Kamis, 08 Juli 2010

GAJAH DI PELUPUK MATA PEWARTA SUMSEL HARUS (TIDAK) DILIHAT


Pagi ini sama seperti pagi kemarin di salah satu sudut Ruangan Rumah Publik ini dengan di temanin secangkir Kopi dan sebatang rokok, saya mulai menjelajahi dunia kembali,dengan menggunakan Komputer usang saya, yang telah saya hubungkan dengan layanan Internet maka sayapun mulai mencari dan membaca seputar peristiwa atau Informasi yang terjadi di sumatera selatan kemaren 6/07 sampai dengan hari ini.

Klik sana klik sini, buka sana buka sini dan Loading….., mata sayapun tertuju pada satu berita di halaman kompas.com, dengan judul ”Wartawan Palembang menolak Intimidasi”. Berita ini mengulas tentang Aksi yang dilakukan oleh puluhan Jurnalis beberapa surat Kabar di Sumsel yang tergabung dalam Forum Pewarta Sumsel, dalam menyikapi aksi teror pelemparan BOM molotov oleh orang yang tidak dikenal ke halaman kantor Redaksi Surat Kabar dan majalah Tempo di Jakarta Pada selasa,04/07 dini hari Pukul 02.00 Wib.

Banyak pendapat yang muncul terkait dengan Aksi Teror tersebut, yang jika saya simpulkan, terlepas dari siapa pelakunya. merupakan bentuk pembungkaman atau Intimidasi terhadap Media Massa oleh mereka yang dirugikan dalam pemberitaan Majalah Tempo edisi 27 – 4 Juli 2010 tentang Rekening Gendut Para Jenderal POLRI.

Respon dengan melakukan Aksi yang dilakukan oleh Para Pewarta Sumsel ini, bisa saya bilang Loadingnya sangatlah cepat, karena memang hal ini sangatlah bersentuhan langsung dengan aktifitas atau pekerjaan mereka sehari hari dalam hal mencari dan menulis Berita.Sehingga dapatlah kita bayangkan jika hal seperti ini di biarkan dan tidak disikapi oleh mereka maka kedepan para Pewarta dan para pemilik media di seluruh Nusantara akan berpikir ulang untuk mempublikasikan Informasi dan Fakta atas keborokan suatu Institusi yang ada Indonesia.

Akan tetapi apa yang dilakukan oleh pewarta di Sumsel ini, telah memunculkan Pertanyaan di diri saya dan mungkin kawan kawan lain nya, yang dalam beberapa bulan ini sedang melakukan perjuangan advokasi menolak alih fungsi kawasan Hijau publik GOR Palembang oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan untuk dijadikan Kawasan Bisnis atau Private dengan di bangunnya Hotel dan Café didalam kawasan tersebut. Karena Setidaknya sejak kami memulai kampanye penolakan kebijakan pemerintah atas hal ini, kami yang tergabung dalam Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) tidak mendapatkan satu space Beritapun ”di beberapa” media cetak dan elektronik baik itu media Lokal maupun Nasional, dan jikapun berita itu ada atau dipublikasikan di media tersebut isinya tidaklah Proporsional (seimbang) atau hanya sebagai pelengkap dari pernyataan pemerintah dalam hal ini Gubernur Sumatera Selatan. Dan yang lebih parah lagi terkadang tidak sesuai dengan Fakta dan tuntutan yang sebenarnya kami perjuangkan (Dimanipulasi/diplentir). Disisi lain ternyata masih ada juga media massa tersebut yang tetap berani dan Objektif dalam memberitakan Persoalan dan tuntutan kami atau sesuai dengan fakta. (Salut untuk para awak atau redaksi dan media massa yang telah teruji dan berani tersebut)

Di selah adanya tidak keseimbangan berita dan tidak di Publikasikan kegiatan atau tuntutan tuntutan yang kami lakukan tersebut. Terdengar kabar dari beberapa Pewarta di Sumsel bahwa, ternyata hampir seluruh Redaksi media Cetak dan elektronik Lokal maupun Nasional telah di Intimidasi agar tidak menaikan atau memberitakan segala kegiatan tentang penolakan terhadap Alih fungsi Kawasan Hijau Publik GOR Palembang menjadi Hotel dan Café , adapun bentuk intimidasi tersebut yaitu para Pejabat teras di Sumatera Selatan yang terganggu dengan penolakan alih fungsi tersebut menghubungi Para redaksi media Massa tersebut via telpon .dan hasil dari telepon komuniskasi ini telah saya terangkan diatas.

Dengan kondisi yang terjadi di media yang ada di Sumatera Selatan ini, mungkin akan lebih baik lagi apabila Para Pewarta yang tergabung dalam Forum Pewarta Sumsel kembali melakukan kegiatan serupa namun dengan isu dan tuntutan lebih Spesifik (lokal) yaitu ”Hentikan segala Intimidasi yang dilakukan oleh Penguasa Sumsel terhadap media massa yang ada di Sumsel karena hal itu mengancam kebebasan Pers, serta Menyerukan kepada para awak Redaksi media untuk segera menghentikan segala PRAKTEK PELACURAN terhadap Media Massa”. Jika ini dilakukan maka setidaknya para Pewarta ini telah merubah kalimat pepatah lama yang berbunyi ”GAJAH di Pelupuk Mata Tidak Terlihat, Semut di seberang Lautan Terlihat” . menjadi ”Semut Di Seberang Lautan Pun Dapat Kami Lihat Apalagi Gajah Yang Ada Di Pelupuk Mata Kami Sendiri”.

Di tulis saat aku merasakan keresahan yang dirasakan oleh kawan kawan ku Pewarta yang merupakan Pejuang DEMOKRASI.


Selasa, 06 Juli 2010

Serba Pindang Ikan dari Palembang

Oleh oleh nemenin mbak isti dari tempo Institute ang mas bondan dari sawit Watch.. jadi berita kuliner


Menu khusus ikan belida diburu oleh kalangan berduit.

Makanan khas Palembang dan kota-kota sekitarnya bukan hanya pempek. Ragam masakan bercita rasa khas Melayu--campuran asam, manis, pedas--mudah ditemui di kota yang dilintasi Sungai Musi itu. Kebanyakan masakan berbahan dasar ikan patin dan seluang. Dua ikan itu mudah ditemui di tepian sungai dan gampang dibudidayakan.

Rumah makan Sri Melayu menjadi salah satu rujukan bagi pemburu sajian kuliner khas Melayu di Palembang. Restoran seluas sekitar 5.000 meter persegi ini berada di samping Istana Gubernur Sumatera Selatan, di Jalan Demang Lebar Daun, Palembang. “Kami menawarkan masakan Melayu siap saji,” kata Ahmad Sodri, salah satu karyawan di resto itu. Keunggulan inilah yang dijual rumah makan yang berdiri sejak 6 Agustus 2001 itu.

Menunya antara lain pindang ikan patin, pindang ikan salai, pindang ikan baung, brengkes tempoyak patin, dan ikan seluang goreng. Semuanya disajikan dalam keadaan hangat dan panas. Perpaduan asam, manis, dan pedasnya mantap. “Buah nanas untuk mendapatkan rasa asamnya,” ujar Ismail Umar, pemilik restoran.

Ismail menjelaskan, pengunjung biasanya memburu menu pindang ikan patin. Kebanyakan ingin merasakan kecocokan rasa dari semua masakan yang disajikan. “Seratus persen menggunakan bumbu tradisional, biar terasa masakan rumahan,” katanya.

Bagian ikan patin yang menjadi menu favorit adalah kepala. “Lemak di kepala ikan ini enak sekali,” ujar Bondan Andriyanu, 28 tahun, pengunjung asal Kota Depok, yang baru kali itu berkunjung. Jenis masakan pindang lainnya adalah ikan salai (ikan asap).

“Semua ikan sungai bisa dijadikan salai dengan diasapin dulu,” kata Ahmad. Ikan salai yang dihidangkan saat itu adalah ikan baung. Butuh perjuangan besar untuk menyantapnya jika tak ingin menelan “ranjau” alias duri yang cukup banyak di daging ikan itu. Rasanya segar dengan bumbu pindang, seperti kunyit, serai, jahe, serta nanas, yang ditambahi daun bawang agar rasanya lebih mantap.

Menurut Ismail, ada menu lain yang tak boleh dilewatkan di restonya, yakni brengkes tempoyak patin. Potongan daging ikan patin mentah dibungkus bersama tempoyak durian (daging buah durian yang difermentasi), potongan cabai, dan sambal kunyit, kemudian dikukus. Rasanya tak akan terlupakan bagi orang yang pertama menyantapnya. “Lembut dan rasa duriannya tajam,” kata Bondan.

Ada lagi menu khusus yang diburu terutama oleh kalangan berduit, yakni ikan belida goreng. Sepotong sirip ikan belida, yang dihargai Rp 50 ribu, bisa menuntaskan kerinduan orang akan rasa ikan yang sekarang susah ditemui itu. “Budidayanya susah. Jadi, ya ,wajar kalau harganya mahal,” ujar Hadi Jatmiko, pengunjung lainnya. Menurut orang asli Lubuklinggau, Sumatera Selatan, ini, daging ikan ini pula yang dulu kerap menjadi bahan dasar pempek.

Ismail mengatakan, ia menjual suasana dalam resto yang juga dimanfaatkannya sebagai tempat tinggal itu. Ada 10 saung dan 20 meja di luar saung yang berukiran khas Palembang. “Kalau ukiran Palembang itu, catnya didominasi warna manggis dan emas,” katanya. Berbeda dengan ukiran Jepara, yang dominan warna cokelat tua.

Sejak dibuka, kata Ismail, restorannya tak pernah sepi. Dalam sehari, para penikmat masakan di rumah makan itu sekitar seratus orang. “Pembelinya beragam, bukan hanya yang bekerja di kantor gubernur,” katanya. “Harga di sini enggak terlalu mahal dan enggak terlalu murah,” kata Hadi. ISTIQOMATUL HAYATI