Selasa, 06 Juli 2010

Serba Pindang Ikan dari Palembang

Oleh oleh nemenin mbak isti dari tempo Institute ang mas bondan dari sawit Watch.. jadi berita kuliner


Menu khusus ikan belida diburu oleh kalangan berduit.

Makanan khas Palembang dan kota-kota sekitarnya bukan hanya pempek. Ragam masakan bercita rasa khas Melayu--campuran asam, manis, pedas--mudah ditemui di kota yang dilintasi Sungai Musi itu. Kebanyakan masakan berbahan dasar ikan patin dan seluang. Dua ikan itu mudah ditemui di tepian sungai dan gampang dibudidayakan.

Rumah makan Sri Melayu menjadi salah satu rujukan bagi pemburu sajian kuliner khas Melayu di Palembang. Restoran seluas sekitar 5.000 meter persegi ini berada di samping Istana Gubernur Sumatera Selatan, di Jalan Demang Lebar Daun, Palembang. “Kami menawarkan masakan Melayu siap saji,” kata Ahmad Sodri, salah satu karyawan di resto itu. Keunggulan inilah yang dijual rumah makan yang berdiri sejak 6 Agustus 2001 itu.

Menunya antara lain pindang ikan patin, pindang ikan salai, pindang ikan baung, brengkes tempoyak patin, dan ikan seluang goreng. Semuanya disajikan dalam keadaan hangat dan panas. Perpaduan asam, manis, dan pedasnya mantap. “Buah nanas untuk mendapatkan rasa asamnya,” ujar Ismail Umar, pemilik restoran.

Ismail menjelaskan, pengunjung biasanya memburu menu pindang ikan patin. Kebanyakan ingin merasakan kecocokan rasa dari semua masakan yang disajikan. “Seratus persen menggunakan bumbu tradisional, biar terasa masakan rumahan,” katanya.

Bagian ikan patin yang menjadi menu favorit adalah kepala. “Lemak di kepala ikan ini enak sekali,” ujar Bondan Andriyanu, 28 tahun, pengunjung asal Kota Depok, yang baru kali itu berkunjung. Jenis masakan pindang lainnya adalah ikan salai (ikan asap).

“Semua ikan sungai bisa dijadikan salai dengan diasapin dulu,” kata Ahmad. Ikan salai yang dihidangkan saat itu adalah ikan baung. Butuh perjuangan besar untuk menyantapnya jika tak ingin menelan “ranjau” alias duri yang cukup banyak di daging ikan itu. Rasanya segar dengan bumbu pindang, seperti kunyit, serai, jahe, serta nanas, yang ditambahi daun bawang agar rasanya lebih mantap.

Menurut Ismail, ada menu lain yang tak boleh dilewatkan di restonya, yakni brengkes tempoyak patin. Potongan daging ikan patin mentah dibungkus bersama tempoyak durian (daging buah durian yang difermentasi), potongan cabai, dan sambal kunyit, kemudian dikukus. Rasanya tak akan terlupakan bagi orang yang pertama menyantapnya. “Lembut dan rasa duriannya tajam,” kata Bondan.

Ada lagi menu khusus yang diburu terutama oleh kalangan berduit, yakni ikan belida goreng. Sepotong sirip ikan belida, yang dihargai Rp 50 ribu, bisa menuntaskan kerinduan orang akan rasa ikan yang sekarang susah ditemui itu. “Budidayanya susah. Jadi, ya ,wajar kalau harganya mahal,” ujar Hadi Jatmiko, pengunjung lainnya. Menurut orang asli Lubuklinggau, Sumatera Selatan, ini, daging ikan ini pula yang dulu kerap menjadi bahan dasar pempek.

Ismail mengatakan, ia menjual suasana dalam resto yang juga dimanfaatkannya sebagai tempat tinggal itu. Ada 10 saung dan 20 meja di luar saung yang berukiran khas Palembang. “Kalau ukiran Palembang itu, catnya didominasi warna manggis dan emas,” katanya. Berbeda dengan ukiran Jepara, yang dominan warna cokelat tua.

Sejak dibuka, kata Ismail, restorannya tak pernah sepi. Dalam sehari, para penikmat masakan di rumah makan itu sekitar seratus orang. “Pembelinya beragam, bukan hanya yang bekerja di kantor gubernur,” katanya. “Harga di sini enggak terlalu mahal dan enggak terlalu murah,” kata Hadi. ISTIQOMATUL HAYATI

Tidak ada komentar: