampai di Pos Polisi, Bapak polisi yang tidak memperkenalkan namanya inipun, langsung menunjukan sebuah buku tilang yang di belakangnya ada tulisan tentang beberapa pasal beserta keterangan Nilai Nominal denda yang harus dibayar ,jika melanggar pasal pasal yang ada dalam undang undang lalu lintas No 22 tahun 2009

Polisi : Bapak Bekerja Dimana?

Saya : Saya bekerja di Swasta Pak.

Polisi : Oh, saya pikir kamu PNS atau yang lainnya.

Sambil bertanya dalam hati tentang mengapa Polisi ini menanyakan hal demikian, saya pun coba mengomentari kembali "bukan Pak,saya bukan PNS dan lainnya"

Polisi : Kamu melanggar aturan lalulintas yaitu tidak membawa SIM dan STNK, Beserta tidak memaki sabuk pengaman saat mengendarai kendaraan, sehingga kendaraan mu bisa saja saya tahan.

Sambil mengangukan kepala saya pun berkata "Iya,pak"

Polisi : Tapi karena saya kasihan melihat kamu yang membawa banyak keluarga, yang otomatis jika mobil kamu saya tahan, maka kamu harus meminta keluarga mu untuk turun disini, dan naik mobil umum untuk pulang, untu itu kamu cukup saya tilang dan membayar denda.

Mendengar perkataan pak Polisi itu saya pun kembali menggangukan kepala namun bedanya anggukan saya kali ini tanpa saya ikuti dengan kata kata.

Polisi : Denda yang harus kamu bayar untuk pelnggaran tidak membawa SIM dan STNK 750 ribu sampai 1 Juta, sedangkan untuk sabuk Pengaman 250 ribu, dan untuk denda yang paling minimal adalah 100 ribu, Nah ..untuk Bapak saya kenakan nominal denda paling rendah saja, yaitu 150 ribu, 50 ribunya untuk saya.

Setelah mengatakan hal ini pak Polisi itupun langsung berhenti berkata, dan menyela nafas panjang sambil melihat respon dari raut muka saya. Seiring dengan itu dari dalam mobil saya, terlihat kakak perempuan saya keluar dari Mobil dan mendekati saya serta langsung berkata :

kakak : Cakmano Di? aku telpon Ayah bae ye minta antar ke STNK dan Dompet kau kesini.?
Polisi : gak usah bu, gak apa apa kok.

Mendengar hal itu Kakak saya pun langsung diam sambil menunjukan wajah penuh dengan pertanyaan atas perkataan Bapak Polisi.Sayapun mendekati Kakak saya dan berbisik kepadanya "Polisi ini minta uang 150 Ribu,kak?"

Mendengar hal tersebut kakak saya langsung membuka dompetnya dan mengeluarkan uang sebesar yang baru saya sebutkan tadi, serta langsung memberikan nya kepada saya.

Melihat apa yang dilakukan kakak saya tersebut ,Pak Polisi langsung menanyakan nama saya dan menuliskannya di lembar kertas tilang yang berwarna hijau, dan langsung meminta saya untuk menanda tangai nya. Tapi ada yang aneh dari kertas ini dan tempat saya disuruh membubukan tanda tangan diatasnya karena saya diminta tanda tangan bukan lah dikolom biasa nama pelanggar di tulis, tetapi di tulis di sisi kiri kertas seperti pada kertas di buku kwitansi yang biasanya tertinggal (arsip) pada saat dirobekan. Dan atas keanehan serta agar tidak berpanjang lebar lagi, saya pun tak mau mempertanyakannya karena kulihat kaka k perempuan saya dan keluarga yang ada di dalam mobil sudah terlihat bosan

Sayapun langsung membubuhkan tanda tangan saya dan Setelah tanda tangan saya bubuhkan Pak Polisi itupun berkata "Masukan uangnya ke dalam kantong saya dan Jika di depan kamu di stop oleh Polantas lainnya bilang saja kepada mereka bahwa kamu sudah di stop di pos ini"

---- End ----

Tips HEMAT membeli "Pasal" ; Berkaca dari pengalaman pribadi yang saya alami ini agar para pembaca tidak terlalu rugi dan menyesal di kemudian hari maka jangan sungkan sungkan melakukan tawar Menawar harga, kalo berurusan dengan Polisi di negeri Indonesia.

Ingat Pepetah Pembeli ( Korban tilang) adalah Raja. heheh


Senin, 21 Februari 2011

Ada Romi rafael di Blogshop Kompasiana Palembang

Hari ini 19/2,meski kepala masih sakit dan badan masih meriang, tidak seperti biasanya,pagi ini aku tetap berusaha untuk bangun pagi. Untuk dapat hadir dalam kegiatan yang di selenggarakan Oleh Telkomsel bersama Kompasiana di Hotel Jayakarta Daira Palembang yang berada di Jalan Jenderal Sudirman tepatnya di samping Rumah Dinas PANGDAM 2 Sriwijaya.

Gemeretak suara yang dikeluarkan dari mulut ku, saat gigi atas dan bawah bertemu, karena kedinginan, maklum Palembang baru saja di guyur Hujan. Ku coba hidupkan HP yang selalu ku “bunuh” setiap pukul 12 malam, dan sesaat itu pula Potongan lagu Pulihkan Indonesia dari bintang indrianto, langsung menyambut dan megegarkan gendang telingga ku, merupakan tanda bahwa aku menerima SMS..

Ku buka Kotak masuk dan kubaca Pesan dari seorang teman yang bernama Norman yang kebetulan juga, ikut menjadi peserta kegiatan Telkomsel Blogshop Kompasiana Palembang, isin smsnya “Jam 9”. Ehm..sebuah Pesan yang singkat, namun dapat ku mengerti maksud dari SMS tersebut, karena sehari sebelumnya kami sudah membicarakan soal ini.

Aku langsung menuju kamar mandi, tak lebih dari 15 menit, semua aktifitas bersih bersih diri dan berpakaian aku selesaikan. Selanjutnya tanpa instruksi dari siapapun, aku langsung duduk diteras depan rumah sambil menikmati Kopi panas. Tak lama jam di HP ku menunjukan waktu tepat Pukul 9.00 Wib, dan bersamaan dengan itu datanglah sebuah sepeda motor yang berhenti tepat di depan rumahku, Pikiran ku langsung nyambung sehingga sebuah kata muncul didalam hati ku “Norman”. Ku sambut kedatangan Norman dengan langsung mengambil Helm dan menaiki sepeda Motor yang warnanya menyimbolkan Warna Keberanian/perlawanan.

Tak terasa setelah menempuh perjalanan selama 10 Menit, kamipun mulai memasuki halaman parkir Hotel jayakarta Daira yang berada di basement untuk memekirkan Motor kami, setelah itu kami langsung menuju ke ruang penyelenggaraan yang berada di lantai 2.

Sekitar 30 menit sudah ku habiskan waktu untuk ngobrol dan berkenalan dengan kawan kawan peserta lainnya, sambil menunggu Panitia membuka pendaftaran ulang untuk para peserta yang telah mendaftar di kegiatan ini. Tak lama kemudian Tiga orang perempuan Kutilang (Kurus Tinggi Langsing) datang dan langsung membuka meja registrasi yang berada di depan pintu masuk ruangan kegiatan, dan tidak menunggu lama kami pun langsung meresponnya dengan berbaris antri di depannya untuk melakukan registrasi ulang. Norman berbaris di belakang ku dengan nada bercanda dan setengah berbisik dia berkata kepada ku “Dari tiga orang perempuan ini, salah satunya cantik seperti Adeknya”, sambil ketawa aku pun merespon kata kata norman “Dasar ujung lapan, maksud kau nak minta omongke kalo dio tuh adek kau”.

Registrasipun selesai kami lakukan, kami pun masuk keruagan untuk mengambil posisi masing masing yang pastinya tidak jauh dari tempat yang ada stop kontak listriknya, hal ini dilakukan agar ketika baterai komputer jinjing kita drop, kita dapat langsung mengisinya kembali tanpa harus berpindah tempat duduk,maklum kegiatan ini akan berlangsung selama 6 Jam (Pukul 10.00 – 16.00 Wib).

Setelah seluruh peserta siap seorang perempuan (aku lupa menanyakan namanya ) berpakaian kemeja Putih dengan panduan Rok berwarna Hitam langsung naik ke atas panggung untuk membuka acara Telkomsel Blogshop Kompasiana di Palembang. Seperti kegiatan lainnya acara dibuka oleh MC dengan memperkenalkan 2 Orang Nara sumber dari kompasiana yang akan memberikan materinya kepada kami yaitu Mas Iskandar Zulkarnain untuk materi Citizen Jurnalis dan Mas Heru margianto yang akan memberikan materi Kiat Menulis Cepat, Menarik dan Bermanfaat.

Tanpa ba..bi..bu..,hana..hene Mas Iskandar pun langsung naik keatas panggung mengantikan sang MC untuk ngomong, yang ini artinya materi citizen Jurnalis segera di mulai. Halaman pertama pada Power Point yang di sampaikan nya, mas iskandar mejelaskan tentang beberapa hal yang akan disampaikannya pada materi ini yaitu tentang apa itu CITIZEN JURNALIS, Sejarahnya dan Bagaimana perkembangan Citizen Jurnalis di Indonesia saat ini. Namun kata mas iskandar “sebelum saya menjelaskan lebih jauh tentang materi materi tersebut ada baiknya kita, melihat beberapa gambar tampilan berikut ini” ( Red; Hal ini biasa saya sebut sebagai pengantar Fokus), dengan senyum sumringahnya mas iskandar pun mulai menunjukan gambar gambar berdimensi (Red; tentang dimensi ini kalo saya gak salah persepsi artinya 1 Gambar namun mempunyai 2 arti) yang di pandu dengan beberapa pertanyaan misalnya Gambar kelinci yang kalau kita pasti atau fokus melihatnya akan juga terlihat gambar kepala Kuda yang sedang berenang di sungai, dan yang terakhir dimana telah membuat saya akhirnya tergelitik untuk menyama nyamakan mas Iskandar dengan Romi Rafael, (salah seorang Entertainer yang dalam menghibur penontonnya menggunakan keahlian Hipnotisnya ) yaitu ketika mas Iskandar menampilkan gambar yang sering digunakan oleh Romi untuk Hipnotis orang, yang jika kita lihat dengan fokus akan bergerak dan berputar, padahal gambar tersebut pada aslinya tidaklah seperti yang kita lihat. Atas Kegelian ku yang telah tergelitik oleh ulah ku senidir tersebut, aku pun berbisik dengan Norman yang kebetulan duduk satu meja dengan ku, “ Man, ada Romi Rafael di Blogshop KomPasiana Palembang”.


Senin, 07 Februari 2011

Hanya Sebuah Gumam: Tuhanmu Pasti bukan Tuhanku

“Lalu jika aku bukanlah orang yang beragama yang sama dengan mu, apakah aku akan masuk Neraka dan apakah seluruh perbuatan Baik ku tidak dicatat dan dihitung di hari akhir nanti. Jika jawab mu IYA, maka saya mohon segera jauhkan agama Mu dan tuhan Mu dari kehidupanku.”

Kalimat diatas hanya Sebuah Ilustrasi dari ku, seandainya aku bisa ngobrol dengan mereka para “Pembela agama”- Hal ini muncul karena aku berpikir bahwa Tuhan itu maha adil, dia tidak pernah melihat agama apa yang dianut oleh seseorang yang melakukan perbuatan baik ataupun perbuatan buruk, apakah dia Islam, Kristen Protestan, Katolik , Hindu, Budha, ataupun tanpa agama. Semuaya akan Tuhan kasih ganjaran yang sama dengan perbuatannya karena Tuhan itu Esa -Satu-.

Kalimat diatas semakin aku yakini setelah aku membaca ulasan kompas kemarin, dengan nara sumber jalaluddin Rakhmat yang berjudul “Menuju agama Madani”.Dalam satu paragrafnya menyinggung tentang pemikiran salah satu pemikir syiah yaitu Ali Syariati yang dalam setiap buku bukunya menempatkan ideologi Islam bukan untuk menegakkan syariat, melainkan untuk menentang kezaliman, penindasan. Begitupun Pemikir Syiah lain, Murtadha Muthtahhari, punya pandangan pluralis. Bagi dia, Tuhan adil sehingga pasti memberi pahala bagi siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang berbuat jahat, apa pun agamanya.

Jika pemikiran dari orang orang yang disebutkan oleh Jalaluddin Rakhmat ini,ditanamkan dalam pikiran orang orang “suci” di Indonesia dan diterapkan oleh pemerintah Negeri Indonesia ,yang dikenal memiliki keberagaman agama dan suku, maka saya yakin kejadian penyerangan yang dilakukan oleh salah satu gerombolan yang mengatasnamakan Pembela Agama terhadap kelompok yang di stempel oleh orang sok suci adalah sesat tersebut, yang telah menyebabkan jatuhny korban 3 orang meninggal. Tidak akan pernah terjadi dan terulang kembali.

Terakhir sambil menutup gumamku ini aku kutip salah satu pesan di Wall FB seorang temanku yang bunyinya “Jika mereka menyerang dan membunuh atas nama TUHAN…maka kupertegas itu pasti bukan TUHAN ku…”

Minggu, 06 Februari 2011

Menuju Agama Madani

JALALUDDIN RAKHMAT

Hingga kini Indonesia masih saja tak lepas dari konflik antarumat beragama. Agama, yang semestinya bersemangat pembebasan dan menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini. Bagaimana jalan keluarnya? Ilham Khoiri dan Myrna Ratna
Kita perlu mengembangkan pemahaman agama madani. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban,” kata Jalaluddin Rakhmat (62), cendekiawan Muslim asal Bandung.
Kang Jalal—demikian sapaan akrabnya—fasih mengulas hal ini. Maklum saja, dia punya pengalaman bergumul dengan persoalan hubungan antaragama, mengkaji berbagai pemikiran keagamaan, berjumpa banyak tokoh dunia, serta menulis sejumlah buku. Dia juga aktif mengajar di kampus dan mengentalkan gagasan pluralisme lewat sejumlah lembaga keagamaan.
”Pemahaman agama madani paling cocok untuk dikembangkan dalam kehidupan modern dan demokratis, seperti di Indonesia sekarang ini,” katanya ketika ditemui setelah memberikan ceramah keagamaan di Paramadina, Pondok Indah, Jakarta Selatan, pertengahan Januari lalu.
Bagaimana persisnya pemahaman agama madani itu? Kang Jalal mengutip filsuf kelahiran Swiss, Jean Jacques Rousseau, yang hidup pada zaman Revolusi Perancis (abad ke-18 Masehi). Ketika menceritakan gagasan kontrak sosial, Rousseau menyebut la religion civile (agama civil), sebagai pemahaman yang paling cocok bagi kehidupan modern. Ini pengembangan dari dua tipe sebelumnya, yaitu agama yang menyatukan kebangsaan serta agama institusional—sebagaimana dianut banyak orang sekarang.
Berangkat dari tafsir atas pemikiran itu, Kang Jalal mengusung wacana agama madani dan memetakan fenomena pemahaman keislaman di Indonesia. Bagi dia, ada tiga jenis pemahaman Islam: Islam fiqhiy, Islam siyasiy, dan Islam madani. Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya.
Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fikh yang dipraktikkan sehari-hari. Islam menjadi sangat ritual. Kesalehan diukur dari ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. ”Islamnya itu rahmatan limutamadzhibin atau rahmat bagi mazhabnya saja,” katanya.
Setelah itu berkembang Islam siyasiy atau Islam politik. Menjadikan Islam sebagai kegiatan politik, pemahaman ini memusat pada perjuangan untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Keselamatan bukan untuk sekelompok Islam, tetapi untuk seluruh umat Islam, rahmatan lilmuslimin.
Bagi Islam fikhiy, kaum Muslimin mundur karena dianggap meninggalkan Al Quran dan Sunah. Untuk maju, kita mesti kembali berpedoman kepada dua sumber itu. Mereka meyakini bahwa zaman para Nabi dan sahabatnya adalah zaman paling ideal.
Islam politik melihat kemunduran umat Islam akibat dominasi dan konspirasi Barat yang menghancurkan Islam. Mereka mengajak kita kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, yaitu masa khilafah Ustmaniyah. Itu dianggap zaman ideal yang harus diperjuangkan lagi.
Kedua pemikiran itu mengantarkan kita pada Islam madani. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama.
Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.
Jika Islam fiqhiy itu berkutat pada urusan fikh dan Islam siyasiy pada politik, Islam madani berpusat pada karakter, akhlak. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk.
Perjalanan pribadi
Ketiga pemahaman itu dialami Kang Jalal dalam perjalanan hidupnya. Dia besar dalam keluarga Nahdlatul Ulama (NU) di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saat kecil dia ditinggalkan ayahnya pergi ke Sumatera untuk perjuangan Islam. Ayahnya aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang bercorak Islam politik.
Jalal melanjutkan sekolah di Kota Bandung. Dia berkenalan dengan paham PERSIS (Persatuan Islam) yang menurutnya sangat fikhiyah, dan kemudian menjadi kader Muhammadiyah. ”Saya pernah berusaha mengubah masjid NU di kampung menjadi masjid Muhammadiyah. Caranya, dengan menyingkirkan beduk. Ketika mau shalat Jumat, jemaah masjid itu kehilangan beduknya,” katanya mengenang.
Jalal muda lantas bersentuhan dengan kelompok-kelompok yang dulu bergabung dengan Masyumi yang kental warna politiknya. Dari berbagai pelatihan, tumbuh keinginan untuk melanjutkan perjuangan ayah mendirikan sistem politik Islam. Ketika melanjutkan studi S-2 ke Iowa State University, Amerika Serikat, tahun 1980, dia juga terpengaruh gagasan Ikhwanul Muslimin.
Pulang ke Tanah Air, Jalal menerbitkan buku-buku dari Ikhwanul Muslimin, seperti karya Hasan Al-Banna, tokoh garis keras dari Mesir. Hingga tahun 1990-an dia aktif memperjuangkan syariat Islam, terutama lewat pelatihan di kampus-kampus. ”Saya termasuk penentang asas tunggal Pancasila karena merupakan produk sekuler,” katanya.
Dia pernah berdebat dengan Nurcholish Madjid (almarhum) di ITB. Cak Nur mewakili cendekiawan sekuler propemerintah, sementara Jalal dikelompokkan sebagai fundamentalis antipemerintah. ”Saya sempat dipanggil Bakorstanasda, bagian dari Pangkopkamtib, dan diberhentikan sebagai dosen oleh Dekan Universitas Padjadjaran,” katanya.
Pemahaman keagamaan Kang Jalal bergeser secara perlahan, terutama setelah diundang Cak Nur untuk ikut mengisi acara-acara kajian di Paramadina tahun 1990-an. Dia juga banyak berdiskusi dengan kelompok Islam modernis, seperti Alwi Shihab, Gus Dur, dan Dawam Rahardjo.
Di luar itu, saat mengikuti konferensi internasional di Kolombo, dia bertemu dengan sejumlah ulama Syiah yang membawa perspektif Islam lain yang masuk akal dan sangat pluralistik. Pulang ke Indonesia, dia bawa buku-buku Syiah dan menerbitkannya lewat Mizan.
Salah satunya, buku-buku Ali Syariati yang menempatkan ideologi Islam bukan untuk menegakkan syariat, melainkan untuk menentang kezaliman, penindasan. Pemikir Syiah lain, Murtadha Muthtahhari, punya pandangan pluralis. Bagi dia, Tuhan adil sehingga pasti memberi pahala bagi siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang berbuat jahat, apa pun agamanya.
”Apakah menolong orang menjadi amal saleh karena pelakunya Muslim, dan menjadi amal salah karena pelakunya orang bukan Islam? Amal itu baik pada dirinya. Semua itu menggugah saya,” katanya.
Kang Jalal akhirnya menjadi cendekiawan Muslim yang mengembangkan gagasan Islam madani yang pluralis. Bagi dia, semua kelompok agama itu selamat, dan kelebihannya ditentukan oleh amal saleh dan kontribusinya terhadap kemanusiaan.
Belakangan, dia juga suntuk menekuni tasawuf, jenis keislaman yang dasarnya cinta. Dengan cinta, setiap agama bisa bertemu dan berbicara pada bahasa yang sama, memasuki kebun yang sama, baik itu Islam, Buddha, Kristen, Katolik, maupun Hindu.
Indonesia
Ketiga pemahaman Islam tadi tumbuh di Indonesia. Islam siyasiy tampak bangkit lagi lewat partai-partai politik Islam serta dalam kelompok keagamaan di kampus-kampus umum. Islam fiqhiy juga masih ada meski mulai berkurang. Beberapa organisasi masih bertahan dengan Islam fikh.
Namun, Islam madani juga berkembang. Secara umum masyarakat sudah bertambah pluralis. Keterbukaan lewat internet membuat orang mudah memahami kelompok lain. Itu pengantar efektif untuk mendorong orang menjadi pluralis dalam kehidupan global.
”Ketiga jenis Islam itu bertarung dalam wacana, tapi kadang memercik dalam tindakan kerusuhan. Itu terjadi jika dibakar oleh kelompok kepentingan tertentu,” katanya.
Kang Jalal menilai agama madani sangat pas dikembangkan di Indonesia. Pemahaman ini bisa menyatukan bangsa yang sudah lama tercabik-cabik oleh paham keagamaan. ”Kita bisa tingkatkan toleransi itu dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, kita menikmati kehadiran orang lain dalam kehidupan,” katanya.
Bagaimana pemerintah berperan mengembangkan pluralisme? ”Buat kita, itu anjuran. Buat pemerintah, itu keharusan,” katanya.
Secara moral, pemerintah wajib melindungi kelompok minoritas dengan memberi hak dan peluang yang sama. Pemerintah mestinya bersikap tegas dalam melindungi kelompok-kelompok minoritas.
Pluralisme juga bisa dikembangkan lewat sistem pendidikan. Akhlak atau karakter yang baik, seperti penghargaan kepada orang lain atau sikap empati terhadap sesama, bisa ditanamkan lewat program-program pelatihan di sekolah. Pendidikan paling layak disebut pendidikan karena mengajarkan karakter.
Menurut Jalal, secara keseluruhan negara memang masih lemah. ”State sudah menetapkan sesuatu, katakanlah undang-undang yang melindungi kebebasan beragama, tapi tak jalan di lapangan. Menurut UUD 1945, tak boleh ada satu kelompok agama diserang hanya karena beda mazhab. Tapi, penyerangan itu terjadi,” ujarnya.
Negara lemah karena hukum kita lemah. Hukum lemah karena politik Indonesia itu ditentukan hubungan dan kepentingan kelompok. Pemerintah, kata Kang Jalal, lebih mempertimbangkan kepentingan politik, bukan lagi undang-undang yang membela hak asasi manusia.

Sumber : kompas.com