Tuhanku, bereskan akidahku dari cengkeraman kerumitanku
Tuhanku, kukuhkan aku dalam menghadapi akidah sesat
Tuhanku, jangan Engkau cegah perkembangan akal dan ilmuku, hanya karena terlalu fanatik, sentimental, dan “tercerahkan”
Tuhanku, cerdaskan fikiranku dan terangkan penglihatanku selalu, supaya aku tidak bertindak sebelum tahu benar-salahnya sesuatu
Tuhanki, jangan Engkau jadikan kebodohanku sebagai bulan-bulanan musuh untuk menjadi bumerang buat teman sendiri
Tuhanku, jangan Dikau jadikan “ego” yang kuhendaki seperti “ ego” yang mereka kehendaki
Tuhanku, jangan campur-baurkan perbedaan dalam raga”keksatriaan” , pikiran, dan hubungan, sehingga membuatku buta akan terpisahnya satu dan lainnya
Tuhanku, jangan Engkau jadikan aku kaki-tangan kaum lalim dengan hasut,dengki, dan kasak-kusukku
Tuhanku, bunuhlah, atau setidaknya, cabutlah egoisme dalam diriku, supaya aku tidak peduli dan tersiksa dengan egoisme orang lain
Tuhanku, anugerahkan padaku iman kepada “ketaatan mutlak”, sampai aku selalu merasa berada di alam “kemaksiatan mutlak”
Tuhanku, ajarkan padaku takwa dalam bentuk jihad, sehingga aku tidak pusing dengan padatnya kesibukan. Dan hindarkan dariku takwa dalam bentuk “kehati-hatian”, sehingga aku menghilang dalam pengasingan
Tuhanku, jangan Engkau masukkan hamba ke dalam kekebalan orang mewah. Melainkan karuniai aku etos yang kuat, tekad yang besar, dan kebingungan visioner. Berikan kepada hamba-hamba-Mu yang hina, kelezatan. Tetapi berikan padaku derita-derita yang memuliakanku
Tuhanku, jangan letakkan pikiran dan perasaanku di peringkat yang mengikuti kelihaian-kelihaian yang rendah dan kehinaan-kehinaan yang menyakitkan, yang datang dari orang-orang semi manusia (pseudo-human beings). Aku utamakan diriku, wahai Tuhanku, menjadi “raksasa tertipu”, ketimbang “ cacing penipu”
Tuhanku, bereskan aku dari empat penjara besar manusia: alam, sejarah, masyarakat, dan ego, supaya sebagaimana Engkau, wahai Sang Pencipta, menciptaku aku akan ciptakan diriku
Tuhanku, aku tidak mau menyesuaikan diriku pada lingkungan layaknya binatang. Tapi, aku ingin menyesuaikan “lingkungan” dengan diriku di mana pun
Tuhanku, nyalakan api “keraguan” yang suci dalam dadaku, agar semua “kepastian’ yang telah ditanamkan orang lain kepadaku terbakar habis. Namun, ketika debu-debunya telah bertebaran menghilang, tersungginglah senyum kasih sayang di permukaan dua bibir “fajar keyakinan” yang tak berbercak sedikitpun
Tuhanku, jangan jadikan hamba butuh akan mimikri (meniru) dan taklid, supaya aku dapat menghancurkan matriks-matriks warisan leluhur maupun klise-klise yng kebarat – baratan. Biarkan mereka membisu. Biarkan aku sendiri berbicara!
Tuhanku, cabutlah sifat nerimo dan nun inggih dari bangsaku. Dan berikan sifat-sifat itu pada hamba
Tuhanku, hancurkan akal bulus yang tidak mengarti apapun kecuali logika manfaat dan yang menjerat kepak-kepak sayapku untuk terbang hijrah dari modus being atau status quo ke modus becoming atau mi’raj. Ya Allah! Hancurkanlah ia dengan berkas-berkas kobaran rindu yang menjilat-jilat dengan cepat dalam batinku!
Tuhanku, hindarkanlah aku dari persahabatan atau permusuhan dengan jiwa-jiwa nista dan kerdil untuk melestarikan jiwa-jiwa besar Gilgamesy sampai Sartre, Lopi sampai ‘Ain al-Qudhat, dari Mehraweh sampai Rozas yang berpuncak pada jiwa agung Imam Ali
Tuhanku, segala puji bagi-Mu, atas perkenan-Mu menjadikan kedunguan sebagai musuhku. Sungguh, nikmat itu, tidak akan Kau berikan kecuali kepada hamba-hamba-Mu yang dekat dengan-Mu
Tuhanku, jangan jadikan hamba sasaran orang-orang lalai dan lupa daratan
Tuhanku, tambahkan ikhtiar, pengetahuan, perlawanan, ketidakbutuhan, kebingungan, kesendirian, pengorbanan, dan kelembutan rohku
Tuhanku, tolonglah hamba-Mu iniuntuk dapat membangun masyarakat atas tiga pilar berikut; Wahyu, Al-Mizan (keseimbangan), dan Al-Hadid (besi). Ya Allah, buatlah kalbuku terang benderang oleh kebenaran, kebajikan, dan keindahan
Tuhanku, peringatkan daku selalu dengan ilham-Mukepada Rousseau: “jika aku adalah musuh-Mu dan musuh akidah-Mu meskipun begitu aku mengorbankan jiwaku untuk kebebasan-Mu dan akidah-Mu”
Tuhanku, obatilah rakyatku dari wabah “tasawuf”, agar mereka kembali kepada kehidupan dan kenyataan. Tetapi, sembuhkan aku dari kebodohan hidup dan penyakit “neorealitas”, agar aku dapat mencapai kesempurnaan spiritual dan kebebasan mistis
Tuhanku, ajarkan kepada para pemikir yang menganggap ekonomi sebagai dasar utama, bahwa ekonomi itu bukan tujuan. Dan ajarkan kepada agamawan yang menuju “kesempurnaan”, bahwa ekonomi itu juga dasar
Tuhanku, ngiangkan di hati para cendekiawan ucapan yang pernah Kau luncurkan dari mulut Dostoyevski: “jika Tuhan tiada, maka segala suatu akan menjadi metafora”
Alam akan menjadi tak bermakna, hidup tak bertujuan, dan manusia bingung tak karuan dan tak bertanggung jawab, bila tak disertai Tuhan disisinya
Tuhanku, jadikan aku tidak punya (fakir) dan tak ingin (zuhud) di hadapan apa saja yang menghancurkan rasa malu
Tuhanku, jangan kau lemparkan aku ke dalam kebingungan antara memilih “kebesaran”, “kedurhakaan”, “kepahitan” dan “kemewahan”, “ketenangan”, dan “kelezatan”
Tuhanku, ilhamkan kepada mereka yang Kau cintai :”Sesungguhnya cinta lebih mulia dari hidup.” Dan rasakan kepada mereka yang lebih kau cintai:”bahwa sesungguhnya ekstase lebih daripada sekadar cinta!”
Tuhanku, berikan kesanggupan padaku untuk berusaha dalam kegagalan, bersabar dalam keputusasaan, berjalan ke depan tanpa teman, jihad tanpa senjata, amal tanpa pamrih, perjuangan dalam kesunyian, agama tanpa kehadiran “dunia” dan “orang-orang awam”, keagungan tanpa kemasyhuran, perkhidmatan tanpa mencari sekerat roti, iman tanpa pengaruh riya’, kebajikan tanpa unsur kemunafikan, keberanian yang matang, kepantangkalahan yang tidak tertipu diri, ‘isyq yang tidak maniak, kesendirian ditengah manusia, dan cinta tanpa kenal sang kekasih
Tuhanku, jangan karuniai daku keutamaan-keutamaan yang tidak bermanfaat bagi manusia!
Tuhanku, hindarkanlah daku dari kebodohan yang liar dan merusak dan yang dapat menghilangkan cita rasa yang kudus, gerakan menuju ke jarak yang terjauh, tatapan serang lapar dan kulit yang membiru akibat sabetan rotan
Tuhanku, berikanlah para orang suci besar yang telah lama berkutat dalam pengasingan ibadah yang suci, ilmu, dan seni, kesempatan untuk membunuh diri mereka, agar melihat bahwa, selain mereka, ada dunia yang bermakna dan bahwa dunia itu tidak sebesar daun bidara. Dan juga supaya mereka mengerti bahwa kadar alam yang bermakna dan bernyawa ini tidak sebatas atom atau sebatas apa yang di benak para orang suci yang bertopeng atau para penipu yang sok suci. Selain itu, bebaskan mereka semua dari pikiran sempitdan kekanak-kanakan. Berikan kesempatan itu kepada mereka, sampai mereka benar-benar menyadari bahwa tak sedikitb pun ada kesia-siaan atau absurditas di alam ini. Karena tak ada sekecil apa pun kesalahan pada pena penciptaan Ilahi
Tuhanku, katakan pada Sartre: jika “dewa kebaikan” itu adalah diri kita sendiri, maka apa makna itikad baik (le bon sens) yang dijadikannya sebagai norma etika?
Tuhanku, katakan kepada para materialis: bahwa manusia bukan pohon yang hidup dalam alam, sejarah, dan masyarakat tanpa kesadaran
Tuhanku, ajarkan pada rakyatku bahwa jalan menuju-Mu berpusat di bumi. Dan berikan daku petunjuk tentang jalan paling cepat menuju-Mu
Tuhanku, kepada para agamawan, talkinkan ajaran bahwa manusia dari tanah. Fenomena material dapat menafsirkan Tuhan sebaik tafsiran yang berasal dari fenomena metafisik. Wujud Allah di dunia dan di akhirat itu identik
Dan Tuhanku, talkinkan kepada mereka bahwa agama yang belum melampaui cakar ajal, maka hidupnya takkan bermanfaat dan setelah mati pun bernasib sama
Tuhanku, siapakah orang kafir? Siapakah orang Muslim? Siapa orang Syi’ah? Dan siapa orang Sunni itu? Apakah kiranya batas-batas yang membedakan mereka satu sama lainnya?
Sungguh aku menanti datangnya hari penyucian pemahaman dan pengetahuan tentang agama di satu-satunya negeri Islam ini (Iran). Sehingga seorang “juru bicara resmi agama” kita dapat memotret Fathimah seperti bidikan Sulaiman Katani, seorang dokter beragama Kristen; memotret Imam Ali seperti seorang berabama Kristen, DR. george Jordaq, memotretnya. Menangkap Ahlulbait seperti riset si Katholik, Massignon. Mengerti Abu Dzar seperti dalam tulisan Abdul Hamid Judah as Sahhar. Mengurai Al-Quran seperti dalam terjemahan Blache’re, seorang pendeta resmi gereja. Atau dapat berbicara tentang Nabi kita, Muhammad, seperti Maxim Rodinson, seorang peneliti beragama Yahudi
Seperti juga saya berharap, suatu saat nanti, Islam dan para pendukungnya serta para penegak Wilayah yang resmi dapat bersama-sama menerjemahkan karya orang-orang kafir yang resmi itu
Namun bilamana yang memandang Imam Husain-sosok imam pembawa bendera sejarah yang berwarna merah dan contoh mukjizat manusia-adalah orang-orang licik yang ketika bau kematian tercium, seketika itu pula memelas kepada para algojo dan meminta seteguk air, bila orang dengan kepribadian seperti itu yang memandangnya, maka rusaklah semuanya
Bilamana orang-orang seperti mereka yang memandang Imam Ali simbol kemuliaan, keramat, dan keluhuran, dan yang ketajaman lidahnya menyamai pedangnya (mereka akan memandangnya) sebagai orang yang lemah, penakut, dan maju mundur, sehingga sedikit saja rasa takut menyentuh beliau, maka beliau pun akan membai’at orang-orang zalim dan mendekati para perampas hak khilafah
Imam Ali adalah orang yang tak kenal takut. Dia tidak pernah ingin mendekati orang-orang yang merampok hak khilafahnya, mengikuti mereka, menjadi anggota Parlemen Saqifah, dan memberikan haknya kepada orang lain yang tidak akan selayak dan sepatut dia dalam memegang tampuk kepemimpinan. Ketika rasa takut mencekamnya, tidak lantas Imam Ali mau mengawinkan putrinya kepada si perampas hak yang telah menyakiti istrinya sendiri, Fathimah
Fathimah, kata rasul, adalah salah satu dari empat wanita dalam sejarah yang paling istimewa. Dia adalah kiblat wanita sedunia. Dialah yang kedua tangannya pernah dicium Rasuldengan penuh rasa hormat. Dia adalah istri sekaligus sobat tercinta Ali. Fathimah juga putri semata wayang Rasulullah.Dia juga wanita yang telah mendidik Husain dan Zainab. Merekalah, orang-orang yang memandang Fathimah sekadar sebagai perempuan yang sering mengutuk, putus asa, tersedu-sedu selalu oleh tangis akan apa yang menimpa tulang punggungnya atau akan tanah yang dicuri pemerintah, merekakah Syi’ah itu?
Apakah mereka, yang memandang Zainab hanya sekedar sebagai orang yang antannya patah dan lesungnya hilang akibat kematian kakaknya, Husian bin Ali, itukah orang-orang Syi’ah?
Adalah Zainab perempuan yang, ketika melihat kakaknya terbujur kaku, malah bersegera pergi untuk mengumumkan revolusi penuh berkahnya
Dia bukan wanita yang diceraikan suaminya supaya lebih leluasa dalam menjalankan tugasnya sebagai peniti jalan jihad, seperti kata sebagian orang Syi’ah
Zainab, wanita yang manakala melihat seorang syahid tak dikenal, segera dia menangis, memukul dadanya, dan berduka cita untuknya. Tetapi ketika si Syahid itu adalah anaknya sendiri, dia tidak menangis, mengerang, ataupun memukul dadanya. Seolah dia mengharapkan pertikaian ini hanya menumpahkan darah keluarganya dan tidak selain mereka. Dialah perempuan suci yang dalam perjalanan pulangnya dari Karbala, dalam keadaan tubuhnya terikat erat oleh tali panjang, dia tetap mengumandangkan seruan-seruan ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Gema seruan itupun mengguncangkan istana para pengkhianat dan bumi tempat para tiran berjalan-jalan. Dialah macan betina yang mengungkapkan epos (cerita kepahlawanan) dan meneteskan semangat juang kepada para pahlawan wanita lainnya dalam iring-iringan para wanita masa depan. Dia bukan wanita sembarang wanita yang mengeluh, menangis, dan meraung-raung karena kematian kakaknya, Husain bin Ali
Apakah orang-orang yang memandang Zainab sekadar sekadar seperti wanita yang kehilangan arahtujuan ketika melihat kakaknya terbujur kaku sebagai syahid itu dapat disebut orang Syi’ah? Syi’ah Ali? Para pengikut Ahlul bait? Satu-satunya umat yang mengikuti jalan kebenaran? Atau, katakanlah, satu-satunya umat yang mengenal Ali dan keluarganya dengan baik melalui sunah dan sumber hakikat? Apakah mereka orang-orangnya?
Dan Dr. Bintus Syathi; seorang penulis yang telah mendedikasikan semua umurnya untuk menulis cerita tentang para wanita Ahlulbait dan seorang yang mengatakan dirinya hidup dalam keluarga itu, tetap kita anggap Sunni?
Dan Blache’re, seorang juru dakwah Kristen, yang telah meluangkan empat puluh tahun hidupnyauntuk meneliti dan menerjemahkan AL-Quran dan pada akhirnya kedua matanya buta karena mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an . atau Massignon, lautan ilmu yang telah menghabiskan 27 tahun usianya untuk menulis biografi Salman Al-Farisy. Dan lebih separo dari seluruh hidupnya dia sempatkan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen, karya-karya dan rujukan-rujukan baik yang berbahasa Arab, Persia, Turki, Latin, atau bahkan yang berbahasa Mongolia untuk menulis biografi yang membicarakan kepribadian dan pengaruh Fathimah dalam sejarah bangsa-bangsa setelah wafat beliau
Apakah Massignon, seorang yang penuh antusiasme ketika berbicara tentang mistisisme Islam, Fathimah, Salman ini seorang atheis?
Tuhanku, tunjukkan daku cara Engkau “melihat perkara”. Atau bagaimana Engkau menghukumi
Apakah Syi’ah itu cinta terhadap “nama-nama”? Ataukah mengenali teladan-teladan dan pola-pola dasar? Apakah mungkian ia adalah sebentuk pengenalan biografis?
Tuhanku, anugerahkan padaku hidup yang ketika mati tiba di saat yang berbuah apapun, aku tidak menyesalinya. Berikan aku hidup yang tidak kusesali penyia-nyiaannya
Tuhanku, gariskan jalan hidupku. Agar ketika ajal tiba, aku dapat menggariskan jalan matiku sendiri. Biarkan aku yang memilihnya, asalkan kau meridhainya
Tuhanku, berikan aku keselamatan di tengah bencana besar penyakit kebodohan yang terlupakan karena telah menyerang semua orang. Bahkan setiap orang yang belum menderita pun, tampak sakit. Tuhanku, selamatkan aku dari penyakit “menyembelih hakikat di pejagalan syari’at.”
Tuhanku, jangan jadikan imanku terhadap Islam dan cintaku kepada Ahlulbait, seperti iman para pedagang agama yang fanatik dan reaksioner. Supaya kebebasanku tidak tertawan oleh kerelaan “orang awam”, agamaku terkubur di balik gengsi keagamaan dan aku menjadi peniru para peniru. Dan pada gilirannya, aku tidak akan berbicara tentang apa yang aku anggap benar, hanya karena orang lain menganggapnya tidak baik
Tuhanku, aku tahu bahwa Islamnya Nabi-Mu telah dimulai dengan “tidak”. Dan aku pun tahu bahwa syiah imam pilihan-Mu, Ali bin Abi Thalib, juga diawali dengan “tidak”!
Tuhanku, jadikan aku “kafir” terhadap “ Islam ya” dan “Syiah ya”!
Tuhanku, ingatkan daku selalu akan tanggung jawab menjadi Syi’ah. Yaitu menjadi seperti Ali. Hidup seperti Ali. Mati seperti Ali. Menyembah seperti Ali menyembah. Berfikir serupa dengan fikiran Ali. Berjihad sepertinya. Beramal seperti beliau. Berbicara seperti beliau. Berdiam diri seperti Ali. Itu semua yang sebatas kemampuanku saja. Ingatkan aku selalu untuk mencari “ego” yang mirip Ali dalam jiwa yang multidimensional; dewa bicara di mimbar, dewa penyembah di mihrab, dewa pekerja di bumi, dewa kesaktian di medan laga, dewa kelembutan di hadapan Muhammad, dewa penanggung jawab dalam masyarakat, dewa pena dalam tulisan di Nahj al Balaghah, dewa Mukmin dalam segenap kehidupan, dewa pengetahuan dalam Islam, dewa revolusi sepanjang sejarah, dewa keadilan dalam pemerintahan, dan dewa kebapakan dan pendidikan di dalam rumah tangga. Meskipun demikian, dia tetap salah seorang hamba Allah!
Tuhanku, jadikan hamba seorang Syi’i yang bertanggung jawab dan setia terhadap ideologi, persatuan, dan keadilan yang merupakan tiga sila Imam Ali dalam kehidupan, setia kepada kepemimpinan dan persamaan yang merupakan agama beliau, dan setia kepada pengorbanan semua keuntungan demi jayanya kebenaran yang telah menjadi sikap hidupnya
Tuhanku, mereka memuji dan mengagungkan Imam Ali sampai seperti Tuhan. Tetapi, kemudian mereka meletakkannya sebagai orang yang bertentangan dengan syari’at dan membai’at para pengkhianat karena takut. Mereka para munafik yang bergabung dalam Wilayah penindas, lantas mengklaim mendapat berkah dengan Wilayah Imam Ali. Sampai hari ini, mereka belum terbebas dari kurungan mesin propaganda dinasti Umawi dan Abbasi. Mereka mencapai revolusi, kebebasan, dan sosialisme, tetapi mereka tetap bukan orang-orang yang paham benar akan Imam Ali, Husain, dan Abu Dzar!
Tuhanku, berkahi aku, supaya agama tak membuatku populer dan tak menyumbangkan roti buatku
Tuhanku, kuatkan daku untuk dapat berjuang dengan popularitas dan roti-rotiku demi agamaku di antara orang yang mencari popularitas dan roti dari agama mereka. Jadikan aku dalam barisan orang yang memeras dunianya demi agamanya, dan tidak menguras kas agamanya untuk menambah tabungan bank dunianya
Tuhanku, segala puji selalu kupanjatkan untuk-Mu. Karena, semakin keras aku melangkahkan kakiku ke depan dalam meniti jalan-Mu dan misi-Mu, semakin banyak orang yang seharusnya berbaik kepadaku, berbalik memusuhiku; mereka yang seharusnya menemaniku, malah menghalangi jalanku; mereka yang semestinya mengakui kebenaranku, sekarang mendustakanku; mereka yang seharusnya menggandeng kedua tanganku, malah menampar mukaku; mereka yang seharusnya bersama-sama menyerbu musuh denganku, berbalik menyerangku bersebelahan dengan para musuh; aku melihat orang-orang yang seharusnya menangkal propaganda asing yang beracun bersamaku dan memuji, menambah kekuatan dan motivasiku, kini malah sama-sama mencela, memaki, membuatku putus asa, dan menuduhku yang bukan-bukan agar aku tidak lagi berjalan menuju-Mu. Jadi, sekarang sampai dengan seterusnya, harapan tunggalku adalah Dikau , ya Allah! Penglihatanku yang terjauh pun hanya akan dipenuhi oleh-Mu. Dan ketika bersama-Mu, aku tak kan menganggap selain-Mu sebagai teman. Supaya tugasku terhadap-Mu jelas, dan tugasku terhadap diriku sendiri terjelaskan, ya Allah!
Tuhanku, rasakan untukku manisnya ikhlas, sehingga rasa manis lainnya yang pernah kurasakan dapat menghilang!
Ya Allah, berikan keikhlasan padaku! Keikhlasan!
Tuhanku, aku tahu agar hidup dan bercinta, keindahan dan kebajikan menjadi mutlak, betapa seseorang dituntut untuk ikhlas! Dan akupun tahu betapa mudah keikhlasan menjadikan keberadaan nisbi ini; onggokan hajat, kelemahan, petaka, was-was, kebutuhan, cita-cita, kehilangan, keriangan, dan kesedihan relatif yang telah mengepung keberadaan manusia; bongkahan bangkai yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi serigala, rubah, ulat, dan cacing ini. Di hadapan semua itu, kekuatan keikhlasan melalui revolusi besarnya, yang dapat berupa zikir atau kasyf yang telah meliliti manusia yang rendah hati dengan kerendahan hatinya di hadapan Tuhannya, menjadi manusia yang bercampur dengan sifat-sifat ketuhanan. Revolusi itu adalah bentuk penentangan dan perlawanan atas selain Allah; penyerahan integral terhadap Allah, yang dapat mengangkat manusia untuk memahami hakikat mutlak Cahayawi yang menyebar dalam fitrah manusia. Kemudian dengan sikap mirip Budha yang ‘tidak butuh’ dan ‘tidak punya’, dan karenanya, ‘tidak bergantung’, dia akan menjadi “abstrak” dan “sendirian” ( solitude). Dan dia pun akan dapat melampaui Budha. Bilamana kedua tali ‘tidak memiliki’ dan ‘tidak menginginkan’ terus dipegang manusia, dia akan tiba-tiba menjadi wujud yang merefleksikan keberadaan Ilahi di dalamnya, dan menggali tabiat kemanusiaanya yang paling dalam. Saat itu, manusia akan merasa bebas, bersih, ringan, suci, terjaga, kudus, abstrak, murni, dan kaya karena telah mencipta dirinya dengan dirinya sendiri secara lengkap. Ketika itu juga, dia telah mencapai puncak mi’raj dalam “kesendirian”. Maka, “ego” yang bohong, semu, dan dusta yang selama ini menjadi kuburan bagi bangkai “ego” penyaksi, jujur, indah, tersembunyi, dan tertutup ini, akan putus dan hancur, bahkan sirna sama sekali
Dengan zikir, jihad besar dan ‘meninggalkan tubuh sebelum mati’, manusia telah melalui hijrah dari status quo dirinya. Dia telah memulai hijrah dari modus being ke modus becoming; mencapai keikhlasan, wujud sejati pada manusia, dan kesucian mutlak! Dia menjadi termurnikan untuk-Nya dan demi Dia saja. Betapa baiknya para etimolog dan para penafsir Al-Qur’an Iran beberapa tahun silam telah mengartikan ikhlas dengan kesatuan, kesendirian, ketunggalan, dan individuasi. Ya, kesendirian dan ketunggalan
Ketika itu, hamba yang khusyuk ini menjadi citra Ilahi di Bumi, teman tanah ini telah berteman dengan kehadiran Ilahi, ketika itu dia akan benar-benar menyendiri dan manunggal dengan Teman Sejati dan hakikatnya; dia akan “lebih hidup” ketimbang hidup itu sendiri, dan lebih serius, kuat, dan kukuh ketimbang kebahagiaan itu sendiri
Semua hajat dan rasa takut, ketamakan, pembenaran dan penyalahan, bahaya dan rasa aman, keterancaman, keuntungan dan kerugian, persahabatan dan permusuhan, pujian dan kutukan, kegagalan dan keberhasilan, senang dan dukanya, yang mirip dengan serigala dan serangga-serangga pemakan yang garang, telah menjadi mainan yang paling tidak berharga baginya
Manusia ini menjadi “pulau” di lautan wujud yang tidak berhingga; sendirian dan mandiri. Empat arah mata angin pulau ini telah dikelilingi dan dibentengi dengan pagar beton “ego” yang solid. Gelombang ombak takkan pernah berani mengancamnya, dan ia pun takkan pernah butuh akan partai untuk menyelamatkan diri. Dia layaknya bunga teratai (nelumbium nelumbo) yang tumbuh dalam lumpur dan bermekaran dalam air, tanpa sedikitpun layu karena kekenyangan. Seperti halnya terik matanari memekarkan dan menumbuhkembangkan bunga-bunganya, ia pun menyerap sinarnya!
Dan sekarang, daialah seorang diri yang mampu terus hidup; hidup dengan “gizi” akidah dan “anggur” jihad, dan mati sebagai syahid seindah dia hidup sebagai orang bebas dan lurus
Itu semua, karena dia seorang Syi’i, bukan seorang “sufi”. Dia seorang Muslim, bukan Buddhis. Dia tidak hanya berhenti di pendakian abstraksi, tetapi kembali lagi meluncur ke bumi dan masyarakat untuk memikul tanggung jawabnya yang berat. Bukankah tanggung jawab yang berat itu yang disebut amanat?
Amanat adalah perbuatan melihat anak yatim yang dihardik, tawanan yang disiksa, orang kelaparan yang bersabar, massa yang mengukuhkan kezaliman, umat yang menanti penyelesaian, manusia yang dikorbankan demi kepentingan-kepentingan tidak wajar, zaman yang menunggu datangnya sang pahlawan, dan segala hal-ihwal yang lalu-lalang di muka bumi
Pembawa amanat adalah seorang yang mudah dipenggal, biasa disiksa, akrab dengan nestapa, dan tidak asing dengan kematian! Dia mati tidak seperti Al-Hallaj; mati sebagai orang suci, tetapi akibat perkara yang tak berarti. Kematiannya, seperti Imam Ali. Kematian yang penuh ridha Allah, karena bermanfaat bagi sekalian hamba-Nya!
Oleh sebab itu, Imam Husain, di senja hari yang berwarna merah oleh cucuran darah sahabat-sahabatnya, pergi untuk berhias dengan kesyahidan. Seraya terus mencium semerbak wangi bau darahnya, tiba-tiba saja perasaan girang dan rindunya untuk menjemput kematian bergetar dengan hebat. Para musuh yang buta pun kemudian bertanya dengan penuh keheranan, “Wahai putra Ali bin Abi Thalib, apakah engkau seorang mempelai pria yang akan melangsungkan pernikahanmu?” imam Husain dengan lantang dan penuh rasa menang menjawab, “ Ya!” mereka membantu Imam Husain dengan mempersiapkan mempelai wanita. Dan mendadak kedua mempelai pun berjumpa. Mempelai prianya bernama Husian bin Ali, dan mempelai wanitanya bernama kesyahidan. Maka, berlangsunglah pernikahan yang telah dinanti-nanti si mempelai pria dengan keriangan yang tak terlukiskan
Ali pun seperti itu. Secepat kilat beliau merasakan keringanan pundaknya yang telah lama ditunggangi beban amanat yang mampu mengguncangkan bumi, meruntuhkan langit, dan menerbangkan gunung-gunung, dengan tikaman pedang di bagian atas kepalanya. Di saat itu, Imam Ali seakan mendapat berita gembira yang sejak semula beliau tunggu dengan penuh rindu
“Fuztu wa Rabbil ka’bah” (“Demi Penjaga Ka’bah, aku telah menang”)
Tuhanku, ikhlaskan daku; dalam hidup, dalam bercinta dengan kesendirian, dan dalam kemanunggalan (tawahhud)!
Tuhanku, kau telah mengaruniai anak Adam dengan kemuliaan (karamah), kemudian kau berikan amanat kepada mereka. Kau utus para nabi untuk mengajarkan kitab-Mu kepada mereka, menegakkan keadilan di bumi, dan memperjuangkan ‘izzah (kejayaan) bagi-Mu dan para nabi-Mu serta bagi semua kaum Mukmin
Sesungguhnya, kami beriman kepada-Mu dan risalah para nabi-Mu. Kami tak lebih dari tebusan buat para tawanan, buat kebodohan, dan buat kehinaan
Wahai Tuhan para hamba tertindas! Engkau telah merestui kaum tertindas; para fakir miskin, para tawanan sejarah dan korban-korban kezaliman dan keganasan sang zaman yang hidup di neraka dunia, yakni masyarakat Dunia Ketiga, untuk mengendalikan tampuk kekuasaan dunia mereka sendiri. Kini, saat kemenangan mereka sudah harus datang. Kini, sudah saatnya Dikau memenuhi janji-Mu kepada mereka
Wahai Sang Simbol Kecemburuan! Di bumu-Mu ini, hanya merekalah yang kini benar-benar menyembah-Mu!
Tuhanku, bukankah Engkau yang menyuruh semua malaikat besujud kepada Adam. Tengoklah kini, anak-anak Adam, hendak bersembah sujud di hadapan super-powers dunia
Tuhanku, bebaskan mereka dari berhala-berhala zaman sekarang yang mereka sembah bersama, padahal kita sendirilah yang memahatnya. Berilah mereka kebebasan ibadah. Yakni ibadah kepada-Mu sendiri
Ya Rabb! Mereka yang kafir atas ayat-ayat-Mu, yang membunuhi para nabi-Mu dengan sewenang-wenang, dan yang menjegal para pejuang keadilan dan emansipasi, masih terus berkuasa di alam
Tuhanku, Engkau telah menjanjikan azab atas mereka, maka biarlah itu menjadi nasib mereka sekarang juga
Tuhanku, anugerahkan rasa tanggung jawab kepada alim ulama kami, pengetahuan kepada orang-orang awam kami, pengertian kepada para fanatik kami, dan fanatisme kepada para moderat kami
Berilah pada para gadis kami kesadaran dan pada para lelaki kami kehormatan
Cerahkan visi (bashirah) sesepuh kami dan tumbuhkan otentisitas para muda-mudi kami
Kukuhkan akidah para murid dan guru kami. Bangkitkan orang-orang lalai di antara kami dan bulatkan tekad orang-orang yang telah bangkit di antara kami
Munculkan hakikat kepada juru dakwah kami dan hadirkan “agama” kepada para agamawan kami
Utuhkan komitmen dan tujuan para penulis kami
Biaskan “kepedihan” kepada para seniman kami dan rasa kepada para penyair kami
Besarkan harapan mereka yang putus asa
Pulihkan kekuatan orang-orang papa kami
Berikan bantuan kepada para makzul kami dan ketegakan kepada para pejabat kami
Lajukan gerakan mereka yang berdiam dan hidupkan “mayat-mayat” kami
Melekkan mata orang-orang buta kami dan berikan kemampuan berteriak kepada mereka yang membisu di sekitar kami
Jelaskan Al-Qur’an kepada kaum Muslim dan datangkan Ali di hadapan orang-orang Syi’ah
Kembangkan semangat kesyi’ahan (tasyayyu’)(baca: kesendirian[tawahhud]) kepada kelompok-kelompok lain
Percepat kesembuhan para penghasut kami dan kejujuran para penipu kami
Ajarkan sopan santun kepada para pendosa kami, kesabaran kepada mujahid kami, dan ketajaman pandangan kepada umat kami
Tuhanku, berikan bangsa kami militansi dan kesiapan untuk sebuah “ serangan balik”, “kemenangan”, “kejayaan”!
Wahai Penjaga Ka’bah! Jangan jadijan mereka yang siang-malam menuju rumah-Mu, hidup dan matinya berkiblat ke arahnya, dan bertawaf mengelilingi rumah Ibrahim-Mu, sebagai pampasan kebodohan syirik dan korban jerat-jerat tali Namrud!
Dan, engkau wahai Muhammad! Wahai Nabi kebangkitan, kebebasan, dan kekuatan! Rumahmu dibakar dengan api dan bumimu diterjang air bah dari arah barat. Umatmu telah lama sekali terbaring di “ranjang hitam yang hina”
Katakan pada mereka: “Qum fa andzir!” (“Berdirilah dan berikan peringatan!”) dan bangkitkan mereka dari tidur nyenyak berkepanjangan ini!
Adapun engkau, wahai Ali, wahai Haidarah, wahai orang Tuhan dan masyarakat, dan “dewa” pedang dan cinta, kami
kehilangan kecerdasan untuk memahamimu ketika pemahaman tentangmu mereka cuci dari benak kami sekalian. Hanya saja, bagaimanapun juga, relung batin kami tetap penuh dengan cinta yang membara kepadamu. Betapa mungkin cinta kepadamu akan lenyap dalam keadaan melodramatis yang membungkus masakini. Bisa-bisanya orang Yahudi yang teraniaya pergi bersimpuh di hadapanmu di masa pemerintahanmu, namun sekarang kaum Muslim pergi meminta bantuan kepada bangsa Yahudi. Dapatkah keduanya ini diperbandingkan?!
Wahai si pemilik pukulan lengan bawah yang lebih berat dari timbangan ibadah manusia dan jin, lakukan pukulan sekali lagi saat ini!
Dan kalian berdua, wahai wahai kakak laki-laki dan perempuanku (Husain dan Zainab), wahai yang tekah mengajarkan manusia bagaimana menjadi “manusia” dan membuat kebebasan, (bagaimana menjadikan) iman dan harapan menjadi “iman” dan “harapan”, dan yang memberi “bangkai-bangkai hidup”(bangkai orang yang mati syahid) menjadi tambah “hidup”!
Ya, kalian berdua telah membuat air mata bangsa ini (Iran) mengering oleh tangisan akan tragedi yang merundung kalian hari itu (Asyura). Tragedi yang kenangannya mencabik-cabik khayalan dan kekalutannya membuat hati kami histeris. Berapa bangsa kami menangis sedih akan apa yang menimpa dan sebagai tanda cinta kepada kalian. Bukankah bahasa cinta itu air mata?
Umat yang selalu demikian kepada kalian berdua ini, sekarang tercambuk rotan, terbantai secara massal, dan tertimpa bencana tak henti-henti. Meskipun demikian, cinta mereka yang tertoreh di lidah bertambah dalam dan yang tertancap di kalbu bertambah kuat. Cinta mereka kepada kalian semakin membara. Semua cambukan para algojo yang mendarat di punggung tau iga-iga mereka hanya melukiskan cinta dan kasih sayang mereka kepada kalian
Wahai Zainab, wahai bahasa Ali, bertuturlah di hadapan umatmu! Wahai dewi yang berdarah-dagingkan keberanian. Sesungguhnya wanita-wanita bangsa kami yang mabuk kepayang, cinta kepadamu, sekarang sangat memerlukanmu lebih daripada waktu-waktu sebelumnya
Tolong lepaskan pasungan kebodohan dan kehinaannya dari mereka semua dan bebaskan mereka dari penjara Barat yang munafik
Wahai Zainab, hindarkan dan sabarkan mereka dari proses “pengeledaian” dahulu dan sekarang, dan dari peninggalan-peninggalan bodoh yang dicekokkan di pikiran mereka demi kepentingan sebagian orang. Itu semua agar mereka dapat bangkit memporak-porandakan sarang laba-laba yang telah lama mereka dekami, dengan jeritan-jeritan yang membahana di kota kezaliman dan kedurjanaan, dan yang kemudian menggonjang-ganjingkan istana-istana para tiran dan durjana. Ajarkan mereka “ketetapan” (Shamd) di badai yang tak menentu ini. Perintahkan mereka untuk, menghancurkan “teknologi pembuat mainan-mainan berbahaya” yang melibatkan mereka di pasaran “hari-hari kosong” yang disodorkan kapitalisme untuk melampiaskan syahwat-syahwat kaum borjuis yang kotor atau untuk menjalankan “salon-salon amburadul” atau untuk menghidupi kaum hedonis dengan kehidupan yang sia-sia, kering kerontang, dan panas membakar
Kami ingin mereka bangkit dengan kepemimpinanmu, untuk memudarkan “ikatan tali-tali lama” dan membubarkan “pasar-pasar baru” sekaligus
Wahai bahasa Ali, wahai misa Husian, wahai pendatang dari Karbala dengan membawa sepucuk surat para syahid kepada telinga sejarah di tengah kebisingan koar-koar para algojo dan penghasut
Wahai Zainab, tuturkanlah pada kami, jangan bercerita tentang apa yang terjadi pada kalian di sana; tentang sahara yang tenggelam dalam lautan darah; dan tentang batas-batas kekejian yang mereka lampaui; atau tentang “hadiah” Allah yang paling agung, paling mahal, dan paling berharga yang pernah tercipta, yang Dia laksanakan penyerahanya di tepi-tepi sungai Efrat untuk kami semua dan sebagai jawaban untuk para malaikat mengapa dahulu mereka disuruh bersujud kepada Adam
Duhai Zainab! Ketepikan dan jangan ceritakan suasana apa yang terjadi pada para musuh atau para sahabat pada saat itu. Ya, wahai utusan Revolusi Husain, kami tahu bagaimana saat itu
Kami bersumpah bahwa telah kau tuntaskan misi Karbala dan para syahid! Kami bersaksi sesungguhnya tetesan-tetesan darahmu berbicara seperti tetesan-tetesan darah Husain berbicara!
Tetapi tuturkan, wahai kakak perempuan, tuturkan apa yang harus kami perbuat. Pegang tangan-tangan kami dengan kelembutanmu dan tunjukkan sesaat saja apa yang akan kami hadapi dan dengarkan permohonan-permohonan kami nanti
Wahai kakak perempuan yang penuh kasih sayang!
Tangisi kami semua, wahai utusan Husain yang jujur! Wahai dewi pendatang dari karbala dengan memikul tugas melayangkan surat para syahid ke seluruh zaman. Wahai gadis manis yang menyebarkan aroma kebun kesyahidan yang menyengat!
Sedang engkau, wahai Husain, oh… kalimat-kalimat apa yang mesti kuujarkan?
Tolong terangkan separo malam, cegahlah gelombang ombak yang mencekam, dan hentikan putaran gasing kehidupan yang mengancam
Wahai pelita jalan!
Wahai bahtera keselamatan!
Wahai pancaran darah yang mengalir dari gundukan pasir gurun ke seluruh masa, ke pasir yang butuh penghijauannya, ke tempat bibit-bibit subur mulai bermekaran, dan ke tempat segala pohon yang hidup dan muda memerlukan siramannya
Amboi, biarkan seberkas dari “cahaya” itu menerangkan gelap gulita tengah malam kami. Biarkan tetesan dari darah itu, menciprati darah beku kami. Biarkan jilatan dari “api” yang menyembur-nyembur itu membakar suasana dingin dan beku kami
Wahai dikau yang telah memilih “kematian berwarna merah” untuk menyelamatkan para pencintamu dari “kenikmatan berwarna hitam legam” dan untuk memberi kehidupan bagi umat, mewarnai gerak pelana sejarah, dan menghadirkan suasana panas, hidup, cinta, dan harapan kepada tubuh mati yang terkulai dengan setiap tetes darahmu!
Keimanan, bangsa, masa depan, dan pola dasar zaman kami benar-benar membutuhkanmu dan darahmu!
Wahai putri Ali!
Wahai kakak perempuan!
Wahai pimpinan kafilah para sandera!
Sertakan kami bersama mereka!
(nuqila min kitabi “Ad - Du'a” lil Allamah Ad-Duktur Ali Syari'ati Quddisa Sirruhu )