Senin, 09 Juli 2012

Reklamasi Bekas Tambang Minim

PALEMBANG, KOMPAS - Upaya reklamasi tambang di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur dinilai masih minim. Saat ini terdapat bekas tambang emas atau batubara di kedua provinsi itu yang dibiarkan menganga, ditinggalkan tanpa direklamasi secara memadai.
Catatan itu disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, secara terpisah di Palembang dan Balikpapan, Selasa (26/6). Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel memisalkan bekas tambang milik PT Barisan Tropical Mining, dengan investor dari Australia di Kabupaten Musi Rawas. Tambang itu ditinggalkan tahun 2001, tetapi reklamasi tidak dilakukan.
Lubang bekas tambang berubah menjadi danau dengan air dengan kadar keasaman tinggi. ”Sekitar daerah itu sulit ditanami karena unsur haranya juga hilang,” katanya.
Untuk tambang batubara, kata Hadi, belum bisa dipantau karena semua masih aktif. ”Namun, penambangan jelas terlihat sebagai faktor penyebab kerusakan lingkungan terbesar di Sumsel,” jelasnya lagi.
Terkait reklamasi itu, PT Bukit Asam mempunyai rencana membuat Taman Hutan Raya (Tahura) Enim di lubang bekas tambang seluas 5.394 hektar di wilayah Air Laya dan Banko Barat. Reklamasi menjadi tahura itu ditargetkan selesai tahun 2043. Lubang bekas tambang yang kedalamannya lebih dari 200 meter akan ditimbun dengan humus dan ditanami pepohonan bernilai ekonomis.

Bekas tambang di Kaltim
Secara terpisah di Balikpapan, menurut Merah Johansyah dari Jatam Kaltim, hingga kini belum terlihat upaya riil pemerintah untuk memanfaatkan lubang bekas tambang batubara di provinsi itu. Lubang bekas tambang dibiarkan begitu saja. Perusahaan yang meninggalkan lokasi tambang tanpa reklamasi yang tepat tidak ditindak.
Johansyah menunjukkan daerah yang ”kaya” lubang bekas tambang batubara, yakni Kabupaten Kutai Kartanegara, Paser, Kutai Timur, dan Kota Samarinda. Di ibu kota Kaltim, Samarinda, masih ada 150 lubang tambang yang dibiarkan. Daerah bekas tambang yang dibiarkan kini menjadi langganan banjir.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kaltim Riza Indra Riadi pada seminar di Balikpapan, Mei lalu, mengatakan, izin eksplorasi dan eksploitasi tambang batubara di Kaltim per Desember 2011 adalah 3,8 juta hektar. Dari 14 kabupaten/kota di provinsi itu, hanya tiga daerah yang tidak tersentuh pertambangan, yakni Kota Balikpapan, Kota Tarakan, dan Kota Bontang.
Di Kupang, Senin, Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Timur Herry Naif juga mempertanyakan jaminan dana untuk reklamasi dari perusahaan pertambangan yang selesai beroperasi.

Petani adukan PTPN VII ke KPK

Bandarlampung (ANTARA News) - Ratusan petani dan warga dari beberapa desa di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, mengadukan PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) ke Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, terkait status dan sengketa lahan yang mereka alami.

Hadi Jatmiko, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, pendamping warga Ogan Ilir itu, saat dihubungi dari Bandarlampung, Sabtu, membenarkan rangkaian aksi ratusan petani rombongan dari Ogan Ilir di Jakarta selama beberapa hari ini.

Selama beberapa hari menggelar aksi di Jakarta, bersama rombongan petani dan warga, ratusan petani yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) melakukan aksi ke kantor KPK.

Kepada KPK, para petani itu meminta untuk mengusut indikasi korupsi yang dilakukan oleh PTPN VII sejak 30 tahun lalu.

BUMN perkebunan nasional itu, dilaporkan warga telah melakukan penguasaan dan mengusahakan lahan milik masyarakat seluas lebih dari 20 ribu hektare tanpa memiliki keabsahan hak guna usaha (HGU).

Menurut Hadi, sejumlah modus yang kerap dilakukan oleh perkebunan khususnya PTPN VII itu, adalah lahan yang dikuasai dan dikerjakan jauh lebih luas dari HGU yang ada.

Kondisi tersebut menimbulkan potensi pajak yang dilaporkan lebih kecil dari pendapatan yang sebenarnya, kata dia pula.

Modus lainnya, sisa lahan yang tidak dilaporkan keuntungannya, dan kerap dipakai untuk melakukan penyuapan di kalangan pemerintah, parlemen, partai politik maupun oknum BUMN sendiri.

"Lahan juga dikerjasamakan dengan pihak ketiga yang sebenarnya adalah oknum-oknum perusahaan itu sendiri," ujar dia lagi.

Oleh karena itu, para petani dimaksud mengadukan masalah mereka alami kepada KPK, setelah sebelumnya juga menyampaikan aspirasi dan sikap mereka kepada Kementerian BUMN, Kepolisian RI, DPR RI, dan sejumlah pihak berwenang di Jakarta lainnya.

Petani berharap lahan yang menjadi milik mereka dan kini telah dikuasai serta dikelola oleh PTPN VII tanpa memiliki HGU itu, dapat segera dikembalikan kepada petani dan warga setempat.

Namun, terkait aksi para petani di Kabupaten Ogan Ilir atas pengelolaan lahan PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis, PTPN VII menegaskan bahwa lahan yang mereka kelola selama ini telah memiliki keabsahan dan sepenuhnya menjadi hak PTPN VII sebagai BUMN perkebunan untuk mengusahakannya.

Areal yang dikelola tersebut juga merupakan aset negara yang harus dilindungi untuk kepentingan negara, dengan sebagian keuntungan diberikan kepada warga sekitar dalam bentuk kepedulian sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). 
Sumber : Antaranews.com